AU revoir", demikian terdengar halus melalui sistem suara di
seluruh ruang pameran teknik Perancis. Sampai berjumpa lagi?
Sesudah menyelenggarakan pameran sepekan yang berakhir minggu
lalu dengan biaya $ 12 juta, tentu saja, mereka ingin terus
berhubungan.
Tidak disangsikan lagi pameran ini adalah terbesar yang pernah
diadakan di Jakarta. Di luar lingkungan Monumen Nasional
(Monas), tempat pameran itu diadakan, berlangsung pula
aneka-ragam kegiatan pnmosi Perancis secara berbarengan,
termasuk pemberian tanda jasa. Di layar TVRI, misalnya, tampak
dubes Rene Servoise menyampaikan Grand Croix de l'Ordre du
Merite pada bekas dubes RI di Paris, A. Tahir, kini sekjen Dep.
Perhubungan. A la Perancis, Servoise mencium kedua belah pipi
Tahir.
Pemberian tanda jasa ini, karena pilihan waktunya yang tepat,
membantu mengingatkan publik di sini pada Perancis. Kebetulan
Dep. Perhubungan mempunyai banyak proyek yang, siapa tahu,
memerlukan jasa dan hasil industri Perancis. Stand Sofrecom
(telekomunikasi) di pameran kebetulan mengasyikkan pula.
Konsumen terbesar di negeri ini adalah sektor pemerintah. Para
penyelenggara pameran jelas tidak melengahkan hal ini. Ketika
Presiden Soeharto berkunjung misalnya berbagai alat besar yang
biasanya statis, mendadak bergerak mendemonstrasikan
kebolehannya. Kebutuhan pemerintah akan alat-besar di lapangan,
besar sekali dalam zaman pembangunan ini.
Mirage
Kegiatan humas mereka giat sekali membawa perhatian para pejabat
kita ke stand Aero Spatiale, yang menunjukkan keunggulan
Perancis di bidang penerbangan dan persenjataan udara. Garuda
mungkin tidak tertarik pada Concorde, tapi Mirage cukup
menggiurkan.
Di bagian industri berat, menonjol pula penampilan Empain
Schneider serta kelompok perusahaan Creusot Loire. Raksasa ini
yang beromzet lebih $ 6 milyar setahun juga bertujuan mencapai
konsumen sektor pemerintah. Mereka menawarkan berbagai macam
kapal alat pembangkit tenaga listrik dan nuklir alat industri
termasuk tanur, macam-macam kerja kontraktor. Pokoknya, semua
yang selama ini datang dari Jepang, Jerman dan Amerika akan
mereka tandingi.
Dari kelompok itu, ada Citra yang sudah dikenal di sini sejak
1950-an membangun pelabuhan di Tg. Priok, Semarang, Balikpapan,
Banjarmasin dan Belawan. Citra ini sudah dilebur ke dalam
Spie-Batignolles S.A. yang belakangan ini ikut dalam
pembangunan di Arun (Aceh), Handil (Kaltim) dan pulau Batam.
Walaupun nama induknya berubah, perwakilannya di sini tetap
sebagai Citra, yang mau mengimbangi kontraktor Bechtel dari
Amerika.
"Bukanlah harga bersaing merupakan satu-satunya syarat
keberhasilan kami", kata Jean Forgeot, seorang tokoh utama dari
Empain Schneider dan Creusot Loire. "Kami juga menyediakan
fasilitas pembayaran (kredit), kerjasama dengan bakat setempat,
hormat pada peraturan dan adat Indonesia".
Bila orang seperti Jean Forgeot ini berkata au revoir, ia akan
kembali ke sini menjumpai kita. Ini berarti, jika kita terus
melayaninya, impor Indonesia dari Perancis akan makin besar.
Tahun 1976 impor Indonesia mencapai $ 240 juta, menurut data
Perancis. Sebaliknya impor Perancis cuma $ 32,2 juta, menurut
catatan Biro Pusat Statistik.
Mak Comblang
Perdagangan bilateral yang ter!alu timpang ini telah dibicarakan
dengan Menteri Perdagangan Perancis Andre Rossi yang datang ke
sini membuka pameran negerinya. Dia bersedia membantu Indonesia
dalam hal ini. Bagaimana? "Dengan menyediakan fasilitas yang
memudahkan Indonesia", kata Rossi dalam jumpa-pers. "Akan ada
satu badan yang akan mencarikan pasaran (untuk barang
Indonesia)". Dia tidak berbicara spesifik.
Sementara itu, ucapan au revoir akan diterapkan Badan
Pengembangan Ekspor Nasional segera. BPEN dalam medio April ini
akan mengirim Zainul Yasni meini akan mengirim Zainul Yasni
memimpin delegasi ke Perancis dan negara anggota MEE lainnya.
Tidak akan mengimbangi promosi Perancis dengan berpameran pula
di Paris, tentu saja. Delegasi BPEN ini sekedar mau menjajagi
pemasaran hasil kerajinan tangan dan bunga anggrek, di samping
karet, timah, kayu, dan kopi.
Indonesia selauna ini kalah bersaing di Perancis, kata Yasni
pada TEMPO, terutama karena ongkos angkut barang dari Indonesia
dua kali lipat, dibanding dari Singapura ke Eropa. Sesudah itu,
katanya lagi, pekerjaan kerajinan Indonesia memerlukan bantuan
teknik. Usaha-patungan dengan Perancis akan ditawarkannya guna
mempertinggi mutu barang Indonesia.
Ini adalah yang kedua kali sesudah 1976, BPEN mengirim
delegasipromosi ke Eropa. Sejak delegasi pertama, belum banyak
kemajuan. Namun soal ongkosangkut dan mutu bukanlah jangkauan
BPEN melulu. "Kami sekedar sebagai mak Comblang - mempertemukan
importir di luar negeri dengan eksportir kita", kata Yasni.
Selamat jalan, mak!
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini