Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Tempat Pemrosesan Akhir Cipayung di Kota Depok sejak 2018 sudah kekurangan kapasitas.
Pemerintah Kota Depok berharap Pemerintah Provinsi Jawa Barat segera mengoperasikan Tempat Pembuangan dan Pemrosesan Akhir Lulut-Nambo.
Sebagian besar Tempat Pemrosesan Akhir di Indonesia masih dioperasikan secara open dumping.
SUDAH dua jam truk bermuatan lima ton sampah yang dikemudikan Tholib beringsut di Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Cipayung, Depok, Jawa Barat. Kaki laki-laki 41 tahun itu telah lelah menginjak pedal rem, kopling, dan gas. Masih 400 meter lagi truknya sampai di jembatan timbang sebelum bisa membongkar muatan di kolam B. "Waktu bongkar sih paling 10-15 menit," kata Tholib, yang sudah 15 tahun menjadi sopir pengangkut sampah di TPA ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Siang itu, Selasa, 21 Februari lalu, Tholib tidak sendiri. Bersama puluhan sopir truk pengangkut sampah lain, ia mesti sabar menunggu giliran untuk membongkar muatan. Kondisi TPA Cipayung yang sudah kekurangan kapasitas mengharuskan armada pengangkut sampah antre berjam-jam. Setelah sampah ditumpahkan dari truk di lokasi kolam penampungan, ekskavator akan menata agar sampah tidak menumpuk di bagian depan. Proses penataan inilah yang membuat antrean panjang truk.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TPA Cipayung seluas 11,2 hektare saat ini hanya memiliki dua kolam penampungan yang aktif. Kolam C tidak aktif lagi karena terlalu dekat dengan permukiman. Adapun kapasitas kolam A dan B mencapai 2,5 juta meter kubik sampah. Idealnya, tempat pembuangan sampah yang berdiri sejak 1980-an itu berisi 1,3 juta meter kubik sampah. Volume sampah itu membentuk gunung setinggi 20-25 meter. Gunung sampah yang labil ini kerap longsor terutama ketika hujan deras.
Tempat Pengolahan dan Pemrosesan Akhir Sampah (TPPAS) Lulut Nambo, yang belum beroperasi di Kabupaten Bogor, Jawa Barat, 23 Februari 2023/Tempo/M Taufan Rengganis
Longsor gunung sampah TPA Cipayung yang parah terjadi pada 19 Oktober 2022. Hujan yang turun terus-menerus menekan gunung sampah di kolam B. Longsoran sampah menutup jalan dan saluran air yang memicu banjir. Ketinggian banjir hingga mengubur ban truk pengangkut sampah. Operasi TPA berhenti dan semua petugas diliburkan serta tak ada sampah yang bisa masuk.
Tak ada korban jiwa dalam kejadian itu. Longsoran sampah yang menelan korban jiwa hingga 157 orang dan dua kampung hilang tertelan sampah terjadi di TPA Leuwigajah, Jawa Barat, pada 21 Februari 2005. Tanggal ini diperingati sebagai Hari Peduli Sampah Nasional karena baru pertama kali terjadi ratusan orang meninggal terkubur gunung sampah.
Sudah 18 tahun berlalu sejak kejadian longsor sampah TPA Leuwigajah, pengelolaan sampah masih jalan di tempat. Sri Bebassari, Ketua Dewan Pembina Indonesia Solid Waste Association, miris melihat TPA tidak dibangun secara layak. “Kita membuat kota tapi tidak bikin TPA," ujar Sri. “Kayak orang membangun rumah, teras dan ruang tamunya bagus tapi toiletnya di kebun. Bukan karena tidak ada uang, tapi budaya dan cara berpikir yang belum bersih."
Sri melihat pengelolaan sampah di Indonesia belum menjadi prioritas. Dia merujuk pada anggaran pengelolaan sampah kebanyakan pemerintah kabupaten dan kota di seluruh Indonesia yang rata-rata hanya nol koma sekian persen dari total anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD). “Bandingkan dengan pendidikan yang 20 persen dan kesehatan yang 10 persen. Padahal kebersihan ini juga sejajar dengan pendidikan, kesehatan, keamanan, sama-sama pelayanan umum dasar,” tuturnya.
Akibatnya, kata Sri, pengoperasian TPA pasti berupa open dumping atau sampah ditumpuk di lahan terbuka. Menurut dia, metode ini paling gampang dan murah. Rata-rata biayanya Rp 20 ribu per ton. Padahal, menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 7 Tahun 2021, biaya mengolah sampah berkisar Rp 130-900 ribu per ton. "Tinggal pilih mau pemrosesan bintang berapa,” ujar penulis buku Kebersihan adalah Investasi – Sampahku Tanggung Jawabku itu.
Sri mengaku senang setelah 14 tahun umur Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah yang ikut ia susun akhirnya turun menjadi Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 7 Tahun 2021 tentang Tata Cara Perhitungan Tarif Retribusi dalam Penyelenggaraan Penanganan Sampah. Menurut dia, terbitnya acuan biaya pengelolaan sampah dari pengumpulan, pengangkutan, pengolahan, sampai pemrosesan akhir, termasuk biaya retribusi dari masyarakat, menunjukkan pengelolaan sampah adalah pusat biaya, bukan pusat laba.
Direktur Jenderal Bina Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri Teguh Setyabudi mengatakan ada banyak problem ketika memberikan solusi kepada pemerintah daerah ihwal alternatif teknologi pengelolaan sampah selain open dumping. "Tentunya ini berpengaruh pada kecukupan APBD tiap daerah,” kata Teguh melalui jawaban tertulis, Sabtu, 25 Februari lalu.
Menurut Teguh, sekarang tantangan dalam pelaksanaan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 7 Tahun 2021 adalah mendorong pemerintah daerah membentuk peraturan daerah yang menyatukan semua aturan pajak dan retribusi dalam satu peraturan. Ihwal sanksi kepada pemerintah daerah yang tidak menjalankan aturan sampah, Teguh melanjutkan, telah dilakukan kementerian teknis bidang lingkungan hidup. “Yang penting pengelolaan sampah menjadi kesadaran masyarakat yang didukung pemerintah daerah,” ujarnya.
Tempo coba meminta konfirmasi Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah, dan Bahan Beracun Berbahaya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Rosa Vivien Ratnawati, soal sanksi ini. Sampai Sabtu malam, 25 Februari lalu, Vivien tak merespons surat permohonan wawancara ataupun panggilan telepon.
Pasal 44 Undang-Undang Pengelolaan Sampah mewajibkan pemerintah daerah menutup TPA yang menggunakan open dumping paling lama pada 2014 atau lima tahun sejak berlakunya undang-undang tersebut. Menurut “Laporan Kinerja Direktorat Pengelolaan Sampah, Direktorat Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah, dan Bahan Beracun berbahaya Tahun Anggaran 2021", dari 514 kota dan kabupaten di Indonesia, sebanyak 310 (60 persen) kabupaten dan kota mengoperasikan TPA sampah terbuka.
Direktur Sanitasi Direktorat Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Tanozisochi Lase mengatakan open dumping sudah tak diakui dalam operasional TPA. "Paling tidak sanitary landfill atau controlled landfill,” kata Tanozisochi melalui konferensi video pada Rabu, 22 Februari lalu.
Enri Damanhuri, pengamat sampah dan lingkungan dari Bandung, mengatakan istilah yang tepat untuk TPA terbuka bukan open dumping. Seharusnya TPA yang begitu saja menampung sampah disebut TPA yang tidak diurus. “Open dumping artinya terbuka. Tidak ada masalah, asal tertib. Tapi ini faktanya amburadul, tidak diurus, sehingga jorok,” tuturnya. "Sampah itu kalau dibiarkan saja, seperti kompos, akan keluar panas, tapi harus dijaga.”
Menurut Tanozisochi, membangun TPA merupakan tugas dan fungsi pemerintah kota dan kabupaten. Namun kementeriannya membantu membuatkannya untuk pemerintah daerah yang belum mampu mengalokasikan anggaran membangun TPA. Pada 2015-2022, Kementerian PUPR telah membangun 163 unit TPA, 19 unit tempat pengolahan sampah terpadu, dan 1.028 tempat pengelolaan sampah reuse, reduce, dan recycle.
Adapun jumlah TPA yang dibangun sendiri oleh pemerintah daerah, kata Tanozisochi, tidak bisa dideteksi. Menurut dia, pengawasan terhadap pengoperasian TPA oleh pemerintah daerah bukan wewenang Kementerian PUPR, melainkan KLHK. “KLHK kan punya program Adipura yang salah satunya menilai pengoperasian TPA oleh pemerintah daerah. Standarnya kami yang buat,” ucapnya.
Tanozishoci menjelaskan, pemerintah daerah yang pernah mendapat bantuan pembangunan TPA dari kementeriannya dan yang menerima pelatihan konsisten mengoperasikan TPA sesuai dengan prosedur operasi standar (SOP) yang diberikan. Contohnya Pemerintah Kabupaten Banyumas (Jawa Tengah), Cilacap (Jawa Tengah), dan Kota Malang (Jawa Timur). “Ini masalah komitmen karena mereka yang mengoperasikan, bukan kami,” ujarnya.
•••
KEPALA Unit Pelaksana Teknis Daerah TPA Cipayung Ardan Kurniawan mengatakan kekurangan kapasitas TPA Cipayung terjadi sejak 2018. Meski begitu, TPA Cipayung tetap beroperasi karena satu-satunya tempat pengelolaan sampah di Depok. TPA yang semula menerapkan metode penimbunan sampah secara terbuka ini telah berubah menjadi TPA lahan uruk terkontrol (controlled landfill) dengan menimbun, meratakan, dan memadatkan sampah.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan Kota Depok Iskandar Zulkarnaen mengatakan TPA Cipayung sudah tidak layak menjadi tempat penampungan sampah masyarakat Kota Depok. Tiap hari, kata dia, timbulan sampah mencapai 1.300 ton dan baru 70 persen yang tertangani oleh pemerintah kota. “Angka 900 ton itu bisa lebih. Apalagi pertumbuhan penduduk yang terus bertambah," ucapnya. Beroperasinya Tempat Pengolahan dan Pemrosesan Akhir Sampah (TPPAS) Regional Lulut Nambo, menurut dia, bisa menjadi salah satu solusi bagi pengelolaan sampah di Kota Depok.
Menurut Iskandar, TPA Cipayung sudah tidak mungkin meluaskan area penampungan sampah. Anggaran operasional hingga Rp 4 miliar per tahun dalam empat tahun terakhir yang disiapkan pengelola tak sepenuhnya terserap. Anggaran itu, kata Iskandar, untuk membayar tipping fee ke TPPAS Regional Lulut Nambo, Rp 125 ribu per ton. Iskandar memastikan Kota Depok siap dari segi anggaran dan menunggu pengoperasian TPPAS Regional Lulut Nambo.
Anggota Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jawa Barat, M. Faizin, mengatakan TPPAS Regional Lulut Nambo merupakan harapan warga Depok, Kota Bogor, Kabupaten Bogor, dan Bekasi memiliki tempat penampungan sampah. Faizin menjelaskan, pengoperasian TPPAS Regional molor terus, sementara TPA Cipayung di Depok sudah overload. "Kami usahakan Nambo cepat tuntas," tuturnya.
Dari kunjungan DPRD Jawa Barat terakhir, Faizin menerangkan, TPA itu mungkin baru akan selesai dibangun pada pertengahan tahun ini. "Itu pun hanya kapasitas 50 ton per hari, dari target 2.500 ton," kata Ketua Dewan Pengurus Cabang Partai Kebangkitan Bangsa Kota Depok ini. Dia mengatakan molornya pengoperasian TPPAS Regional Lulut Nambo sempat menjadi polemik karena PT Jasa Sarana tidak terbuka menyampaikan informasi kepada DPRD Jawa Barat.
Juga karena alasan perang Rusia-Ukraina. Sampai akhirnya, menurut Faizin, mereka mengabaikan semua alasan klise tak beroperasinya TPA itu. "Setelah diusut, problemnya adalah investor tidak siap dana," ucapnya.
Enri Damanhuri menyebutkan persoalan di TPPAS Regional Lulut Nambo sama persis dengan TPPAS Regional Legok Nangka, Bandung. Menurut Enri, anggaran pengelolaan sampah di TPA itu sudah pasti naik. “Yang realistis sekarang mungkin Rp 400 ribu per ton. Kota Bandung yang terbilang paling kaya itu hanya mampu membayar Rp 100-150 ribu per ton,” ujarnya.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta termasuk cukup berhasil mengelola Tempat Pengolahan Sampah Terpadu Bantar Gebang. Menurut Kepala Dinas Lingkungan Hidup Provinsi DKI Jakarta Asep Kuswanto, anggaran pengelolaan sampah dalam APBD tahun 2021 sebesar Rp 1,8 triliun dan tahun 2022 Rp 2,8 triliun. Anggaran tersebut, kata Asep, habis untuk operasional, dari belanja pegawai, bahan bakar kendaraan dan alat berat, sampai pemeliharaan dan penambahan sarana-prasarana penanganan sampah.
Menurut Asep, sampah dari semua wilayah DKI Jakarta sudah tertangani. Saat ini Dinas Lingkungan Hidup sedang mengupayakan pengurangan sampah di sumbernya agar sampah yang dikirim ke TPST Bantar Gebang di Bekasi, Jawa Barat, berkurang sehingga bisa memperpanjang usia pemakaiannya. Luas area yang digunakan sebagai zona landfill 81,4 hektare. “Ketinggian zona landfill tidak aktif antara 10-20 meter dan antara 50-60 meter untuk zona aktif,” tuturnya.
Tempat pengolahan sampah Landfill Mining dan RDF (Refuse Derived Fuel) Plant di Tempat Pengolahan Sampah Terpadu Bantar Gebang, Bekasi, Jawa Barat, 2 Januari 2023/Antara /Fakhri Hermansyah
Mulai Maret 2023, TPST Bantar Gebang akan mengoperasikan fasilitas refuse-derived fuel (RDF). Asep menargetkan teknik pengeringan sampah untuk bahan bakar pembangkit listrik ini mengolah 2.000 ton sampah per hari, sebanyak 1.000 ton sampah baru dan 1.000 ton sampah lama. Volume itu menghasilkan 700-750 ton RDF curah per hari, yang akan dipasok untuk pembangkit listrik industri semen. "Sampah lama yang ditambang untuk diolah menjadi RDF berasal dari zona landfill yang sudah tidak aktif lebih dari 7 tahun,” ujar Asep.
Kapasitas RDF Bantar Gebang itu masih jauh dari pasokan sampah per hari warga Ibu Kota sebanyak 7.500 ton. Untuk mengolah sampah lebih dari 2.000 ton sehari, kata Asep Kuswanto, perlu lahan penampungan sampah lebih luas. Karena itu, pemerintah Jakarta memfokuskan pengurangan sampah di hulu dengan mengoptimalkan banyak bank sampah di tiap wilayah.
IRSYAN HASYIM, RICKY JULIANSYAH
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo