Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Gestur Natural ala Toshiki Okada

Art Summit mengundang sutradara asal Jepang yang memelopori gerakan teater hiper-realisme untuk sebuah lokakarya di Bandung.

21 November 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SATU per satu peserta workshop pemeranan di Bale Handap Selasar Sunaryo Art Space, Bandung, Senin pekan lalu, disuruh menceritakan rumah masing-masing. "Setelah pagar, di halaman ada pohon mangga sangat tua," kata Ria Paper Moon, penggerak teater boneka di Yogyakarta.

Toshiki Okada, 43 tahun, sutradara kelahiran Yokohama, Jepang, memperhatikan saksama gerak-gerak yang muncul. Menurut dia, semakin seorang aktor memiliki image yang detail tentang rumah, dengan sendirinya akan muncul gerak-gerak yang tak direncanakan tapi wajar. "Gerak natural yang tak dibuat-buat," ujarnya.

Bersama kelompok teaternya, Chelfitsch, di Jepang, Okada dikenal sebagai sutradara garda depan dari gelombang gerakan teater hiper-realisme. Ia disebut-sebut wakil dari "lost generation" 1990-an, generasi anak muda Jepang yang bimbang akibat krisis ekonomi. Pada 2005, karya Okada, Five Days in March, memenangi penghargaan prestisius Kishida Kunio Drama Award. Karya ini berkisah tentang sepasang kekasih yang menginap lima hari di sebuah motel di Shibuya, sementara di luar terjadi protes besar-besaran mahasiswa menentang pengiriman tentara Jepang ke Irak.

Di Jepang agaknya gaya realisme belum selesai. Banyak praktisi teater berusaha menggali dan mencari kemungkinan-kemungkinan baru dari realisme. Para pengamat teater sepakat gerakan meredefinisikan realisme dimulai dari munculnya genre quiet theater, yang dipelopori sutradara Hirata Oriza pada 1980-an. Oriza menolak segala bentuk cara berakting gaya realisme Barat, yang menurut dia kerap berlebihan dan hiperaktif.

Oriza menjauhi segala bentuk realisme yang menonjolkan akting dengan ekspresi dramatik. Para pemainnya di pentas berbicara seperti orang biasa sehari-hari, dengan vokal normal, dengan gerak-gerak kecil. Sampai-sampai seperti orang yang tidak berakting. Kalau kita sempat menonton pertunjukannya, Tokyo Notes, yang dipentaskan di Japan Foundation Jakarta pada 2006, kita melihat cara berakting para pemainnya seperti orang yang secara kebetulan bertemu di sebuah tempat lalu saling bercakap tanpa intonasi dan artikulasi berlebihan.

Gaya berakting quiet theater memberi jalan bagi munculnya gerakan hiper-realisme di Jepang. Di Bandung itu, Toshiki Okada menjelaskan teori hiper-realismenya, yaitu tentang hubungan image (gambar yang ada dalam benak)-speech (kata-kata)-movement (gerakan). Menurut dia, tak ada kaitan langsung antara kata-kata dan gerakan. "Gerakan muncul dari image, bukan kata-kata. Sering kita menampilkan gestur lebih dulu, baru kemudian kata-kata." Ia yakin bila image kita kaya saat berbicara akan sering muncul gerak lebih dulu daripada kata-kata. "Gerak itu bisa menyampaikan informasi yang belum sempat disampaikan kata-kata."

Karena itu, menurut Okada, penonton sebenarnya saat menyaksikan teater adalah menonton image yang ada dalam benak aktornya. Konsep itu, kata dia, didapatnya dari pengamatannya terhadap gerak tubuh orang biasa dalam keseharian (daily life). "Dalam teater saya maka tidak ada suatu gerakan yang mencari-cari atau dibuat-buat." Pengamat teater dari Bandung, Semi Ikra Negara, melihat apa yang diajarkan Toshiki Okada seperti terlihat mudah, tapi sebetulnya susah. "Teater ini sangat minimalis tapi kaya imajinasi," ucapnya.

Dengan gaya hiper-realismenya itu, Okada kini menggarap naskah bertema kecelakaan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Fukushima. Menurut dia, teaternya tak bertujuan menyembuhkan trauma para korban, tapi ingin mengungkap hal-hal tersembunyi dari kebocoran PLTN. Dan itu hendak disampaikannya bukan dengan cara provokatif. "Metode akting yang berasal dari gerakan orang biasa ini sangat dibutuhkan." Mungkin benar pendapat Desi Susianti dari Teater Satu d Lampung ini. Apalagi realisme dalam jagat drama kita hampir-hampir berjalan di tempat tanpa diskusi .Sementara itu, di Jepang, realisme adalah sesuatu yang baik tema maupun metode aktingnya terus-menerus dicari dan dikembangkan.

Seno Joko Suyono, Anwar Siswadi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus