Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Komikus muda Indonesia menjadi ruang digital sebagai tempat kreasi dan ekspresi.
Para komikus muda rutin mengunggah karya mereka di platform digital.
Tema komiknya bermacam-macam, dari cerita jenaka hingga isu lingkungan.
DI sudut ruangan area merokok di kedai kopi Kroma, Cipete, Jakarta Selatan, Adimas Bayu atau yang lebih populer dengan nama Masdimboy tengah asyik memoles gambar dua karakter komik di komputer tablet, Senin malam, 20 Februari lalu. Karakter pertama, seorang lelaki tua berkumis tebal. Kedua, anak muda dengan topi terbalik dan mengenakan kaus belang-belang. Kedua karakter itu tampak sedang bertanya-jawab.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada panel pertama komik setrip itu karakter anak muda menyorongkan mikrofon kepada sang lelaki tua dan bertanya: "Bagaimana pendapat Bapak tentang anak muda yang ugal-ugalan?". Lalu, pada panel kedua, lelaki tua itu menjawab: "Ya, paling tuanya nyesel". Pada panel terakhir, dengan mata terbuka lebar dan tertawa, lelaki tua itu menambahkan lelucon: "Itu juga kalau sempat tua".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Komikus 38 tahun ini kemudian memoles komik setrip itu dengan memainkan gradasi warna hitam dan putih. Dia juga mengamati detail-detail lain, seperti ukuran, letak kalimat, dan font tulisan yang ditulis secara langsung. Berselang beberapa menit kemudian, dia mengunggah komik dengan cerita pendek itu di akun Instagram-nya, @masdimboy. Dia juga mengunggah komik itu di akun Facebook dan Twitter-nya.
“Kebetulan untuk karakter gambar ini saya pakai referensi bapak mertua saya. Ide ini muncul ketika saya berkendara dalam sebuah mobil,” kata Masdimboy kepada Tempo tentang ide proses kreatifnya dalam membuat komik setrip dengan cerita pendek tersebut.
Masdimboy menerangkan, ide itu biasanya dia tuangkan dulu dalam bentuk sketsa, gambar mentah komiknya, di sebuah buku catatan kecil. Buku tersebut juga berisi teks pendek yang dibuatnya. Catatan-catatan pendek juga banyak disimpan di telepon selulernya. Sebagai komikus, dia lebih suka mengeksekusi secara langsung komik setrip dengan beberapa panel yang merespons kenyataan sehari-hari yang dijumpainya.
Dalam unggahan lain, Masdimboy merespons kenyataan hidup sehari-hari di era teknologi digital. Misalnya orang-orang yang tak bisa lepas dari ponsel pintar dan media sosial. Dalam unggahan komik setripnya dia membuat karakter seorang perempuan yang sedang melakukan siaran langsung tutorial makeup di akun Instagram. Pada salah satu panel, dia membuat lelucon cerdas berupa gambar tangan yang masih menggenggam ponsel pintar keluar dari tanah makam. Di panel itu terdapat dua kalimat: “Dead IG” dan “Jangan lupa kirim Alfatehah ya gaes”.
Cerita keseharian yang jenaka dan lelucon khas orang Indonesia memang menjadi ciri khas komik-komik setrip karya Masdimboy. Dia mengatakan lebih tertarik pada wacana atau isu kehidupan masyarakat sehari-hari sebagai tema penceritaan komiknya. Hal-hal remeh-temeh seperti bercanda ketika sedang nongkrong bersama teman-temannya menjadi pemantik untuk kemudian divisualkan dalam bentuk komik setrip. Alasannya satu, “Penikmat komik saya adalah orang-orang Indonesia,” ujarnya.
Lalu, ihwal pilihan komik setrip karyanya dengan alur cerita ringkas dan padat, menurut Masdimboy, itu karena saat ini banyak orang yang tidak menyukai cerita yang berpanjang-panjang. Adapun untuk urusan kadar kelucuan dalam setiap komiknya, Masdimboy tidak mau ambil pusing. Bagi dia, lucu atau tidaknya komik karyanya menjadi urusan pembaca. “Yang terpenting adalah kepuasan dalam berkarya,” ucapnya.
Ciri khas lain komik karya Masdimboy adalah hanya menggunakan dua warna, yakni hitam dan putih. Menurut dia, pemilihan warna adalah bagian paling sulit. Pilihan menggunakan warna monokrom tersebut juga tak lepas dari pengalamannya ketika menggeluti kerja mandiri dalam bentuk zine, media cetak alternatif yang direproduksi dengan cara fotokopi, semasa kuliah dulu. “Saya ingin bernostalgia dari awal saya mengenal komik yang bentuknya memang hitam-putih. Saya ingin bikin sesederhana mungkin. Ya, hitam-putih bisa jadi komik, kok,” tuturnya.
Karya kartun Adimas Bayu yang dibagikan lewat akun instagramnya @masdimboy/Instagram @masdimboy
Dimas—nama kecil Adimas Bayu—mulai mengenal komik sejak masih anak-anak lewat koran langganan orang tuanya. Setiap koran datang, dia langsung membuka halaman yang berisi cerita bergambar itu. Semasa kecil, dia juga menikmati komik Jepang yang diterbitkan oleh Elex Media Komputindo. Salah satu yang paling dia nikmati adalah Doraemon besutan Fujiko F. Fujio.
Sejak saat itu dia mulai mencoba membuat komik dan mendapat dukungan dari kedua orang tuanya. Ketertarikannya pada komik kian berkembang ketika dia kuliah di Jurusan Desain Komunikasi Visual Institut Teknologi Bandung pada 2003. Ekosistem kreatif di kampus membawanya pada pembuatan komik dalam bentuk zine. Tema komedi, action, hingga drama pernah dituangkan dalam karyanya.
Komik-komik karyanya beredar di lingkungan kampusnya. Awalnya, distribusi komiknya berdampingan dengan sejumlah zine milik komunitas, salah satunya komunitas punk. Distribusi komiknya kemudian merambah ke distro-distro yang saat itu menjamur di Bandung. Komik-komik karya Dimas pun kemudian mendapat banyak apresiasi. Ini pula yang mendorongnya terus berkarya.
Pada sekitar 2005, dia mulai mengunggah komik-komik format digital di platform Devianart.com. Saat itulah dia mulai memakai nama Masdimboy, ruang kreatif tempatnya menuangkan karya-karya komiknya. Memasuki 2008, publikasi komiknya kian luas dengan merambah Facebook dan Twitter. Dan kemudian Instagram.
“Di Facebook kebetulan ada fanpage yang saya bikin. Tiba-tiba banyak orang kenal komik saya dan memberikan komentar. Saya merasa diapresiasi,” kata komikus asal Jakarta yang juga bekerja sebagai senior graphic designer specialist untuk Nice to Meet You Studio tersebut.
Karya-karya komik Dimas melalui Masdimboy pun kian terkenal. Akun Masdimboy di Instagram telah diikuti lebih dari 103 ribu penikmat komik. Hingga kini, Masdimboy telah mengunggah sekitar 1.000 komik setrip di akun Instagram-nya. Masdimboy menuturkan, perjumpaan antara komik karyanya dan para pembaca itu benar-benar membuatnya senang. Imajinasi yang dia cita-citakan sejak kecil pun mulai terjadi: orang Indonesia menikmati komik karya orang Indonesia.
Dhimas Bagus Dwicahyanto/Dok Pribadi
Satire Komik Digital
Cerita keseharian yang jenaka dan lelucon khas masyarakat kita juga menjadi tema-tema komik Sampahisasi atau Komik Sampah asal Surabaya. Sampahisasi adalah ruang penciptaan komikus Dhimas Bagus Dwicahyanto, 27 tahun, untuk menampung karya-karyanya di ranah digital sejak 2016.
“Memang dari jokes tongkrongan, kemudian dari keseharian yang tidak bisa lepas dari politik, isu-isu yang lingkungan, dan lain-lain. Itu ada point of view yang kemudian saya visualkan dalam bentuk komik,” kata Dhimas saat berbincang dengan Tempo, Selasa, 14 Februari lalu.
Hari itu, Sampahisasi mengunggah komik setrip dengan sembilan panel ilustrasi berwarna. Komik setrip itu berkisah tentang seorang laki-laki bernama Bejo yang menggeluti skena konten kreator joget selama tiga tahun. Pada kolom caption, Sampahisasi menulis seperti ini: “Tidak ada yang salah dari komik ini”.
Lewat komik setrip dengan tokoh Bejo itu Dhimas memotret fenomena sejumlah orang yang meraup banyak cuan hanya dengan berjoget. Unggahan komik Sampahisasi itu telah mendapat like sebanyak 26.667 dan 991 komentar.
Sejak kecil Dhimas yang lahir di Pasuruan, Jawa Timur, 26 Agustus 1995, ini tertarik pada komik. Kebetulan ibunya yang punya hobi membuat kaligrafi juga mendukungnya. Dhimas mulai serius terjun sebagai komikus pada sekitar 2016, saat ia pertama kali mengunggah karyanya di Instagram.
Unggahan Samahisasi lewat akun instagramnya @Sampahisasi/Instagram @Sampahisasi
Menurut Dhimas, sejak pertama kali mengunggah komik karyanya, dia sudah mantap menggunakan nama Sampahisasi. Bagi Dhimas, nama itu sangat personal. Sampahisasi tercetus dari pengalaman masa kecilnya yang tidak pernah menjadi juara dalam perlombaan menggambar. Dia pun merasa karya-karyanya hanya sebagai sampah.
“Jadi yang aku rasakan kalau apa yang aku bikin itu, ya, hanya sampah. Di balik itu, ada juga proses branding karena kebetulan aku kuliah di marketing. Aku pikir, oh, oke juga kalau diambil nama dari sampah,” ujar alumnus Jurusan Manajemen Universitas Negeri Surabaya ini. “Pada saat bersamaan aku juga berpikir kalau suatu hari jokes yang aku keluarkan memang ndak lucu, ya sudah, ya sampah saja. Jadi aku berlindung di kata sampah.”
Awal merintis Sampahisasi, Dhimas masih sendirian dalam menciptakan karya-karya komiknya. Hingga pada akhir 2019 dia merekrut dua koleganya dari komunitas komik. “Ketika berkomunitas, ngobrol-ngobrol ada yang lucu, akhirnya jadi pemicu untuk penciptaan komik,” tuturnya.
Sampahisasi, kata Dhimas, kemudian tidak melulu berkutat pada lelucon. Mereka juga merespons isu-isu teranyar dengan satire. Misalnya pada unggahan 5 Januari 2023, Sampahisasi menyajikan komik dengan cerita seorang pengemis yang meminta-minta di sebuah warung makan. Pada panel terakhir, tokoh pengemis itu digambarkan sudah sukses. Dia sedang bersantai di tepi kolam renang tak jauh dari garasi rumahnya. Pada kolom caption, Sampahisasi menulis kalimat pendek, "Jangan dibikin susah, kawan".
Menurut Dhimas, hingga kini ia telah memilih profesi di dunia komik lewat Sampahisasi. Dhimas mengaku tak ada pekerjaan selain menggarap komik. Terkadang Sampahisasi mendapat order membuat animasi dari sejumlah instansi. “Ya, cukup, lah untuk menghidupi kebutuhan sehari-hari, sewa kantor, dan keperluan lain,” ucap komikus yang menggarap karya-karyanya di sebuah ruang kerja di Royal Paka Residence, Surabaya, tersebut.
Kreator Tahilalats Nurfadli Mursiding di Jakarta, 15 Februari 2023/Tempo/Subekti
Memilih komik sebagai jalan hidup juga ditempuh oleh Nurfadli Mursiding, 29 tahun, kreator komik Tahilalats. Dari Mindblowon Studio di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Palik—sapaan akrab Nurfadli—rutin mengunggah karya-karya komik setripnya ke akun Instagram Tahilalats. Hingga kini akun Instagram Tahilalats telah diikuti oleh sekitar 4,9 juta orang dan sudah mengunggah sekitar 3.434 komik.
Karya-karya Palik melalui Tahilalats bukan nama baru di skena komik setrip. Sebelum hijrah ke Ibu Kota, Palik telah menekuni kegiatan membuat komik secara intens sejak kuliah di Makassar, Sulawesi Selatan, pada 2012.
Awalnya, pria yang lahir di Pare-Pare, Sulawesi Selatan, 19 Agustus 1993, itu tidak bercita-cita menjadi komikus. Semasa kecil, Palik hanya suka menggambar. Dia juga mengambil jurusan teknik sipil ketika kuliah, studi yang sangat berlainan dengan profesinya saat ini.
Merasa salah ambil jurusan kuliah, Palik mulai intens menekuni dunia komik dan mencari kesenangan pribadi. “Karena merasa salah jurusan juga, akhirnya punya kegelisahan, ‘masa sih harus stay dengan jurusan yang saya ambil?’. Sementara kuliah berjalan, saya sembari mencari hal-hal yang senang, lah,” tuturnya. “Ternyata sedari kecil saya senang menggambar. Kenapa saya enggak kulik diri di bagian itu, ya? Akhirnya saya banyak ngobrol dengan sesama kreator dan mulai cari referensi lain di Internet.”
Berangkat dari kegelisahan itu, terciptalah nama Tahilalats. Tidak ada filosofi atau makna tertentu di balik pemilihan nama tersebut. Nama Tahilalats sekelebat melintas dalam kepala Palik. Nama itu dipilih lantaran Palik mempunyai tahi lalat pada bagian kiri dagunya. Menurut dia, nama Tahilalats juga mudah untuk diingat dan mempunyai ciri yang khas. Perjalanan itu diawali Palik dengan membuat sebuah website bernama Tahilalats.com. Ruang itu dijadikan Palik untuk menampung karya-karya berupa komik, ilustrasi, dan tulisan. “Semua saya tampung di situ. Itu tahun 2012,” ujarnya.
Pada 2015, Palik mulai meluaskan publikasi karya-karyanya melalui Instagram. Karya-karyanya di akun Instagram Tahilalats terus bertambah. Pada waktu hampir bersamaan, dia mendapat tawaran untuk berkontribusi di Line Webtoon Indonesia. Dan pengikut karya-karya Tahilalats kian banyak.
Menurut Palik, ia mulai merasakan hobinya itu mulai menghasilkan pendapatan. Dari yang tadinya untuk seru-seruan dan menghibur orang di Internet, Palik merasakan bahwa jalan yang dia pilih bisa menghidupi dirinya. Intensitas penciptaan Palik melalui Tahilalats juga makin banyak. Di Line Webtoon, Palik harus mengerjakan empat komik dengan cerita yang berbeda dalam satu minggu.
Unggahan Tahilalats lewat akun instagramnya @tahilalats/Instagram @tahilalats
Palik juga harus membuat satu komik dalam sehari untuk diunggah ke Instagram—yang tentunya dengan jalan cerita berbeda. “Jadi, kalau ditotal dalam seminggu, bisa 11 komik yang harus jadi dan itu beda-beda judul. Cukup berat untuk dijalankan sampai 2017,” ucap Palik. “Bayangin, ada berapa komik kalau konsisten setiap hari? Mungkin ratusan.”
Pada 2018, Tahilalats menjelma menjadi sebuah perusahaan. Beberapa orang direkrut untuk masuk ke tim kreatif serta mengurus bisnis dan pemasaran. “Saya memutuskan hiring beberapa tim, mulailah ada karyawan atau asisten untuk menggambar ide-ide saya. Dari satu orang sampai akhirnya sudah merekrut head of marketing juga untuk memikirkan bisnis, kemudian tim kreatif juga sudah jalan,” tutur Palik.
Publikasi karya Tahilalats dalam beberapa tahun ke belakang telah memantik banyak pembaca untuk menikmati komik berkarakter khas dengan alur penceritaan yang sederhana dan guyonan sehari-hari tersebut. Namun karya-karya Tahilalats tidak hanya berkutat pada tema keseharian yang remeh-temeh. Kritik satire dalam cerita bergambar pernah diunggahnya.
Misalnya, pada 28 Desember 2022, mereka mengunggah komik delapan panel yang bercerita tentang kekesalan seorang pemuda terhadap pembangunan pabrik bernama PT Polusi Abadi di kampungnya. Pemuda itu digambarkan dalam wajah yang kesal ketika mendapati asap hitam tebal mengepul di atas cerobong pabrik.
Ke depan, Palik menambahkan, Tahilalats akan menggarap komik dengan gaya cerita panjang. Selain itu, karakter utama untuk Tahilalats juga sedang dipersiapkan lantaran sebelumnya tidak pernah ada karakter utama selama ini. “Sekarang kami mau memperkenalkan karakter utama kami sendiri. Caranya memperkenalkan karakter utama ini, ya lewat buku,” katanya.
Jurnalis, komikus, dan pendiri Jurnaliskomik, Hasbi Ilman/Tempo/Prima Mulia
Komik Jurnalistik
Lain lagi dengan Jurnaliskomik yang didirikan oleh Hasbi Ilman, kreator komik muda dari Bandung, pada 2017. Lewat Jurnaliskomik, pemuda 27 tahun itu mengembangkan genre komik yang berbasis jurnalistik bersama rekan-rekannya. Menurut Hasbi, ia terinspirasi Joe Sacco yang mengemas praktik jurnalistik dalam bentuk komik. “Sampai sekarang kami masih eksplorasi dan uji coba formulasi,” kata alumnus Jurnalistik Universitas Islam Bandung itu kepada Tempo, Kamis, 16 Februari lalu.
Hasbi mengatakan sampai sekarang genre jurnalistik komik masih belum banyak dikaji. Jadi belum ada konsep yang benar-benar menjadi acuannya dalam menuangkan karya-karya komik lewat Jurnaliskomik.
Akhirnya Hasbi memilih jalan tengah: berusaha menjembatani kerja sama antara jurnalis dan komikus. Kolaborasi itu ditempuhnya dengan membuat komik dari bahan liputan rekan jurnalis, selain dari liputan sendiri ke lapangan. “Jurnaliskomik menjadi media liputan dalam bentuk komik,” ujarnya.
Dalam keredaksian Jurnaliskomik, Hasbi menjadi pemimpin sekaligus merancang ide, naskah, dan menggambar komik di perangkat elektronik. Pada isu yang kompleks dan perlu banyak ilustrasi, ide dan rancangan komik mereka bahas bersama-sama. Eksekusi tugasnya dibagi-bagi, seperti riset bahan dan lokasi serta menggambar dan mewarnai. Karena tenaga tim masih kurang, mereka mengajak rekan lain di luar kota untuk menambah bahan liputan, mengisi suara, atau membuat video untuk komik animasi.
Semua karya itu mereka unggah di laman Jurnaliskomik dan akun Instagram. Publikasi terbarunya adalah Cerita dari Laut yang terbagi menjadi empat episode di jagat maya serta dipamerkan di berbagai tempat. Kreasi komik dengan beberapa format yang didukung Tempo Institute dan Google News Initiative itu berkisah tentang laut dan ikatannya dengan budaya masyarakat dan isu lingkungan.
Pada bagian awal, Hasbi cs menyuguhkan citra genangan sampah yang memenuhi Kampung Agas, sebuah permukiman terapung di daerah Tanjung Uma, Kota Batam. Kepulauan Riau. Meskipun pernah dibersihkan secara gotong-royong, genangan sampah baru kembali muncul terbawa gelombang laut. Akibatnya, selama bertahun-tahun, warga di sana harus hidup bersama sampah. Belum jelas benar dari mana saja limbah itu berasal hingga mengotori pesisir yang dulunya berpasir putih.
Komik itu menggabungkan gambar, suara, dan animasi hingga menjadi sebuah tayangan video singkat. Sementara itu, pada episode lanjutannya, komik itu masih tampil konvensional, tanpa suara dan animasi. Rencananya semua episode komik Cerita dari Laut akan dihimpun dalam format video.
Komik yang diunggah pada instagram @jurnaliskomik/Instagram @jurnaliskomik
Jurnaliskomik, menurut Hasbi, sejak awal tidak membuat sosok karakter khusus pada cerita bergambarnya. Para tokoh dalam komik, lokasi, dan suasananya digambar semirip aslinya. Pada beberapa komik yang bertema nonberita, seperti untuk edukasi, kampanye, atau kerja sama dengan pihak lain seperti lembaga swadaya masyarakat, pun tokohnya dibuat beragam. Selain itu, Jurnaliskomik menampung dan mengunggah karya para mahasiswa yang magang. “Jadi seperti platform dengan berbagai style gambar,” ujar Hasbi.
Komikus digital lain di Bandung, Sweta Kartika, punya banyak produk komik dengan berbagai genre. Ikut mendirikan kelompok bernama Padepokan Ragasukma, ia menghimpun para komikus yang serius menggarap cerita silat. Contoh karya komiknya adalah Pusaka Dewa.
Lewat komik Kemala, Sweta menggarap kisah horor, pun pada Journal of Terror yang kemudian ia tulis sebagai novel. Setelah komik dan novel Journal of Terror dirilis, ia ikut menggarap tawaran untuk membuat kisah itu pada film pendek miniseri dan audio series. “Saya tetap komikus karena cita-citanya itu dan mengerjakan komik,” tuturnya.
Sementara itu, komikus lain, Yohan Alexander alias Zoe Iskander, 40 tahun, masih terus merangkai sambungan kisah komik aksi berjudul Jaka Mekanik. Cerita bab pertama dari seri komik digital itu muncul pada 4 Maret 2021, sehari setelah bagian prolognya meluncur di laman Webtoons.com. Jaka Mekanik adalah komik pertamanya yang secara total digarap sendiri. “Biasanya kerja bareng tim di beberapa komik pesanan,” katanya, Rabu, 15 Februari lalu.
Komik dengan tokoh utama pemuda desa bernama Jaka yang punya kemampuan sebagai mekanik itu berlatar waktu awal abad ke-20. Ilustrasinya bergaya manga, namun genre fiksinya steampunk. Karena itu, di tengah suasana dan budaya lokal Priangan, sewaktu-waktu bisa muncul robot dan teknologi canggih lain di masa pendudukan Belanda. “Sejauh ini, komik Jaka Mekanik sudah dibaca orang 56 ribuan kali,” ujar lulusan Arsitektur Universitas Parahyangan, Bandung, itu.
Tren Komik Digital
Belakangan ini ruang digital memang telah menjadi tempat publikasi bagi banyak komikus Indonesia. Sejumlah kreator komik secara rutin mengunggah karya mereka di platform digital, seperti Facebook, Twitter, dan Instagram.
Pemerhati komik, Hikmat Darmawan, mengatakan persebaran komik digital di Indonesia bermula dari blog dan Multiply.com. Nama-nama seperti Aji Prasetyo dan Dwinita Larasati mengawali karier sebagai komikus melalui ruang tersebut. Kemudian hadir media sosial seperti Facebook dan Instagram.
"Platform digital memungkinkan komikus untuk membagikan kisahnya dan diterima masyarakat. Jadi, bila ada pameran akan diundang, jika ada penerbit tertarik dapat diterbitkan secara fisik,” kata Hikmat kepada Tempo, Kamis, 23 Februari lalu.
Komik digital, menurut Hikmat, menjadi ruang sebagai alat ekspresi para komikus di jagat maya. Misalnya, karya-karya Masdimboy. Komik dengan gaya hitam dan putih itu mampu merespons ruang yang ada. Komik yang keluar dari panel, kesadaran akan visual tiga dimensi, hingga paham akan ruang menjadi ruang ekspresi Masdimboy. “Dia sadar medium tapi komiknya sederhana. Fokusnya pada engagement," ujarnya. "Andalan dia pada pelesetan kata, bukan rupa."
Hikmat menambahkan, komik digital juga harus menghadapi tantangan, yakni membangun ekosistem industri yang sehat. Hal itu penting dilakukan agar keberhasilan salah satu komikus di dunia industri dapat diikuti oleh komikus lain. Komik digital Indonesia juga penting untuk membangun semacam intellectual property bisnis. Tujuannya agar menguntungkan para komikus Indonesia. “Di Indonesia banyak yang semangat masuk ke industri. Tapi banyak yang tereksploitasi karena tidak memiliki penghasilan yang memadai untuk mereka hidup," ucapnya.
YOSEA ARGA PRAMUDITA, ANWAR SISWADI (BANDUNG)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo