Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Awas, air limbah pabrik

Beberapa kasus pencemaran oleh buangan air limbah pabrik dan usaha-usaha pencegahan pencemaran oleh pabrik-pabrik yang bersangkutan. pembabatan hutan mengancam kelestarian air.(ling)

6 Juni 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PABRIK kimia PT Uci Jaya di Majalaya, Jawa Barat, pernah menjadi penyebab kemarahan rakyat karena air buangannya mengandung senyawaan beracun asam klorida. Ia mencemari sawah, empang dan sumur penduduk sekitarnya. Februari 1980, ratusan rakyat membakar pabrik pembuat kaustik soda itu setelah protes mereka tak dihiraukan . Sejumlah 39 penduduk desa Banjaran dan Rancaputat kemudian dihukum antara tiga sampai delapan bulan penjara. Sedang PT Uci Jaya, akibat pembakaran itu, rugi Rp 1 milyar. Kini di sekeliling reruntuhan pabrik tersebut, padi dan tebu rakyat tumbuh subur. Peristiwa itu -- suatu contoh pelajaran pahit -- mungkin sudah dilupakan pada Hari Lingkungan Hidup se-Dunia 5 Juni, tapi banyak kasus pencemaran semacam itu tetap belum terselesaikan. Pabrik kimia PT Semarang Diamond Chemical, misalnya, dianggap masih mencemari Dukuh Tapak, Desa Tugurejo, Semarang, dengan air limbah dan endapan padatnya. Sejak empat tahun lalu, pabrik pembuat calcium citrate itu mengalirkan ampas organis buangan pabrik -- berupa senyawaan amonium (NH4) dan asam belerang (H2S) -- ke tambak bandeng (93 ha) dan sawah (45 ha) milik penduduk lewat Kali Tapak. Tambak dan sawah tercemar karenanya. Sedang penghasilan penduduk jadi berkurang. Cokelat Kemerahan Mencegah pencemarannya lebih meluas, manajemen PT SDC (Desember 1979) dengan biaya sekitar Rp 70 juta kemudian membangun instalasi aerator. Melalui sejumlah bak, air limbah pabrik itu dimurnikan kembali dengan menambah oksigen sambil mengurangi keasaman air. Proses itu melewati tujuh tahapan dan berjalan sebulan. Kendati sudah dianggap bebas dari unsur pencemar, demikian pengamatan Hamid S. Darminto dari TEMPO, air buangan pabrik itu masih berwarna cokelat kemerahan. Dengan ampas padat buangannya, PT SDC pun masih dituduh menyebabkan pendangkalan tambak. Tapi Soedardjo SH, Kepala Bagian Umum dan Personalia PT SDC, membantahnya. Ampas padat 10 ton sehari dari pabrik setelah dilumatkan, - katanya, dibuang ke daerah perkebunan -- antara lain ke Ngaliyan. Ampas itu berasal dari pemrosesan ampas ketela, ampas tebu dan bekatul yang bisa menghasilkan asam sitrat sebagai produk akhir. Bekerja sama dengan Universitas Gajah Mada, PT SDC kini berusaha menjadikan ampas itu semacam kompos dalam waktu singkat. Di Surabaya, pabrik bumbu masak Miwon, demikian wartawan TEMPO Dahlan Iskan, belum juga memasang perlengkapan pemurnian air limbah. Semula Pemerintah Daerah Jawa Timur memberi batas waktu pemasangan alat itu 23 Mei 1981. Tapi dengan alasan harga alat itu belum terjangkau -- konon harganya ratusan juta rupiah --Miwon minta waktu setahun lagi. Permintaannya dikabulkan. Sementara ini air limbah pabriknya -- sekitar 80 ribu liter sehari -- setelah dicampur kapur dalam sebuah kolam dibuang ke sebuah sungai yang langsung mengalir ke laut. Empat tahun silam, air limbah Miwon yang mengandung senyawaan organik mencemari Kali Surabaya dengan hebat. Akibatnya air yang dihasilkan PAM (Perusahaan Air Minum) -- disedot dari Kali Surabaya -- berbau amis dan kotor sekali. Selama sembilan bulan Miwon disegel. Mengurangi akibat pencemaran, Miwon berusaha mengubah air limbah itu menjadi pupuk organik cair bernama Orgami. Tapi tidak seluruh air limbah bisa diolah jadi pupuk --masih sekitar 25% sisanya yang harus dinetralisasi. PT Nabati Sarana, pabrik alkohol, di tepi jalan raya Cirebon-Tegal, juga belum membangun instalasi pemurnian. Air limbah pabrik, yang ditampung di kolam 3 ha, masih sering melimpah ke sawah penduduk. Sebagian air limbah yang mengalir lewat Sungai Cipaluh itu, sesudah melalui sawah dan tambak, ternyata menyebabkan produksi gabah anjlok hingga 50% dan menewaskan ikan. Kolam penampung air limbah itu pun sering menyebarkan bau busuk yang menyebabkan "dada kami terasa sesak dan perut mual," keluh Ambari, Mantri Pengairan Desa Astanajapura kepada Aris Amiris dari TEMPO. Di Medan, sampai hari ini PT Indra Deli belum juga pindah dari kampung Silalas, Kecamatan Medan Barat, sekalipun batas waktu pindah (Mei) sudah dilampaui. Perusahaan itu mengekspor kaki kodok dan udang sotong 400 ton sebulan. Air limbahnya menyebabkan kulit gatal dan bengkak, mencemari Sungai Deli. Pemda Sumatera Utara menganggap lokasi pabrik di lingkungan pemukiman penduduk tak sesuai lagi dengan pengembangan wilayah, dan memberi batas waktu pindah terakhir, Oktober depan. "Kali ini tak bisa ditawar lagi," ujar Drs. Abdul Hakim Nasution, Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah kepada Rianti Pram dari TEMPO. Nasib sial juga pernah menimpa PT Susama Indah, pabrik pembuat bahan pemanis. Air limbahnya dituduh mencemari persawahan penduduk desa Ngringo, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah, dekat lokasi pabrik. Sekalipun hasil pemeriksaan laboratorium negatif, air limbahnya tetap dianggap menyebabkan kematian padi di sawah 5,5 ha. Ganti rugi Rp 3,3 juta untuk penduduk sudah diberikan. Bahkan pabrik itu, demikian Kastoyo Ramelan dari TEMPO memperoleh keterangan, kini terpaksa membuat saluran sendiri (1,5 km) sampai Bengawan Solo. Hal serupa juga terpaksa dilakukan pabrik tekstil PT Thyfountex di Kecamatan Kartosuro, Kabupaten Sukohardjo, Jawa Tengah. Buat mencegah pencemaran, ia kini membangun instalasi pembersih air dan saluran pembuangan sendiri dengan biaya Rp 80 juta. Februari lalu, air limbah pabrik itu dituduh menyebabkan kematian batang padi di sawah 7,5 ha, menewaskan sejumlah ikan di kolam dan menimbulkan rasa gatal bila kena tubuh. Protes petani Desa Gumpang ternyata ditanggapi. PT Thyfountex, tulis wartawan TEMPO Putu Setia, kemudian memberi ganti rugi selayaknya. Bahkan bila Oktober nanti sawah masih tercemar air limbah, petani bisa mengajukan tuntutan. Drs. Suharto Hartoto, Camat Kartosuro, mengatakan ganti rugi itu memang wajar. Tapi Kodya Surakarta pernah mempersoalkan lokasi pabrik itu yang dianggap tak selaras dengan pengembangan wilayah. Sementara itu gara-gara bebek dan ikan milik penduduk tewas, PT Pupuk Kujang, Cikampek, pernah dituduh mencemari lingkungan. Air sawah setempat diteliti, ternyata mengandung endrin dan diazinon dalam konsentrasi tinggi. Kedua insektisida beracun itu jelas bukan berasal dari limbah pabrik tersebut. Sekalipun demikian, PT Pupuk Kujang berusaha mencegah pencemaran dengan membangun sejumlah instalasi pemurnian kembali berbagai bahan uuangan pabrik. Bahan sisa yang harus dibuang itu antara lain mengandung senyawaan Chromat, air asam/basa, air berminyak dan lumpur. Untuk melunakkan senyawaan beracun Chromat, misalnya, pabrik itu membangun instalasi pelunakan -- konon berharga US$ 1 juta. Melalui proses pelunakan itu, air yang masih mengandung Chromat dalam batas aman kemudian dibuang ke Sungai Cikaranggelam Bekerja sama dengan Lembaga Ekologi Universitas Pajajaran, PT Pupuk Kujang senantiasa memonitor kualitas air sungai Cikaranggelam. Sebab hampir seluruh limbah pabrik itu dibuang ke sungai itu. "Semuanya itu kami lakukan berdasarkan pengalaman bekerja di pabrik," kata Ir. Salmon Mustafa, Dir-Ut PT Pupuk Kujang kepada Hasan Syukur dari TEMPO. Karena tata guna tanah dan air tak dihiraukan, selain terancam limbah industri, kelestariannya juga terancam. Di Pulau Bintan, Riau, gara-ara hutan belukar (hutan sekunder) di hulu dibabat, input Sungai Pulai ke waduk Perusahaan Air Minum menyusut besar. Dari isi semula 5 juta m3, air di waduk itu kini diperkirakan tinggal 3,5 juta m3. Padahal PAM Tanjung Pinang menyedot air untuk diolah lagi justru dari waduk itu. Jika pembabatan hutan itu dibiarkan, dalam tempo 10-15 tahun mendatang "PAM hanya akan menyedot air lumpur," kata Ir Supadmo Harsono Benu, Kepala Dinas Kehutanan Kepulauan Riau kepada wartawan TEMPO Rida K Liamsi. Pembabatan hutan sekunder itu ternyata dilakukan PT Tirta Madu dalam usaha memperluas perkebunan karetnya menjadi 3.000 ha. Tanpa setahu Gubernur Riau ia justru mengubah hutan lindung itu menjadi perkebunan karet. Pemda Riau tentu gusar. Perusahaan itu kemudian diperintahkan mengosongkan kawasan perkebunan yang berada dalam kawasan hutan lindung, dan menggantikan tanaman karet dengan tanaman reboisasi. Tapi akibatnya masih tertinggal: kawasan hutan lindung itu jadi centang perenang dan botak-botak. Kasus pembabatan hutan lindung di hulu Sungai Pulai itu mengingatkan orang pada Ciburial Bogor, tempat sumber air minum Jakarta berasal. Di kaki bukit Ciburial itu, penggalian batu pernah berlangsung hebat. Akibatnya debit sejumlah mata airnya anjlok dari 500 liter ke 300 liter setiap detik. Untung penggalian lebih lanjut bisa dicegah. Masih banyak lagi kasus lingkungan. Kesadaran akan lingkungan tampaknya makin dituntut dalam menyambut 5 Juni kali ini. Sedikit contoh peristiwa di dtas itu saja tentu sudah memprihatinkan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus