Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Sejumlah pemerintah daerah mengandalkan teknologi RDF sebagai solusi alternatif pengurangan sampah.
Kalangan lembaga swadaya masyarakat mengkritik pengolahan sampah menjadi RDF sebagai solusi semu.
Memiliki dampak negatif pada lingkungan.
DUA buah cekungan yang diproyeksikan sebagai lokasi pembuangan sampah tampak terbengkalai. Terpal pelapis dinding sudah koyak dan dasar lahan uruk dipenuhi ilalang. Berada di Tempat Pengolahan dan Pemrosesan Akhir Sampah (TPPAS) Regional Lulut Nambo, Klapanunggal, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, cekungan itu berukuran 6 hektare dan 4 hektare dengan kedalaman 4 meter. "Dua lahan uruk ini dibangun sejak 2015," kata Nur Hasan, petugas lapangan PT Jabar Bersih Lestari (JBL), pengelola TPPAS Lulut Nambo, Kamis, 23 Februari lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Meski telah 18 tahun sejak awal mula pembebasan lahan dilakukan, TPPAS Lulut Nambo belum juga beroperasi. Tanda-tanda keinginan kuat dari pengelola untuk segera menjalankan pengolahan sampah berkonsep refuse-derived fuel (RDF) atau bahan bakar sampah itu terlihat dengan beroperasinya sebuah ekskavator berwarna hijau di sisi timur lahan uruk. Terdapat juga beberapa material beton dan besi. "Tahap awal, yang kami bangun adalah tempat pengomposan kapasitas 50 ton," ujar Ganjar, petugas lapangan PT JBL lain.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Keseriusan PT Jabar Bersih Lestari mengoperasikan TPPAS Lulut Nambo juga ditunjukkan dengan penyiapan mesin-mesin pengolahan sampah menjadi RDF yang menjadi pengganti batu bara. Mesin-mesin itu diletakkan di depan kantor operasional PT JBL. Kondisinya masih tertutup terpal. "Itu ada mesin pencacah, mesin pengering. Ada mesin pengayakan juga," tutur Ganjar.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Jawa Barat Prima Mayaningtyas mengakui tantangan terbesar pengoperasian TPPAS Lulut Nambo adalah kebutuhan biaya yang besar. Ia menyebutkan butuh investasi sebesar Rp 814 miliar untuk mengolah sampah sebanyak 1.800-2.300 ton per hari. "Ini sudah naik dari hitungan awal kami yang hanya membutuhkan investasi sebesar Rp 600 miliar," ujar Prima kepada Tempo melalui sambungan telepon, Rabu, 22 Februari lalu.
Prima mengatakan awalnya pembangunan TPPAS dengan luas lahan 55 hektare ini dilakukan melalui mekanisme Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha dengan badan usaha pemenang lelang, yaitu PT Jabar Bersih Lestari, dengan pemegang saham pendiri, yakni PT Panghegar Energy Indonesia. Namun, dalam perjalanannya, PT JBL gagal memenuhi target operasional pada Juni 2020 akibat terhambat biaya.
Prima mengemukakan, dalam kelanjutan proyek TPPAS Lulut Nambo tersebut, badan usaha milik daerah PT Jasa Sarana kini menjadi pemegang saham mayoritas. "Ampun deh sebenarnya. PT JBL yang pertama itu gagal. Yang kedua dengan Korea Selatan ini juga enggak punya duit. Jadi kita ambil alih dengan suntikan dana Rp 60 miliar dalam bentuk penyertaan modal daerah," katanya.
Selain investasi Rp 60 miliar ke PT JBL, Prima mengatakan, pembangunan TPPAS Lulut Nambo telah menguras kocek negara sebesar Rp 214 miliar untuk pembebasan lahan dan infrastruktur. "Sebenarnya APBN untuk Lulut Nambo itu sudah Rp 133 miliar, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi itu Rp 81 miliar," ujar Prima. Dia mengatakan, dengan adanya suntikan dana dari BUMD, pihaknya masih terus mencari mitra strategis untuk melanjutkan proyek.
Prima menyebutkan pihak perusahaan sedang menyasar PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk sebagai off-taker bisa berinvestasi untuk memenuhi kekurangan dana pembangunan pabrik kompos berkapasitas 1.800-2.300 ton. "Masih pembicaraan, tapi belum ada gentleman's agreement karena masih studi kelayakan, pembahasan dari sisi legal, dan dari aspek bisnis. Mereka lagi menjajaki untuk itu," tuturnya.
Meski pengoperasiannya terus molor dan belum adanya investor besar, Prima mengatakan tidak bakal mengubah konsep penggunaan teknologi di TPPAS Lulut Nambo. Ia menyatakan pengadaan mesin juga sudah ada, seperti conveyor dan pemanfaatan bioactivator untuk mesin pengering. "Prinsipnya, teknologi RDF. Tidak bisa ke mana-mana lagi karena itu sebagai alternatif sumber energi untuk PT Indocement juga," ucapnya.
Optimisme Pemerintah Provinsi Jawa Barat ini tidak sejalan dengan sikap Pemerintah Kabupaten Bogor, yang menolak pengoperasian TPPAS Lulut Nambo. Alasannya, pengoperasian TPPAS tidak sesuai dengan rancangan dan rekayasa detail (DED) awal yang akan mengelola sampah menjadi briket dengan cara dibakar. "Hal ini akan memberikan dampak negatif kepada warga dan Pemerintah Kabupaten Bogor," kata Sekretaris Dinas Lingkungan Hidup Pemerintah Kabupaten Bogor Endah Nurmayanti saat ditemui pada Senin, 6 Februari lalu.
Suasana pengolahan sampah di Tempat Pemrosesan Akhir Jabon, Sidoarjo, Jawa Timur, 6 Februari 2023/Tempo/Irsyan Hasyim
Menurut Endah, pengoperasian TPPAS yang berada di Kecamatan Citeureup dan Klapanunggal itu hanya akan melakukan proses daur ulang. "Rencana awal kan akan dijadikan briket dengan proses pembakaran, kini hanya daur ulang dan proses itu kan membutuhkan pemilahan dan pengolahan. Saat ini belum ada instalasi pengolahan air lindi dan tidak ada proses pembakaran untuk briket sebagaimana DED awal," tutur Endah.
Penolakan pengoperasian TPPAS Lulut Nambo, menurut Endah, bukan berarti Pemerintah Kabupaten Bogor menolak program Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Namun Endah berharap Pemerintah Provinsi Jawa Barat melalui Dinas Lingkungan Hidup Jawa Barat memperhatikan dampak yang akan ditimbulkan jika TPPAS dioperasikan tanpa sesuai dengan DED awal. "Kalau hanya begitu, tentu akan ada masalah terkait dengan dampak terhadap warga sekitar," ucap Endah.
Sementara TPPAS Lulut Nambo sedang memikirkan cara mendapatkan investasi besar untuk mengoperasikan teknologi RDF, Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Jabon, Sidoarjo, Jawa Timur, telah mengoperasikan teknologi tersebut. Terdapat tiga jenis sampah yang dihasilkan, yakni serbuk halus yang jumlah kalorinya menyerupai batu bara, curah, dan briket.
Hasil produksi RDF dari TPA Jabon itu bisa digunakan sebagai pupuk hingga bahan bakar campuran batu bara untuk pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). Anggota staf peralatan teknis dan mesin di TPA Jabon, Opi Wisnu Broto, menyebutkan produk RDF itu bakal disuplai ke PLTU Paiton di Probolinggo dan PLTU Tanjung Awar-Awar di Tuban. Saat ini hasil RDF tersebut melalui proses uji coba ke beberapa PLTU di Jawa Timur.
Uji coba ini bertujuan mengetahui kadar kandungan briket apakah telah memenuhi standar bahan bakar pengganti batu bara oleh PLTU. "Kami mengikuti campuran di PLTU, menyesuaikan standar permintaan mereka soal jumlah kalori dan besar serbuk," ujar Opi saat ditemui Tempo dan tim Aliansi Zero Waste Indonesia di TPA Jabon, Senin, 6 Februari lalu.
Ketika sejumlah pemerintah daerah menjadikan teknologi RDF sebagai solusi alternatif pengurangan jumlah volume sampah, Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI) mengkritik cara pengolahan sampah plastik menjadi bahan bakar. Anggota AZWI, Hermawan Some, menilai pengolahan sampah tersebut merupakan solusi semu dan palsu untuk pengolahan sampah perkotaan.
Hermawan yang juga pendiri Nol Sampah mengatakan, meski dapat mengurangi jumlah sampah plastik yang menumpuk, cara tersebut memiliki dampak negatif pada lingkungan. "Konsep RDF, gasifikasi, insinerator, dan pembangkit listrik tenaga sampah konsep sampah saja tidak menyelesaikan masalah di hulu dan sekadar solusi palsu pengolahan sampah," tutur Hermawan saat ditemui di kawasan Universitas Airlangga, Surabaya, Selasa, 7 Februari lalu.
Ia mengatakan RDF juga bisa disebut pengolahan sampah secara termal. Hermawan menuturkan pengolahan sampah secara termal harus merujuk pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 70 Tahun 2016 tentang Baku Mutu Emisi Usaha dan Kegiatan Pengolahan Sampah Secara Termal. Pengolahan sampah secara termal hanya dapat dilakukan terhadap sampah rumah tangga dan sampah sejenis sampah rumah tangga, yang tidak mengandung bahan beracun dan berbahaya.
Selain itu, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan membuat Peraturan Menteri Nomor 26 Tahun 2020 tentang Penanganan Abu Dasar dan Abu Terbang (FABA) Hasil Pengolahan Sampah Secara Termal. Menurut pasal 4 peraturan itu, penanganan abu dasar harus dilakukan dengan pemanfaatan dan pemrosesan hasil akhir. Juga bisa digunakan sebagai bahan dasar jalan, bahan baku semen, serta pemanfaatan lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Aliansi Zero Waste Indonesia merupakan organisasi yang terdiri atas Yaksa Pelestari Bumi Berkelanjutan, Gerakan Indonesia Diet Kantong Plastik, Nexus3 Foundation, Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup Bali, Ecological Observation and Wetland Conservation, Indonesian Center for Environmental Law, Nol Sampah Surabaya, Greenpeace Indonesia, Gita Pertiwi, dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia. Menurut Hermawan, AZWI telah mengkampanyekan implementasi konsep nol sampah yang benar.
Anggota AZWI lain, Eka Chlara Budiarti, mengatakan RDF memang merupakan salah satu cara menangani sampah di Indonesia dan alternatif pengganti batu bara. Namun, kata dia, ketika RDF yang memiliki kandungan plastik menjadi bahan bakar, zat-zatnya terlepas ke udara. Hal itu menjadi emisi beracun dan menyebarkan bentuk baru limbah beracun di masyarakat. Ia mencontohkan pabrik tahu di Desa Klagen Tropodo, Krian, Sidoarjo, Jawa Timur, yang menggunakan bahan sampah plastik sebagai bahan bakarnya.
Chlara yang juga berstatus Citizen Science Coordinator Ecoton ini menyatakan sampah plastik yang dibakar itu tidak akan hilang. Abu pembakarannya menjadi partikel-partikel kecil atau mikroplastik. Zat yang terkandung dalam mikroplastik itu akan berdampak terhadap perubahan iklim, kesehatan, dan lingkungan. Ia menjelaskan, pembakaran sampah plastik menghasilkan emisi karbon yang dapat mempengaruhi perubahan iklim.
Emisi gas pembakaran tersebut akan membentuk selubung di atmosfer sehingga energi panas yang seharusnya dikeluarkan justru terperangkap dan kembali ke bumi. Sebab, sinar matahari memiliki dua sifat, yakni dipantulkan dan diteruskan ke atmosfer sebagai energi di bumi. "Makanya kenapa akhir-akhir ini udara di Surabaya panas sekali dan gelombang panas itu di Indonesia cukup tinggi. Hal ini karena senyawa yang dilepaskan, dia akan membentuk selubung di atmosfer," ucap Chlara, Selasa, 7 Februari lalu.
Ia mengatakan pemerintah memang memberikan subsidi atau dana hibah untuk mengelola sampah secara termal atau RDF. Berdasarkan Pasal 15 Peraturan Presiden Nomor 35 Tahun 2018, pemerintah memberikan subsidi Rp 500 ribu per ton sampah per hari. Sementara itu, total biaya produksi RDF Rp 1.453.800 per ton sampah atau dapat menghasilkan 0,42 ton bahan bakar sampah. "Apabila harga jual RDF tidak mampu menutup biaya produksi, sudah pasti akan rugi," tuturnya.
M.A. MURTADHO
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo