PABRIK kimia PT Uci Jaya di Majalaya, Jawa Barat, pernah menjadi
penyebab kemarahan rakyat karena air buangannya mengandung
senyawaan beracun asam klorida. Ia mencemari sawah, empang dan
sumur penduduk sekitarnya. Februari 1980, ratusan rakyat
membakar pabrik pembuat kaustik soda itu setelah protes mereka
tak dihiraukan .
Sejumlah 39 penduduk desa Banjaran dan Rancaputat kemudian
dihukum antara tiga sampai delapan bulan penjara. Sedang PT Uci
Jaya, akibat pembakaran itu, rugi Rp 1 milyar. Kini di
sekeliling reruntuhan pabrik tersebut, padi dan tebu rakyat
tumbuh subur. Peristiwa itu -- suatu contoh pelajaran pahit --
mungkin sudah dilupakan pada Hari Lingkungan Hidup se-Dunia 5
Juni, tapi banyak kasus pencemaran semacam itu tetap belum
terselesaikan.
Pabrik kimia PT Semarang Diamond Chemical, misalnya, dianggap
masih mencemari Dukuh Tapak, Desa Tugurejo, Semarang, dengan
air limbah dan endapan padatnya. Sejak empat tahun lalu, pabrik
pembuat calcium citrate itu mengalirkan ampas organis buangan
pabrik -- berupa senyawaan amonium (NH4) dan asam belerang (H2S)
-- ke tambak bandeng (93 ha) dan sawah (45 ha) milik penduduk
lewat Kali Tapak. Tambak dan sawah tercemar karenanya. Sedang
penghasilan penduduk jadi berkurang.
Cokelat Kemerahan
Mencegah pencemarannya lebih meluas, manajemen PT SDC (Desember
1979) dengan biaya sekitar Rp 70 juta kemudian membangun
instalasi aerator. Melalui sejumlah bak, air limbah pabrik itu
dimurnikan kembali dengan menambah oksigen sambil mengurangi
keasaman air. Proses itu melewati tujuh tahapan dan berjalan
sebulan. Kendati sudah dianggap bebas dari unsur pencemar,
demikian pengamatan Hamid S. Darminto dari TEMPO, air buangan
pabrik itu masih berwarna cokelat kemerahan.
Dengan ampas padat buangannya, PT SDC pun masih dituduh
menyebabkan pendangkalan tambak. Tapi Soedardjo SH, Kepala
Bagian Umum dan Personalia PT SDC, membantahnya. Ampas padat 10
ton sehari dari pabrik setelah dilumatkan, - katanya, dibuang ke
daerah perkebunan -- antara lain ke Ngaliyan.
Ampas itu berasal dari pemrosesan ampas ketela, ampas tebu dan
bekatul yang bisa menghasilkan asam sitrat sebagai produk akhir.
Bekerja sama dengan Universitas Gajah Mada, PT SDC kini berusaha
menjadikan ampas itu semacam kompos dalam waktu singkat.
Di Surabaya, pabrik bumbu masak Miwon, demikian wartawan TEMPO
Dahlan Iskan, belum juga memasang perlengkapan pemurnian air
limbah. Semula Pemerintah Daerah Jawa Timur memberi batas waktu
pemasangan alat itu 23 Mei 1981. Tapi dengan alasan harga alat
itu belum terjangkau -- konon harganya ratusan juta rupiah
--Miwon minta waktu setahun lagi. Permintaannya dikabulkan.
Sementara ini air limbah pabriknya -- sekitar 80 ribu liter
sehari -- setelah dicampur kapur dalam sebuah kolam dibuang ke
sebuah sungai yang langsung mengalir ke laut.
Empat tahun silam, air limbah Miwon yang mengandung senyawaan
organik mencemari Kali Surabaya dengan hebat. Akibatnya air yang
dihasilkan PAM (Perusahaan Air Minum) -- disedot dari Kali
Surabaya -- berbau amis dan kotor sekali. Selama sembilan bulan
Miwon disegel. Mengurangi akibat pencemaran, Miwon berusaha
mengubah air limbah itu menjadi pupuk organik cair bernama
Orgami. Tapi tidak seluruh air limbah bisa diolah jadi pupuk
--masih sekitar 25% sisanya yang harus dinetralisasi.
PT Nabati Sarana, pabrik alkohol, di tepi jalan raya
Cirebon-Tegal, juga belum membangun instalasi pemurnian. Air
limbah pabrik, yang ditampung di kolam 3 ha, masih sering
melimpah ke sawah penduduk. Sebagian air limbah yang mengalir
lewat Sungai Cipaluh itu, sesudah melalui sawah dan tambak,
ternyata menyebabkan produksi gabah anjlok hingga 50% dan
menewaskan ikan. Kolam penampung air limbah itu pun sering
menyebarkan bau busuk yang menyebabkan "dada kami terasa sesak
dan perut mual," keluh Ambari, Mantri Pengairan Desa
Astanajapura kepada Aris Amiris dari TEMPO.
Di Medan, sampai hari ini PT Indra Deli belum juga pindah dari
kampung Silalas, Kecamatan Medan Barat, sekalipun batas waktu
pindah (Mei) sudah dilampaui. Perusahaan itu mengekspor kaki
kodok dan udang sotong 400 ton sebulan. Air limbahnya
menyebabkan kulit gatal dan bengkak, mencemari Sungai Deli.
Pemda Sumatera Utara menganggap lokasi pabrik di lingkungan
pemukiman penduduk tak sesuai lagi dengan pengembangan wilayah,
dan memberi batas waktu pindah terakhir, Oktober depan. "Kali
ini tak bisa ditawar lagi," ujar Drs. Abdul Hakim Nasution,
Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah kepada Rianti Pram
dari TEMPO.
Nasib sial juga pernah menimpa PT Susama Indah, pabrik pembuat
bahan pemanis. Air limbahnya dituduh mencemari persawahan
penduduk desa Ngringo, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah, dekat
lokasi pabrik. Sekalipun hasil pemeriksaan laboratorium negatif,
air limbahnya tetap dianggap menyebabkan kematian padi di sawah
5,5 ha. Ganti rugi Rp 3,3 juta untuk penduduk sudah diberikan.
Bahkan pabrik itu, demikian Kastoyo Ramelan dari TEMPO
memperoleh keterangan, kini terpaksa membuat saluran sendiri
(1,5 km) sampai Bengawan Solo.
Hal serupa juga terpaksa dilakukan pabrik tekstil PT Thyfountex
di Kecamatan Kartosuro, Kabupaten Sukohardjo, Jawa Tengah. Buat
mencegah pencemaran, ia kini membangun instalasi pembersih air
dan saluran pembuangan sendiri dengan biaya Rp 80 juta. Februari
lalu, air limbah pabrik itu dituduh menyebabkan kematian batang
padi di sawah 7,5 ha, menewaskan sejumlah ikan di kolam dan
menimbulkan rasa gatal bila kena tubuh.
Protes petani Desa Gumpang ternyata ditanggapi. PT Thyfountex,
tulis wartawan TEMPO Putu Setia, kemudian memberi ganti rugi
selayaknya. Bahkan bila Oktober nanti sawah masih tercemar air
limbah, petani bisa mengajukan tuntutan. Drs. Suharto Hartoto,
Camat Kartosuro, mengatakan ganti rugi itu memang wajar. Tapi
Kodya Surakarta pernah mempersoalkan lokasi pabrik itu yang
dianggap tak selaras dengan pengembangan wilayah.
Sementara itu gara-gara bebek dan ikan milik penduduk tewas, PT
Pupuk Kujang, Cikampek, pernah dituduh mencemari lingkungan. Air
sawah setempat diteliti, ternyata mengandung endrin dan diazinon
dalam konsentrasi tinggi. Kedua insektisida beracun itu jelas
bukan berasal dari limbah pabrik tersebut.
Sekalipun demikian, PT Pupuk Kujang berusaha mencegah pencemaran
dengan membangun sejumlah instalasi pemurnian kembali berbagai
bahan uuangan pabrik. Bahan sisa yang harus dibuang itu antara
lain mengandung senyawaan Chromat, air asam/basa, air berminyak
dan lumpur. Untuk melunakkan senyawaan beracun Chromat,
misalnya, pabrik itu membangun instalasi pelunakan -- konon
berharga US$ 1 juta. Melalui proses pelunakan itu, air yang
masih mengandung Chromat dalam batas aman kemudian dibuang ke
Sungai Cikaranggelam
Bekerja sama dengan Lembaga Ekologi Universitas Pajajaran, PT
Pupuk Kujang senantiasa memonitor kualitas air sungai
Cikaranggelam. Sebab hampir seluruh limbah pabrik itu dibuang ke
sungai itu. "Semuanya itu kami lakukan berdasarkan pengalaman
bekerja di pabrik," kata Ir. Salmon Mustafa, Dir-Ut PT Pupuk
Kujang kepada Hasan Syukur dari TEMPO.
Karena tata guna tanah dan air tak dihiraukan, selain terancam
limbah industri, kelestariannya juga terancam. Di Pulau Bintan,
Riau, gara-ara hutan belukar (hutan sekunder) di hulu dibabat,
input Sungai Pulai ke waduk Perusahaan Air Minum menyusut besar.
Dari isi semula 5 juta m3, air di waduk itu kini diperkirakan
tinggal 3,5 juta m3. Padahal PAM Tanjung Pinang menyedot air
untuk diolah lagi justru dari waduk itu. Jika pembabatan hutan
itu dibiarkan, dalam tempo 10-15 tahun mendatang "PAM hanya akan
menyedot air lumpur," kata Ir Supadmo Harsono Benu, Kepala Dinas
Kehutanan Kepulauan Riau kepada wartawan TEMPO Rida K Liamsi.
Pembabatan hutan sekunder itu ternyata dilakukan PT Tirta Madu
dalam usaha memperluas perkebunan karetnya menjadi 3.000 ha.
Tanpa setahu Gubernur Riau ia justru mengubah hutan lindung itu
menjadi perkebunan karet. Pemda Riau tentu gusar. Perusahaan itu
kemudian diperintahkan mengosongkan kawasan perkebunan yang
berada dalam kawasan hutan lindung, dan menggantikan tanaman
karet dengan tanaman reboisasi. Tapi akibatnya masih tertinggal:
kawasan hutan lindung itu jadi centang perenang dan botak-botak.
Kasus pembabatan hutan lindung di hulu Sungai Pulai itu
mengingatkan orang pada Ciburial Bogor, tempat sumber air minum
Jakarta berasal. Di kaki bukit Ciburial itu, penggalian batu
pernah berlangsung hebat. Akibatnya debit sejumlah mata airnya
anjlok dari 500 liter ke 300 liter setiap detik. Untung
penggalian lebih lanjut bisa dicegah.
Masih banyak lagi kasus lingkungan. Kesadaran akan lingkungan
tampaknya makin dituntut dalam menyambut 5 Juni kali ini.
Sedikit contoh peristiwa di dtas itu saja tentu sudah
memprihatinkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini