Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

lingkungan

Perdagangan Karbon Minus Pajak

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menerbitkan aturan implementasi nilai ekonomi karbon. Rawan tergelincir menjadi greenwashing.

6 November 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya menerbitkan Peraturan Menteri LHK Nomor 22 Tahun 22 tentang Tata Laksana Penerapan Nilai Ekonomi Karbon.

  • Sebagai panduan untuk mengimplementasikan perdagangan karbon.

  • Memiliki celah greenwashing.

KEMENTERIAN Lingkungan Hidup dan Kehutanan menetapkan peraturan tentang tata laksana penerapan nilai ekonomi karbon pada 21 September lalu sebagai aturan teknis perdagangan karbon. Aturan turunan Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang penyelenggaraan nilai ekonomi karbon itu diundangkan pada 20 Oktober lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam poin “Menimbang”, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 21 Tahun 2022 itu menggunakan target Kontribusi yang Ditetapkan secara Nasional (NDC) yang Dimutakhirkan (Updated NDC). Padahal Indonesia telah mengirimkan NDC yang Ditingkatkan (Enhanced NDC) ke sekretariat Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Konvensi Perubahan Iklim (UNFCCC) pada 23 September lalu.

Peraturan yang terdiri atas 12 bab dan 85 pasal itu menyebutkan tiga mekanisme penyelenggaraan nilai ekonomi karbon (NEK), yakni perdagangan karbon, pembayaran berbasis kinerja, dan pungutan atas karbon. Peraturan ini juga membuka peluang bagi mekanisme lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Adapun penyelenggara NEK dapat berasal dari kementerian atau lembaga, pemerintah daerah, pelaku usaha, dan masyarakat.

Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim (PPI) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Laksmi Dhewanthi mengatakan NEK menjadi instrumen pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK). Selain itu, NEK menjadi pengisi celah kebutuhan pendanaan mitigasi krisis iklim di Indonesia yang sebesar Rp 3,461 triliun hingga 2030. "Dengan NEK diharapkan aksi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim lebih efektif, efisien, inklusif, transparan, akuntabel, serta berkeadilan," katanya dalam video “Seri Diskusi Iklim” di kanal YouTube Direktorat Jenderal PPI, 27 Januari lalu.

Menurut aturan baru ini, perdagangan karbon harus sesuai dengan peta jalan pengurangan karbon. Peta jalan perdagangan karbon disusun oleh menteri terkait (koordinator sektor atau penanggung jawab subsektor) setelah berkoordinasi dengan Menteri Lingkungan Hidup. Ada 17 kriteria yang menjadi panduan dalam pembuatan peta jalan itu. Di antaranya hasil inventarisasi emisi GRK sektor dan subsektor, rencana dan strategi pencapaian target NDC, strategi perdagangan emisi dalam dan luar negeri, serta harmonisasi mekanisme penyelenggaraan NEK agar tak terjadi penghitungan dan pembayaran ganda.

Selain mengacu pada peta jalan perdagangan karbon, penyelenggaraan NEK memerlukan persetujuan teknis batas atas emisi (PTBAE). PTBAE harus memenuhi ketentuan minimal, yaitu nilai emisi GRK aktual berada di bawah target pengurangan emisi sektor atau subsektor dan sesuai dengan peta jalan pengurangan karbon. Sementara itu, penetapan PTBAE untuk pelaku usaha (PTBAE-PU) didasari usul pelaku usaha dengan lampiran informasi dan rencana usaha atau melalui penetapan langsung. PTBAE-PU yang ditetapkan menteri terkait bisa langsung diperdagangkan.

Menurut pasal 12 peraturan menteri ini, laporan pelaksanaan PTBAE-PU paling sedikit harus memuat pengukuran emisi karbon aktual pada akhir periode penataan dan pengukuran sisa batas atas emisi pada saat periode penataan. Sisa batas tersebut dihitung dengan mengurangkan nilai batas atas emisi atau kuota emisi dengan emisi aktual. Verifikasi atas laporan yang dibuat oleh pelaku usaha dilakukan oleh verifikator.

Hasil verifikasi dapat berupa “emisi aktual di atas PTBAE-PU” atau “emisi aktual di bawah PTBAE-PU”. Jika terdapat sisa batas atas emisi GRK, kuota itu dapat diperdagangkan kembali atau disimpan paling lama dua tahun selepas penataan. Jika emisi aktual berada di atas PTBAE-PU pada akhir periode, pelaku usaha dituntut menjalankan pengimbangan dengan membeli unit karbon dari pelaku usaha lain.

Pemerintah juga mengatur mekanisme offset emisi yang dilakukan untuk usaha atau kegiatan yang tidak memiliki batas atas emisi GRK atau mengalami surplus ataupun defisit emisi. Offset emisi merupakan pengimbangan emisi GRK yang dilakukan oleh pelaku usaha untuk mengompensasi emisi yang dibuat di tempat lain. Syarat pelaku usaha melakukan offset emisi adalah menyusun dokumen rancangan aksi mitigasi perubahan iklim (DRAM)—dokumen untuk memperoleh sertifikat pengurangan emisi GRK (SPE-GRK).

Kepala Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia Tata Mustasya mengatakan tujuan utama NEK seharusnya mempercepat transisi hijau, termasuk transisi energi. Melalui skenario disinsentif—di antaranya melalui pemungutan pajak karbon di sektor pencemar, seperti pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara—dan pemberian insentif bagi sektor hijau, ia meyakini transisi hijau akan dapat diakselerasi. Menurut Tata, hingga saat ini pemerintah memberi sinyal tak pasti mengenai transisi hijau karena masih mengandalkan batu bara untuk memenuhi kebutuhan energi.

Tata berpendapat pelaksanaan NEK akan efektif jika penerapan pajak karbon yang ditunda sampai 2025 segera dimulai sesuai dengan rencana awal, yakni pada PLTU batu bara. Selain itu, Tata menambahkan, ada kenaikan tarif secara bertahap, cap (nilai batas atas emisi) yang kuat, dan perluasan ke semua sektor ekonomi. "Perdagangan karbon untuk offset emisi tidak boleh diimplementasikan karena akan menjadi legitimasi bagi sektor pencemar untuk tetap melakukan operasi bisnis seperti biasanya dan menunda transisi hijau," ucapnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Foto udara cerobong di kawasan Pembangkit Listrik Tenaga Uap Ombilin di Desa Sijantang, Talawi, Sawahlunto, Sumatera Barat, Oktober 2019/ANTARA/Iggoy El Fitra

Tata mengungkapkan, ia pernah berada dalam satu panel dengan Kementerian Keuangan. "Kementerian Keuangan sudah memiliki pemahaman tujuan utama pajak karbon bukan mengejar target pendanaan, tapi untuk akselerasi transisi hijau," tuturnya. Karena itu, dia melanjutkan, insentif untuk penyerap karbon idealnya diberikan dalam bentuk hibah, bukan berupa offset emisi. Dengan mekanisme hibah ini, menurut Tata, publik akan menganggap pemerintah bersungguh-sungguh mengakselerasi transisi hijau.

Tanda lain ketidakjelasan sinyal pemerintah, Tata melanjutkan, ada dalam peraturan menteri yang baru tersebut. "Yang hilang justru beberapa hal yang bersifat mendasar, yaitu tidak adanya kejelasan mengenai implementasi pajak karbon dan absennya peta jalan NEK yang terkoneksi dengan target ekonomi nol karbon," ujarnya.

Dengan absennya peta jalan, menurut Tata, mekanisme NEK akan mudah tergelincir menjadi ajang greenwashing atau “cuci dosa” para pencemar. Dalam peta jalan yang ideal, ia mencontohkan, pajak karbon bisa diterapkan dulu di subsektor PLTU batu bara yang menjadi penghasil emisi terbesar dengan tarif rendah. Lalu secara bertahap pemerintah menaikkan tarifnya diikuti implementasi bagi semua sektor yang menghasilkan emisi. "Tarif pajak karbon harus mencerminkan ekses negatifnya. Jangan sampai lebih rendah sehingga akan mendorong percepatan transisi hijau," katanya.

Ia mengatakan peta jalan NEK, selain harus memuat rencana yang jelas dan ambisius mengenai tarif pajak dan cakupannya, mesti terkoneksi dengan target nol emisi. Pada saat yang sama, dia mengimbuhkan, harus ada pula peta jalan untuk insentif sektor hijau sehingga akan ada dampak “netral” bagi perekonomian. "Pemerintah juga harus memastikan pengelolaan dampak transisi bagi kelompok rentan, misalnya masyarakat berpendapatan rendah," tuturnya.

Dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 21 Tahun 2022 ini, hanya ada satu pasal yang menjelaskan pungutan atas karbon. Pada pasal 35 bab IV itu disebutkan pungutan atas karbon ditarik dalam bentuk pungutan perpajakan baik pusat dan daerah, kepabeanan dan cukai, serta pungutan negara lain. Pungutan atas karbon dilaksanakan sesuai dengan undang-undang. Menteri Keuangan menyusun formulasi kebijakan dan strategi pelaksanaan pungutan atas karbon setelah berkoordinasi dengan Menteri Lingkungan Hidup dan menteri terkait sesuai dengan tujuan pencapaian target NDC.

Lead Economist World Resources Institute Indonesia sekaligus Kepala Center for Climate and Sustainable Finance Universitas Indonesia, Sonny Mumbunan, mengatakan peta jalan ideal untuk penerapan pajak karbon memerlukan perincian emisi dan pagu (cap) sektor dan subsektor yang disasar. Peta jalan tersebut juga harus ditopang bukti (evidence) berbasis pendekatan sistem. "Ini sungguh penting untuk mencari jalan tengah 'mendamaikan' kepentingan bisnis dan politik pengemisi di satu sisi, dan kepentingan publik untuk reduksi emisi dan stabilisasi iklim di sisi yang lain," katanya.

Ia mendorong pemerintah tidak membuat kebijakan yang parsial. Sebab, dia menjelaskan, dampak kebijakan ini akan besar bagi perekonomian dan kesejahteraan banyak orang. Selain itu, ia menyarankan pemerintah merancang peta jalan yang mampu mengantisipasi dan beradaptasi jika di tengah jalan perdagangan karbon dengan pelbagai skema harga dan kuota yang jadi kebijakan tak cukup ampuh menurunkan emisi gas rumah kaca.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus