Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Arus Balik Para Pembalak

Tangkahan adalah potret desa yang berubah: dari pencuri kayu menjadi perawat hutan di Taman Nasional Gunung Leuser, Sumatera Utara.

8 Mei 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TANGKAHAN adalah hutan yang getir. Para penebang pohon selalu datang berbondong. Dengan gergaji- mesin di tangan dan kerbau-kerbau- penarik batang kayu, mereka membalak- hutan. Lebih mudah menemui orang-orang bergolok ketimbang orangutan. Deru mesin gergaji lebih gampang di-dengar ketimbang jeritan orangutan.

Itu lima tahun lalu. Hutan yang ter-letak di Tangkahan, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, itu benar-benar kelabu. Tangkahan telah menjadi gerbang bagi para pencuri kayu di Taman Nasional Gunung Leuser.

Awal Mei lalu, potret hutan yang tercampakkan itu sudah berubah 180 derajat. Tangkahan adalah hutan yang menikmati hidup. Ketika Tempo menjejakkan kaki di hutan yang basah, ada sambutan mengejutkan: pasukan ribu-an pacet yang melambai-lambai di dedaunan mencari mangsa, orangutan yang menjerit bersahutan. Barisan- pohon-—ada jenis pohon raja khas Leuser-, pasak bumi, dan aneka jenis damar—tinggi menjulang dengan hiasan sarang orangutan yang berupa anyaman ran-ting dan daun.

Di Tangkahan, kiamat rupanya telah lewat. Sejak lima tahun lalu, penduduk desa yang mayoritas dari suku Batak Karo itu telah beralih profesi: dari penebang pohon menjadi pengawal hutan.

Di secuil hutan itu kini harimau, badak, dan gajah hidup tenteram. Mereka dijaga oleh orang-orang kampung yang berpatroli dengan naik gajah.

Njuhang Pinem, tetua Desa Tang-ka-h-an-, bercerita, sejak 1942 Tangkahan- adalah desa kaum perambah hutan. Mencari balok kayu lebih mudah ketimbang mencari kacang goreng. Harga kayu yang selangit membuat penduduk me-nelantarkan ladang. ”Pertanian masih dilakukan, tapi mata pencaharian utama adalah menjual kayu curian,” kata lelaki berusia 59 tahun itu.

Betapa menggiurkannya: satu ton kayu meranti kelas satu yang sudah digergaji harganya Rp 800 ribu. Seminggu di hutan, Njuhang dan pencuri kayu di kampungnya bisa keluar membawa 10 ton.

Namun, pada 2000 keadaan mulai ber-ubah. Anak-anak kampung Tangkahan yang kerap bergaul dengan para pencinta alam yang menyambangi Leuser mulai kenal istilah-istilah: konservasi atau pelestarian. Para pemuda itu akhir-nya mendirikan kelompok Tangkahan Simalem Ranger. Tugasnya mengawasi ke-giatan pencinta alam, sekaligus bisa disewa sebagai pemandu hutan. ”Awalnya masih ada perasaan mendua, karena mencuri kayu lebih menguntungkan daripada menjadi ranger,” ujar Rutkita Sembiring, 29 tahun, yang dulu mencuri kayu sejak 1997.

Perubahan itu menular ke kaum tua di Tangkahan. Dibantu organisasi nirlaba Indonesian Ecotourism (Indecon), kaum tua Tangkahan mulai sadar fungsi hutan. Mereka akhirnya membentuk Lembaga Pariwisata Tangkahan pada Mei 2001. Lembaga ini bertugas mengelola hutan wisata, mirip hutan wisata yang didirikan Indecon di Jawa Barat, Sulawesi Selatan, Jawa Tengah, dan Nusa Tenggara Barat. Lembaga ini mengelola- hutan wisata di kawasan Taman Nasional Gunung Leuser seluas 17.500 hektare. Mereka akhirnya juga menelurkan peraturan desa. Isinya melarang penduduk merusak hutan, beserta sanksi yang berat.

Njuhang pun terpilih sebagai Ketua- Lembaga Pariwisata Tangkahan. -Se-j-ak mengharamkan pencurian kayu, pendapatan Njuhang langsung turun 50 persen. Dulu, sebagai pencuri kayu, sebulan ia bisa memboyong uang Rp 3 juta ke rumah. ”Tapi melestarikan hutan tak bisa diukur dengan uang,” kata lelaki yang kini kembali menjadi peladang untuk mencari tambahan penghasilan itu.

Di kawasan itulah kemudian dibuat se-jumlah kegiatan petualangan yang tak merusak hutan. Contohnya: penjelajah-an ke dalam hutan, tubing (semacam arung jeram, tapi perahunya hanya ber-upa ban dalam truk), serta tur ke-liling bersama gajah, yang dikelola bersama Fauna & Flora International-. Gajahgajah- itu adalah gajah yang tersesat masuk kampung, kemudian dilatih. Di bibir hutan, masyarakat juga mendirikan penginapan-.

Ary mengatakan, sepanjang 2005 -wisa-ta-wan yang menyambangi Tangka-han- mencapai 850 orang yang menginap dua sampai tiga hari. Kedatangan me-reka membuat perputaran uang di sana mencapai Rp 126 juta sepanjang tahun itu. ”Nilai itu sangat potensial bertambah,” kata Ary. Masuk akal bila para penduduk Tangkahan kini mengikuti arus balik: tak lagi doyan menggangsir kayu hutan.

Deddy Sinaga (Langkat)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus