Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Selamat Jalan, Mak Comblang

Prancis mengadakan pameran hasil teknologinya di jakarta. Konsumen yang diharapkan dari Indonesia jelas di sektor pemerintah. Bag. Humas rajin membawa pejabat kita ke-stand-2, terutama stand industri berat.

9 April 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AU revoir", demikian terdengar halus melalui sistem suara di seluruh ruang pameran teknik Perancis. Sampai berjumpa lagi? Sesudah menyelenggarakan pameran sepekan yang berakhir minggu lalu dengan biaya $ 12 juta, tentu saja, mereka ingin terus berhubungan. Tidak disangsikan lagi pameran ini adalah terbesar yang pernah diadakan di Jakarta. Di luar lingkungan Monumen Nasional (Monas), tempat pameran itu diadakan, berlangsung pula aneka-ragam kegiatan pnmosi Perancis secara berbarengan, termasuk pemberian tanda jasa. Di layar TVRI, misalnya, tampak dubes Rene Servoise menyampaikan Grand Croix de l'Ordre du Merite pada bekas dubes RI di Paris, A. Tahir, kini sekjen Dep. Perhubungan. A la Perancis, Servoise mencium kedua belah pipi Tahir. Pemberian tanda jasa ini, karena pilihan waktunya yang tepat, membantu mengingatkan publik di sini pada Perancis. Kebetulan Dep. Perhubungan mempunyai banyak proyek yang, siapa tahu, memerlukan jasa dan hasil industri Perancis. Stand Sofrecom (telekomunikasi) di pameran kebetulan mengasyikkan pula. Konsumen terbesar di negeri ini adalah sektor pemerintah. Para penyelenggara pameran jelas tidak melengahkan hal ini. Ketika Presiden Soeharto berkunjung misalnya berbagai alat besar yang biasanya statis, mendadak bergerak mendemonstrasikan kebolehannya. Kebutuhan pemerintah akan alat-besar di lapangan, besar sekali dalam zaman pembangunan ini. Mirage Kegiatan humas mereka giat sekali membawa perhatian para pejabat kita ke stand Aero Spatiale, yang menunjukkan keunggulan Perancis di bidang penerbangan dan persenjataan udara. Garuda mungkin tidak tertarik pada Concorde, tapi Mirage cukup menggiurkan. Di bagian industri berat, menonjol pula penampilan Empain Schneider serta kelompok perusahaan Creusot Loire. Raksasa ini yang beromzet lebih $ 6 milyar setahun juga bertujuan mencapai konsumen sektor pemerintah. Mereka menawarkan berbagai macam kapal alat pembangkit tenaga listrik dan nuklir alat industri termasuk tanur, macam-macam kerja kontraktor. Pokoknya, semua yang selama ini datang dari Jepang, Jerman dan Amerika akan mereka tandingi. Dari kelompok itu, ada Citra yang sudah dikenal di sini sejak 1950-an membangun pelabuhan di Tg. Priok, Semarang, Balikpapan, Banjarmasin dan Belawan. Citra ini sudah dilebur ke dalam Spie-Batignolles S.A. yang belakangan ini ikut dalam pembangunan di Arun (Aceh), Handil (Kaltim) dan pulau Batam. Walaupun nama induknya berubah, perwakilannya di sini tetap sebagai Citra, yang mau mengimbangi kontraktor Bechtel dari Amerika. "Bukanlah harga bersaing merupakan satu-satunya syarat keberhasilan kami", kata Jean Forgeot, seorang tokoh utama dari Empain Schneider dan Creusot Loire. "Kami juga menyediakan fasilitas pembayaran (kredit), kerjasama dengan bakat setempat, hormat pada peraturan dan adat Indonesia". Bila orang seperti Jean Forgeot ini berkata au revoir, ia akan kembali ke sini menjumpai kita. Ini berarti, jika kita terus melayaninya, impor Indonesia dari Perancis akan makin besar. Tahun 1976 impor Indonesia mencapai $ 240 juta, menurut data Perancis. Sebaliknya impor Perancis cuma $ 32,2 juta, menurut catatan Biro Pusat Statistik. Mak Comblang Perdagangan bilateral yang ter!alu timpang ini telah dibicarakan dengan Menteri Perdagangan Perancis Andre Rossi yang datang ke sini membuka pameran negerinya. Dia bersedia membantu Indonesia dalam hal ini. Bagaimana? "Dengan menyediakan fasilitas yang memudahkan Indonesia", kata Rossi dalam jumpa-pers. "Akan ada satu badan yang akan mencarikan pasaran (untuk barang Indonesia)". Dia tidak berbicara spesifik. Sementara itu, ucapan au revoir akan diterapkan Badan Pengembangan Ekspor Nasional segera. BPEN dalam medio April ini akan mengirim Zainul Yasni meini akan mengirim Zainul Yasni memimpin delegasi ke Perancis dan negara anggota MEE lainnya. Tidak akan mengimbangi promosi Perancis dengan berpameran pula di Paris, tentu saja. Delegasi BPEN ini sekedar mau menjajagi pemasaran hasil kerajinan tangan dan bunga anggrek, di samping karet, timah, kayu, dan kopi. Indonesia selauna ini kalah bersaing di Perancis, kata Yasni pada TEMPO, terutama karena ongkos angkut barang dari Indonesia dua kali lipat, dibanding dari Singapura ke Eropa. Sesudah itu, katanya lagi, pekerjaan kerajinan Indonesia memerlukan bantuan teknik. Usaha-patungan dengan Perancis akan ditawarkannya guna mempertinggi mutu barang Indonesia. Ini adalah yang kedua kali sesudah 1976, BPEN mengirim delegasipromosi ke Eropa. Sejak delegasi pertama, belum banyak kemajuan. Namun soal ongkosangkut dan mutu bukanlah jangkauan BPEN melulu. "Kami sekedar sebagai mak Comblang - mempertemukan importir di luar negeri dengan eksportir kita", kata Yasni. Selamat jalan, mak!

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus