Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Fasilitas RDF di Tempat Pengolahan Sampah Terpadu Bantar Gebang akan mulai beroperasi penuh pada Maret 2023.
Setiap hari, fasilitas RDF Bantar Gebang mengubah 1.000 ton sampah baru dan 1.000 ton sampah lama yang berada di zona tidak aktif.
Output fasilitas RDF Bantar Gebang berupa RDF curah sebanyak 700-750 ton per hari.
BULAN depan, Tempat Pengolahan Sampah Terpadu Bantar Gebang di Bekasi, Jawa Barat, bakal mengoperasikan sistem pengolahan sampah baru yang dinamai fasilitas RDF (refuse-derived fuel). Fasilitas RDF adalah teknologi yang mengubah sampah menjadi bahan bakar jumputan padat yang bisa menggantikan batu bara yang dibakar di pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) atau pabrik semen. Setiap hari 1.000 ton sampah lama dan 1.000 ton sampah baru yang masuk ke tempat pembuangan akhir itu berubah menjadi 700-750 ton RDF.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Fasilitas RDF pertama di Indonesia berada di Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Jeruklegi di Desa Tritih Lor, Cilacap, Jawa Tengah. Mulai beroperasi pada Juli 2020, setiap hari fasilitas itu mengubah 120 ton sampah baru menjadi 60 ton RDF yang bisa menggantikan 4-5 persen bahan bakar batu bara di pabrik semen PT Solusi Bangun Indonesia, anak usaha PT Semen Indonesia. Bagi pabrik semen tersebut, RDF lebih bersaing ketimbang batu bara yang harganya US$ 40-50 per ton, sementara biaya produksi RDF sebesar Rp 300 ribu (US$ 20) per ton.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pengamat masalah sampah dan lingkungan Enri Damanhuri mengatakan industri semen merupakan yang paling siap menggunakan RDF. Sedangkan PLTU, kata dia, baru mulai tahap uji coba karena PT PLN (Persero) lebih selektif terhadap RDF yang mengandung plastik. “Ada persoalan teknis. Pasti ada modifikasi peralatan sehingga (RDF) tidak bisa langsung digunakan. Mungkin saja ada peralatan yang terganggu, terutama dalam hal ketahanan,” ucap Enri saat dihubungi, Jumat, 24 Februari lalu.
Menurut Enri, pabrik semen menyukai RDF yang mengandung plastik dan kertas karena nilai kalornya tinggi. Nilai kalor plastik, Enri menjelaskan, bisa mencapai 10 ribu kilokalori per kilogram (kkal/kg), sementara kertas setara dengan batu bara sebesar 6.000 kkal/kg. Adapun sampah rumah tangga seperti sisa makanan dan kayu memiliki nilai kalor yang sama dengan batu bara kalori rendah, 4.400 kkal/kg. “Karena itu, pabrik semen lahap,” tutur pensiunan dosen Departemen Teknik Lingkungan Institut Teknologi Bandung tersebut.
Kesiapan pabrik semen, Enri menambahkan, karena mereka menyiapkan kriteria sejak tahun 2000-an yang dibantu oleh asosiasi industri semen Jerman. “Ada banyak kriterianya, termasuk kriteria penggunaannya dan pengendali pencemarannya,” ujar peraih gelar doktor bidang kimia dari Université de Paris VII, Prancis, pada 1987 tersebut. Sama seperti batu bara, pembakaran RDF akan mengeluarkan beberapa jenis gas, yang masing-masing disaring dengan teknologi berbeda.
Selain itu, kata Enri, pembakaran RDF di pabrik semen beroperasi pada temperatur di atas 1.500 derajat Celsius sehingga dioksin tidak terbentuk. Memang pembakaran RDF di pabrik semen akan menghasilkan residu berupa abu yang jumlahnya sebesar 15-20 persen. “(Abu) ini malah menguntungkan bagi pabrik semen, karena abu tersebut menjadi bagian dari produk semen yang akan dihasilkan,” tutur Enri.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup Provinsi DKI Jakarta Asep Kuswanto mengatakan fasilitas RDF Bantar Gebang mulai beroperasi secara penuh pada Maret nanti. Tahap pengujian, menurut Asep, rampung pada 18 Februari lalu. “Produk RDF kami berbentuk curah sesuai permintaan off-taker, PT Indocement Tunggal Prakarsa dan PT Solusi Bangun Indonesia,” ucap Asep melalui jawaban tertulis, Senin, 13 Februari lalu. Dia merinci spesifikasi RDF yang dihasilkan fasilitasnya memiliki kadar air kurang dari 20 persen, nilai kalor lebih dari 3.000 kkal/kg, dan ukuran kurang dari 50 milimeter.
Menurut Enri, ada perbedaan teknologi yang dipakai oleh fasilitas RDF di TPA Jeruk Legi dan Tempat Pengolahan Sampah Terpadu Bantar Gebang. “Kalau di Cilacap itu, (sampah) dikeringkan dengan teknologi biodrying yang menggunakan selimut agar panasnya tidak ke mana-mana,” ujar Enri. “Ini sebenarnya sama dengan kompos, tapi selimutnya itu baru bisa dibuat oleh orang Jerman.” Sedangkan di Bantar Gebang, kata Enri, selain memakai selimut, menggunakan pengering (kiln dryer) untuk sampah lama. “Karena sampah lama tidak memungkinkan memakai biodrying,” tuturnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo