KEMARAU kembali mencekam Ibukota. Termometer hampir tiap hari
bertengger di sekitar 30ø C. Pada saat-saat begini para penduduk
Ibukota kembali merindukan pepohonan rindang.
Memenuhi hajat penduduk Jakarta itu, Dinas Pertamanan DKI yang
dibentuk 7 tahun lalu memang tak sedikit kerjanya. Sudah 30 ribu
batang pohon berbagai jenis dibagikan pada penduduk yang
berminat secara gratis. Sedang DKI sendiri, dalam Pelita yang
lalu telah menghijaukan 731 Ha taman. Maka H.A. Djaelani, Kepala
Dinas Pertamanan DKI 1« tahun yang lalu berbangga: "Jakarta 4ø C
lebih dingin dan Surabaya".
Kalau dilihat dari target Dinas Pertamanan DKI, gerakan
penghijauan ini sebenarnya masih jauh dari sasaran. Menurut
taksiran lembaga itu, kawasan hutan DKI kini tinggal 2% saja
dari seluruh luas wilayah Ibukota. Padahal untuk metropolitan
seluas hampir 60 ribu Ha itu (belum termasuk perluasan
Jabotabek), akan sehat sekali bila hutan dan taman
sekurang-kurangnya seluas 24 ribu Ha, atau 213 dari seluruh luas
daerah khusus Ibukota.
Angsana
Kampanye penghnijauan Dinas Pertamanan DKI sendiri hanya
menganjurkan penanaman pohon peneduh yang tahan sampai 40 tahun,
lekas besar dan rindang daunnya. Angsana, akasia, flamboyan dan
mahoni misalnya, memenuhi satu atau lebih dari persyaratan itu.
Jenis itulah yang ditanarn oleh DKI sendiri di tempat-tempat
umum. Juga dibagi-bagikan bibitnya dengan gratis pada penduduk
yang berminat. Penanaman pohon buah atau belukar yang bisa
menghasilkan uang, seperti cengkeh misalnya, dianjurkan untuk
diusahakan oleh penduduk sendiri.
Namun tentunya memperbanyak pohon peneduh semata-mata tidak akan
banyak menurunkan suhu udara di kota yang padat manusia, mobil,
motor dan pabrik ini. Sebab dalam kaitan lingkungan yang
harmonis dan sedap untuk dihuni, semua jenis tanaman berdaun
atau berbutir-hijau-daun (chlorophyll) adalah "tanaman peneduh".
Populasi tanaman hijau yang seimbang dengan populasi manusia +
pabrik + kendaraan bermotor di kota-kota besar akan memungkinkan
penyaringan oksida-oksida arang (CO dan CO2) yang keluar dari
paru-paru manusia + knalpot + cerobong pabrik menjadi zat asam
(02) kembali.
Sebaliknya, tanpa populasi yang seimbang, tanamanpun bisa
tercekik karena terlalu banyak asam arang. Sedang akumulasi
gas-gas pencemar itu di atmosfir kota akan berfungsi sebagai
filter sinar matahari yang satu arah. Artinya, sinar matahari
pembawa panas itu bisa lolos ke muka bumi, tapi tidak bisa
dipantulkan kembali ke alam bebas. Gejala ini, yang dikenal
sebagai "efek rumah kaca" (greenhouse effect) membuat udara
kota-kota metropolitan -- juga di negeri-negeri Barat yang
dingin -- lebih panas dari pada temperatur rata-rata.
Tapi sementara itu ada manfaat lain dari tanaman selain
'peneduh'. Misalnya sebagai sumber protein nabati, seperti pohon
saga yang dapat ditanam di pekarangan rumah. Atau sebagai sumber
obat-obatan rakyat, dalam rangka swadaya kesehatan rakyat yang
mustahil dapat dibebankan pada pabrik-pabrik obat modern beserta
balatentara dokter dan susternya.
Pohon pisang misalnya, menurut majalah pertanian Trubus, Januari
1976, adalah tanaman rakyat yang serba bermanfaat. Karena daya
serap air melalui akar dan daya simpan air dalam seluruh tubuh
dan pelepah daunnya begitu tinggl, tanaman ini baik ditanam
dekat comberan. Sekaligus mengurangi genangan air kotor yang
mengundang bersarangnya bibit-bibit nyamuk malaria dan demam
berdarah. Terutama jenis pisang ambon (Musa paridisiaca
normalis) yang panjang akarnya bisa mencapai 5 meter, buahnya
pun sangat rimbun dan lezat.
Selain untuk sumber vitamin A dan karbo-hidrat, pisang juga
merupakan tanaman obat. Air daun pisang muda bisa dijadikan obat
mata. Daun mudanya sendiri dapat mengempeskan bisul. Sedang
getah bonggol pisang dapat dijadikan obat disentri, ambeien dan
penghenti pendarahan waktu bersalin. Getah daun maupun
batangnya dapat dijadikan pengganti mercurochroom (obat merah),
sedang abunya dapat dijadikan shampoo bagi wanita dan pemuda
gondrong.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini