TULISAN Limas Sutanto berjudul Mengambinghitamkan Gus Dur? di Kompas, Sabtu, 8 Juli 2000, halaman 4, sangat menyentuh. Limas mengajak semua pihak menggunakan hati nurani, hal yang membedakan manusia dari makhluk bukan manusia. Saya penganut setia paham ini juga. Namun, sebagai manusia biasa, bukan wali, yang tidak mampu membaca hati nurani Limas apalagi Gus Dur, saya hanya mampu melihat dan merasakan hal-hal dari ucapan, tindakan, dan akibat dari keduanya dalam kehidupan saya sebagai rakyat kebanyakan.
Buat rakyat semacam saya, ukurannya sederhana saja. Saya juga tidak terlalu peduli apa itu pemilihan yang demokratis, apa itu penguasa yang legitimate. La, wong, sewaktu pemilu kemarin, saya dan kawan-kawan memilih yang paling jauh bau Soehartonya, karena sudah muak hidup susah 32 tahun. Walau sumbangan partai-partai juga kita terima semua, baik cash maupun sembako, itu urusan peluang bisnis saja.
Sekarang ini, yang jelas, hidup rakyat tambah susah, jauh lebih susah dari zaman Soeharto. Kok, kami diminta oleh Limas untuk menggunakan hati nurani dan memahami kekurangan dan kelemahan Gus Dur, yang sedang berkuasa? Bisa tidak Gus Dur menggunakan kekuasaannya untuk kesejahteraan kami, bukan untuk kasak-kusuk, gosip-gosipan, fitnah-fitnahan, yang seperti suasana arisan RT saja? Pertanyaan kami: sampai kapan kami harus menderita sambil memahami kepemimpinan semacam ini?
Saya tidak peduli bagaimana para elite bantai-membantai, pakai atau tidak pakai hati nurani, dan saya juga tidak tahu cara membacanya. Bagi saya, rakyat biasa, saya justru menanti-nanti, sambil tentu mengamati, mana elite yang pernyataan dan tindakannya membela rakyat jelata, konkret, dan berdampak positif bagi perbaikan ekonomi, sosial, politik, yang damai, karena ada arah kepemimpinan yang memberikan harapan yang bisa dinalar. Mau ganti pemimpin berkali-kali untuk mencari pemimpin yang paling mumpuni juga enggak masalah.
Yang jelas, dengan kesemrawutan dalam kepemimpinan Gus Dur, suasana survival of the fittest teori Darwin kembali merebak, lebih parah, karena fungsi-fungi lembaga, aparat, dan lain-lain tidak berperan. Semoga Limas bukan bagian dari yang diuntungkan oleh teori Darwin ala Gus Dur dan lantas ingin mempertahankan kenikmatan itu melalui imbauan hati nurani kepada semua pihak untuk tidak mengambinghitamkan Gus Dur, sang penguasa, yang tidak tahu cara berkuasa dengan elegan, sehingga menjadi penyebab semaraknya praktek teori Darwin.
JUSTIANI
Johar Baru, Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini