Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
POLEMIK krisis beras akhir-akhir ini menarik perhatian Chendy Tafakresnanto. Bukan saja lantaran Chendy kini menjadi peneliti pada Pusat Riset Tanaman Pangan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), tapi juga karena doktor ilmu tanah ini punya pengalaman riset ihwal peningkatan produktivitas padi ketika masih bertugas di Kementerian Pertanian.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dua tahun lalu, saat menjadi periset di Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementerian Pertanian, Chendy ditugaskan untuk turut serta dalam riset peningkatan produktivitas padi secara nasional. Perintah ini datang di kala negara sedang menghadapi ancaman krisis pangan akibat pandemi Covid-19. "Waktu itu kami menggunakan teknologi Panca Kelola Lahan, yang kami implementasikan di Kabupaten Nganjuk, Malang, Klaten, dan daerah lainnya," kata Chendy kepada Tempo pada Rabu, 14 Februari 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Panca Kelola Lahan merupakan lima metode yang menjadi bagian dari program intensifikasi lahan pertanian. Tujuannya adalah meningkatkan indeks pertanaman (IP) dan jumlah panen dalam setahun.
Hal pertama yang harus dilakukan dalam metode tersebut, kata Chendy, adalah memastikan benih unggul. Maksudnya, varietas yang dipilih disesuaikan dengan lokasi dan musim tanam. Benih padi yang ditanam pada musim hujan, misalnya, harus lebih tahan terhadap ancaman serangan jamur dan virus. Metode ini berhasil meningkatkan hasil panen sebesar 25-30 persen per hektare.
Langkah berikutnya adalah pemupukan dengan dosis tepat, yang menurut Chendy akan meningkatkan produktivitas lahan sebesar 22-25 persen. Adapun tiga metode lainnya berupa merapatkan tanaman padi dari 280 ribu rumpun menjadi 320 ribu rumpun per hektare, memastikan pengairan memadai, dan mengendalikan hama padi.
Petani memanen padi dengan latar belakang lahan pertanian yang beralih fungsi jadi perumahan di Sidoarjo, Jawa Timur. ANTARA/Umarul Faruq
Singkat cerita, riset tersebut berbuah manis. Produksi padi di sejumlah daerah yang menjadi lokasi penelitian meningkat dari 8 ton menjadi 10 ton per hektare dalam setahun. Persoalannya, riset penerapan inovasi teknologi ini berakhir di laporan hasil penelitian. Pemerintah tidak mengimplementasikannya secara nasional, terutama untuk meningkatkan produktivitas lahan pertanian berkarakter khusus.
Karena itu, Chendy tak kaget angka produksi gabah kering giling (GKG) selama ini cenderung stagnan, hanya 5 ton per hektare dalam setahun. Sedangkan luas lahan sawah terus berkurang. Berdasarkan kalkulasi Chendy, laju penyusutannya mencapai 60-80 ribu hektare per tahun. Tingkat kesuburannya pun terus merosot akibat konversi lahan.
Chendy menduga seretnya produksi beras akhir-akhir ini turut dipicu oleh kebijakan pemerintah yang lebih mengutamakan program ekstensifikasi lahan pertanian, seperti proyek food estate. Padahal, menurut dia, sawah di Indonesia kurang cocok dikembangkan dengan cara pembukaan lahan dalam skala luas. "Justru Indonesia memiliki karakteristik pertanian menggunakan lahan sempit yang dikelola petani melalui kelembagaan-kelembagaan yang sudah ada," ujar mantan Kepala Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur ini.
Petani mengusir hama burung di area persawahan yang berdekatan dengan pemukiman di Rorotan, Jakarta, 8 Januari 2024. ANTARA/M. Risyal Hidayat
Dampak Alih Fungsi Lahan Sawah
Hingga saat ini, Badan Pusat Statistik belum mempublikasikan secara rinci hasil Sensus Pertanian 2023, yang akan memperbarui data pertanian hasil sensus sebelumnya pada 2013. Namun tren menyusutnya luas lahan sawah sudah menjadi rahasia umum. Luas lahan baku sawah 2019, penetapan paling mutakhir oleh pemerintah, hanya sebesar 7,46 juta hektare. Angka ini jauh berkurang dibanding pada 2013, yang diklaim seluas 7,79 juta hektare.
Berlanjutnya tren penyusutan luas lahan sawah sudah tampak dari berkurangnya luas panen. Pada Oktober tahun lalu, BPS memperkirakan luas panen padi pada 2023 hanya 10,2 juta hektare, berkurang sekitar 480 ribu hektare—atau setara dengan delapan kali luas wilayah DKI Jakarta—dibanding luas panen pada 2019.
Menyusutnya luas lahan baku dan luas panen itu juga tecermin dari turunnya produksi gabah kering giling dan beras. BPS menaksir produksi GKG pada 2023 hanya 53,64 juta ton, turun sekitar 2 persen dibanding pada tahun sebelumnya. Produksi beras juga merosot, menjadi hanya 30,9 juta ton dari sebelumnya sebanyak 31,54 juta ton. Pemerintah mengklaim anjloknya produksi ini makin memperlebar defisit pada neraca beras. Pasalnya, konsumsi beras dalam setahun ditaksir mencapai 35,3 juta ton.
Sudah bertahun-tahun defisit beras tersebut memantik kontroversi. Kebijakan pemerintah mengimpor beras untuk menutup kekurangan pasokan di dalam negeri selalu menimbulkan respons pro dan kontra. Di sisi lain, berkurangnya pasokan otomatis mendorong kenaikan harga beras, seperti yang terjadi dalam beberapa bulan terakhir. Belakangan, lonjakan harga yang juga terjadi di tingkat petani ditengarai memaksa industri penggilingan padi dan pedagang beras menahan bisnisnya sehingga memicu kelangkaan, terutama beras premium, di sejumlah daerah.
Calon pembeli memeriksa kualitas beras di Pasar Induk Beras Cipinang, Jakarta, 12 Februari 2024. TEMPO/Tony Hartawan
Apa pun akar masalahnya, peneliti di Direktorat Informasi dan Data Auriga Nusantara, Andhika Younastya, menduga krisis beras akhir-akhir ini hanya secuil masalah akibat timpangnya pengembangan lahan pertanian selama ini. Andhika merujuk pada data MapBiomas Indonesia, platform analisis tutupan dan penggunaan lahan yang dikembangkan organisasinya. "Secara umum, luas lahan pertanian semakin luas dalam dua dekade terakhir. Namun pertambahan luasnya didominasi tutupan perkebunan sawit, bukan tanaman pangan," ujarnya.
Merujuk pada data MapBiomas Indonesia, luas lahan pertanian di Indonesia mencapai 47,79 juta hektare pada 2022. Angka ini jauh lebih besar dibanding luas pada 2000 yang hanya 38,5 juta hektare. Namun lahan pertanian tersebut tak hanya berupa sawah, tapi juga mencakup lahan pertanian lain, perkebunan sawit, dan kebun kayu.
Jika dicacah, perluasan lahan pertanian tersebut didominasi lahan dengan klasifikasi perkebunan, terutama sawit. Dalam dua dekade terakhir, luas tutupan sawit bertambah 2,5 kali lipat, dari 7,25 juta hektare pada 2000 menjadi 17,76 juta hektare pada 2022. Perkebunan kayu juga bertambah luas tiga kali lipat, meski dalam skala luas yang jauh lebih kecil, yakni 3,04 juta hektare per 2022.
Sedangkan luas lahan sawah justru cenderung stagnan. Jika diakumulasi, luas lahan sawah dalam kurun waktu 2000-2022 memang tumbuh 7,3 persen. Namun pertambahan luas sawah tersebut paling besar terjadi pada periode 2011-2012, yakni dari 9,49 juta hektare menjadi 9,72 hektare. Namun sejak saat itu luas sawah mengalami fluktuasi. Sempat menembus 10 juta hektare pada 2018 dan 2019, luas lahan sawah kembali terus berkurang dalam tiga tahun terakhir.
Habis Sawah, Menjadi Apa?
Stagnansi tersebut disebabkan pertambahan dan pengurangan areal persawahan selalu berjalan beriringan. Dalam kurun waktu dua dekade terakhir, banyak lahan pertanian non-sawah, perkebunan, juga hutan berubah fungsi menjadi sawah. Begitu pula sebaliknya, pada periode yang sama, tak sedikit sawah yang bersalin rupa.
Masih merujuk analisis data MapBiomas Indonesia, dalam kurun waktu 2000-2022, hanya lahan persawahan seluas 8,28 juta hektare yang tak berubah fungsi. Sisanya, sawah seluas 868 ribu hektare mengalami dinamika penggunaan lahan, mulai dari berubah menjadi lahan pertanian lain, perkebunan sawit, hingga lubang tambang.
Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Muhammad Iqbal Damanik, menilai tata kelola kebijakan pangan selama ini sarat masasalah. Pemerintah, kata dia, tak serius meningkatkan ketahanan pangan.
"Mereka hanya fokus bagaimana caranya membuka lahan dengan dalih program swasembada pangan, tapi serius merancang dan mengembangkannya," kata Iqbal. "Lahan hasil ekstensifikasi sawah pada akhirnya jadi ladang perkebunan yang dianggap lebih punya daya ungkit ekonomi."
Buruknya tata kelola tersebut pada akhirnya memicu komplikasi masalah, tidak hanya berupa menurunnya pasokan bahan pangan, tapi juga merosotnya daya dukung dan daya tampung lingkungan di tingkat tapak. Iqbal mengingatkan, ekstensifikasi lahan pertanian selama ini juga telah merambah hutan dan gambut, seperti yang terjadi pada proyek dua proyek food estate di Kalimantan Tengah. "Manfaat ekonomi program tersebut kepada masyarakat tak sebanding dengan kerusakan lingkungan yang ditimbulkan," ujarnya.
Baca Juga:
Direktur Eksekutif Trend Asia, Yuyun Indradi, punya pandangan serupa. Dia menilai pemerintah selama ini tak punya kebijakan yang komperehensif untuk meningkatkan ketahanan pangan. "Petani tidak mendapatkan support yang cukup dan cenderung ditekan melalui sarana produksi yang semakin mahal," kata Yuyun. "Sehingga bertani menjadi tidak menarik lagi bagi petani karena tidak ekonomis, terutama untuk padi."
Sebaliknya, menurut Yuyun, pemerintah cenderung habis-habisan menyokong bisnis skala besar berbasis lahan, seperti perkebunan sawit dan properti. "Jadi biang krisis pangan lebih pada tata kelolanya yang korup," ujarnya.
Pakar pertanian dari Fakultas Pertanian Universitas Mulawarman, Zulkarnain, juga mencurigai adanya pembiaran terhadap alih fungsi lahan sawah secara nasional. Dia menilai pemerintah tak memiliki kehendak politik untuk mempertahankan luas lahan sawah. "Padahal pemerintah semestinya menjalankan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dengan memastikan luas lahan dan produksi pangan harus terjaga," kata Zulkarnain.
Kepala Biro Humas dan Informasi Publik Kementerian Pertanian Kuntoro Boga Andri enggan menjawab ihwal data kemerosotan lahan sawah dari tahun ke tahun. Dia menganjurkan Tempo menghubungi Direktur Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian Suwandi. "Langsung ke Pak Dirjen Tanaman Pangan, ya," kata Kuntoro singkat. Hanya, Suwandi ataupun pejabat humas Direktorat Jenderal Tanaman Pangan belum merespons upaya konfirmasi Tempo.
Suwandi sebelumnya menjelaskan bahwa pemerintah sedang menggenjot program intensifikasi kepada petani untuk mengejar target produksi 35 juta ton beras pada tahun ini. Pemerintah turut memetakan lahan tidur di daerah untuk diolah kembali. "Kami tengah intensifkan program bersama direktorat jenderal teknis, seperti PSP (Prasarana dan Sarana Pertanian), dari pupuk, alat dan mesin, air, asuransi, KUR (kredit usaha rakyat), hingga penyuluhan," kata Suwandi, seperti dikutip Antara pada 20 Oktober 2023.
AVIT HIDAYAT
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo