Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Harga suatu harmoni

Menteri perindustrian ar suhud mengingatkan, bahwa masyarakat menentukan tingkat pencegahan, pencemaran, tiada keseimbangan, keserasian tanpa suatu harga yang harus dipikul masyarakat.

6 Juni 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MEREKA yang secara sukarela pergi ke medan perang jangan mengeluh akan getirnya asap meriam." Itu suara hakim Musmanno di tahun 1935 yang membacakan putusan suatu pengadilan diatrik AS berkenaan gugatan penduduk untuk menutup pabrik semen yang mengganggu lingkungan setempat. Di Indonesia, 1981, seorang pengusaha industri belerang untuk pembersih air minum menanyakan kepada Menteri PPLH Emil Salim, apakah masih terjamin masa depan pabriknya. Sebab waktu ia membangun kilang tersebut lebih dari 10 tahun silam, daerah itu bagaikan tempat jin buang anak. Pemerintah lokal saat itu tentu saja memuji usaha pionir itu -- selain memajukan industri, juga mengembangkan wilayah kota. Kini penduduk telah banyak sekitar pabrik, dan mulai rewel dengan urusan lingkungan. Tentu saja persoalan yang diajukan sang industriawan tak dapat langsung dipecahkan secara tuntas di forum pertemuan ramahtamah itu. Tapi begitulah. Lingkungan hidup (LH) menjadi masalah dalam suatu kondisi penuh ramuan berkait seperti ini: ledakan penduduk, tataruang menjadi sempit, sumber daya terbatas, sementara proses pembangunan makin meriah dan teknologi makin berkembang. Tak ada yang salah. Hanya soalnya, "komoditi" LH sebagai suatu kebutuhan dalam beberapa aktivitas belum diperhitungkan secara tuntas -- dan agak sial karena ada kesan, masalah LH diterbangkan dari negeri maju juga. Padahal ini tidak betul. Manakala corong halo-halo dari masjid kampung seberang menyerukan para warga untuk berpatungan membersihkan lingkungan kediaman, orang serempak toh sadar bahwa sikap selama ini harus disempurnakan. Masalah LH membimbing manusia untuk menata aktivitas mereka sendiri, agar pencapaian maksud serasi dengan akibat yang ditinggalkan. Umumnya dikatakan bahwa dampak negatif dari pembangun haruslah dijauhi, setidak-tidaknya diperkecil, sehingga manusia yang utuh dapat tegak sejahtera. Prinsip ini dikandung hampir dalam semua legislasi LH di mana-mana. Di AS, ada beleid pemerintah federal, National Environmental Policy Act (NEPA), 1969. Di Jepang ada Basic Act for Environmental Control, 1967. Di Jerman ada UU LH Nasional, 1970. Indonesia belum memiliki suatu UU LH yang terpadu, yang mencerminkan suatu kebijaksanaan nasional. Namun sandaran untuk bergerak ke arah itu telah disodorkan oleh UUD 1945 pasal 33 (3) yang sering dibicarakan itu, yakni bahwa bumi dan kekayaan alamnya "dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat." Dalam cakrawala yang sesungguhnya, "kemakmuran" bukan hanya kesejahteraan dalam kaitan ekonomis, tapi juga ekologis. Kandungan pengertian yang luas ini dapat diteruskan pada pengertian "rakyat" sebagai penghuni bumi pertiwi, bukan saja pada masa sekarang, tapi juga generasi mendatang. Duduk pada sandaran di atas, GBHN 1978 berwanti-wanti lebih jauh tentang perlunya penjagaan keseimbangan antara pembangunan dan perlindungan LH. Namun tiada keseimbangan, keselarasan, keserasian atau harmoni tanpa suatu harga. Menteri Perindustrian A.R. Soehoed belum lama ini ada mengingatkan bahwa masyarakatlah yang menentukan tingkat pencegahan pencemaran -- karena ini berkaitan dengan kemampuan mereka untuk memikul biaya bagi tindakan tersebut. Atau dengan alternatif sampai ke tingkat mana orang banyak dapat menerima adanya pencemaran. Cepat atau lambat, masyarakat memang akan menghadapi situasi demikian. Secara individual, jika penduduk merasa tak pas lagi tinggal di sekitar pabrik yang mecemari, biaya harus dikeluarkan untuk pindah. Tapi kalau prinsip pencemar harus membayar, atau terkenal dengan polluter pays principle hendak diacukan, maka pabrik harus memasukkan biaya penanggulangan pencemaran yang umumnya mahal itu, sebagai komponen biaya produksi atau internalisasi biaya. Dan karena produsen tentu tak mau menciutkan laba, biaya inipun disalurkan kepada konsumen lewat kenaikan harga produksi. Sebagian pengamat menilai, apa boleh buat, keadaan semacam ini masih adil, karena hanya para pemakai barang itulah yang kena beban -- tidak lagi masyarakat yang tak ada kaitannya dengan produksi barang itu, dengan menanggungkan beban pencemaran ataupun pindah. Tapi konsumen tertentu pun akan berkata, kenapa mereka turut membayar biaya untuk LH yang jauh dari tempat tinggal mereka. Mengikuti hukum pasar, maka dalam hal demikian orang akan lari ke merk yang lain, atau ke barang lain. Hanya dalam hal barang tersebut amat diperlukan orang banyak substitusi tak seberapa problem akan timbul. Biasanya di sini pemerintah, sebagai pengelola LH, turun tangan mengulurkan bantuan, mungkin berupa bantuan pengadaan alat pencegahan pencemaran atau keringanan pajak dan sebagainya. Ini penjabaran sederhana. Sebab masih bisa dipertanyakan, apakah dengan adanya internalisasi biaya itu, produsen tidak terlebih dahulu terpanggil untuk meninjau kembali proses usaha industrinya, termasuk teknologi yang dipakai, sehingga dengan berbagai modifikasi, pencemaran dapat diperkecil sampai ke tingkat yang masih bisa ditenggang. Hanya produsen yang tahu tentang hal itu. Di sini lagi rol pemerintah, yang dapat menciptakan suatu suasana misalnya dengan memberikan perangsang bagi pengusaha yang dalam proses produksinya dapat mengurangi polusi dengan biaya yang rendah. Trio masyarakat, produsen dan pemerintah dominan dalam mengatasi harga pencapaian harmoni antara pembangunan dan pengurangan dampak negatifnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus