Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pergelaran seni tradisi Panggung Maestro III menghadirkan para maestro dari Jambi dan Kalimantan Selatan.
Para seniman umumnya berusia 70-80 tahun, menampilkan karya tradisi yang mereka pelajari sejak kecil.
Menggali tradisi lama yang nyaris punah dengan penampilan para maestro.
BERBALUT kostum hijau dipadukan dengan kain merah, kepalanya berhias mahkota dan sunting. Dari kepalanya pula pernak-pernik hiasan menjuntai di bagian telinga. Ia berjalan masuk perlahan mendekati gamelan. Tubuh rentanya agak bungkuk karena usia. Namun itu tak menyurutkan semangatnya untuk bergerak. Menari dengan gemulai, dengan iringan gamelan dari samping panggung, Siti Rahela, 81 tahun, bergerak dengan anggun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dia berdiri dengan kedua tangannya yang memegang selendang, menari, lalu sedikit menekukkan lutut, agak memiringkan badan memutar perlahan, dan bergerak mulus duduk bersila. Penonton bertepuk tangan riuh ketika ia memutar badan perlahan hingga bersila sambil menari beberapa saat untuk kembali berdiri. Keseimbangan penari sepuh ini masih bagus dalam bergerak memutar dan kemudian duduk bersila. Ketika hendak berdiri, ia bangkit perlahan dan agak memiringkan badan sambil mengayun selendangnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saat belajar menari di usia 10 tahun, Siti awalnya kesulitan memainkan beberapa gerak tari Kelik Lang. Akhirnya Siti belajar kepada sang nenek yang juga murid langsung pencipta tari Kelik Lang, Tuan Putri Rano Pinang Masak. Tekad dan semangatnya menguasai tarian yang berkisah tentang seekor elang yang menyelamatkan seorang anak ini disambut kegembiraan ibu Siti. Siti Rahela yang datang jauh-jauh dari Pulau Temiang, Tebo, Jambi, ini masih terampil menunjukkan gerakan tarian Kelik Lang kendati sudah sepuh. Usianya tak menghalanginya menampilkan yang terbaik.
Sabtu sore, 9 Maret 2024, Siti Rahela tampil bersama para maestro lain dalam perhelatan Panggung Maestro III yang berlangsung pada 8-9 Maret 2024 di Teater Wahyu Sihombing, Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Pemrakarsanya adalah Yayasan Bali Purnati serta Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Sebelum Siti tampil, beberapa maestro lain dari Jambi juga unjuk kebolehan. Usia mereka 70-80 tahun. Tapi mereka dengan penuh semangat menampilkan tari-tarian dan seni lisan. Di antaranya Ayu Manit yang menampilkan tari Kain Kromong. Ayu Manit adalah generasi ketiga yang menguasai tarian ini. Gerakan tariannya lemah gemulai. Ia mengikuti iringan gamelan sambil duduk di kursi roda dengan gerakan dua tangannya dan ditemani dua penari yang juga penerusnya.
Generasi pertamanya adalah Satisah, yang konon adalah makhluk dari alam lain yang ditangkap dan tak bisa kembali ke alamnya karena terjebak di dunia manusia. Sehari-hari Satisah hanya menenun dan menari dengan kainnya. Ia dianggap sebagai leluhur masyarakat Mandiangin, Sarolangun, Jambi. Tari ini diajarkan turun-temurun hingga Ayu Manit. Dari kisah yang terjadi pada 1800-an itu, masyarakat Mandiangin memperkenalkan tari Kromong. Kromong berasal dari nama sebuah alat musik yang disinyalir sudah ada 200 tahun lalu, berupa kelintang berbahan perunggu dari Thailand. Di Thailand, alat ini dinamai khong wong lek. Hal ini menjelaskan adanya hubungan antara Kesultanan Jambi dan Kerajaan Siam pada masa lampau.
Mariam (duduk) menampilkan tradisi lisan Bejolo dalam pergelaran Panggung Maestro 2024 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 8 Maret 2024. Tempo/Febri Angga Palguna
Sementara itu, Said Zen Al Jufri, 70 tahun, dari Pelayangan, Seberang, Kota Jambi, menarikan Dana Syarah. Ia mempelajari tarian dari Timur Tengah yang berkembang di kawasan Seberang. Di kawasan ini percampuran budaya Islam, India, dan Jambi berkembang. Ia menari bersama beberapa pemuda dengan cukup lincah.
Ino Isah atau Siti Aisyah, seniman tari Betauh, datang dari Desa Tiga Alur, Kecamatan Pangkalan Jambu, Kabupaten Merangin, Jambi. Ia menari sambil duduk di bangku. Kakinya tak lagi sanggup menahan tubuhnya. Namun gerakan tangannya masih mampu mengimbangi empat penari muda lain yang menampilkan tari Betauh. Tari ini ditampilkan muda-mudi yang mencari pasangan saat pergelaran upacara-upacara adat, panen padi, dan sebagainya. Muda-mudi dibatasi jaraknya saat menari, biasanya dengan tali. Pemuda akan melempar sesuatu, seperti kain yang ditampilkan pada malam itu. Jika si pemudi berkenan, ia akan mengambil kain itu.
Maestro lain yang tampil adalah Mariam, yang akrab dipanggil Nek Mariam. Berasal dari Sungai Penuh, ia merupakan maestro sastra lisan Tale Nuei. Mariam juga maestro Bejolo yang terdaftar dalam warisan tak benda skala nasional yang diakui Kementerian Pendidikan pada 2021. Ia berupaya mewariskan kemampuannya kepada anak dan cucunya agar tradisi ini tetap lestari. Sebuah video tentang bagaimana ia dan keturunannya menyampaikan senandung Jolo diputar. Ia hanya tampil sebentar, kemudian senandung Jolo dilanjutkan sang cucu hingga selesai.
Senandung Jolo merupakan sebuah nyanyian yang liriknya diambil dari pantun dan syair yang dibawakan sesuai dengan isi hati pelantunnya. Jolo dulu sering dinyanyikan di huma, pematang sawah, atau perkebunan karet. Saat para petani tengah menyadap karet, menebar benih padi, dan menjaring ikan di Sungai Batanghari, sambil mengayuh sampan, mereka mendendangkan Jolo untuk mengisi hari.
Bukan hanya Mariam yang unjuk suara dengan senandung Jolo. Ada pula maestro lain dari Jambi, Zainal, 70 tahun, seorang pedendang Nyanyi Panjang. Sementara Tale Nuei berisi cerita kehidupan masyarakat Jambi, khususnya di Kabupaten Kerinci, Nyanyi Panjang merupakan sastra lisan bercorak naratif (cerita yang dimainkan dengan cara dinyanyikan atau dilagukan). Durasinya bisa semalaman.
Budaya Nusantara tak jauh dari urusan berdendang dan berpantun. Dari Kalimantan Selatan, Guru Amat, 79 tahun, bersama dua pria setengah baya beraksi menampilkan tarian Ladon. Guru Amat sempat terjatuh saat berpentas, lalu dibantu untuk bangun oleh beberapa seniman dan kru. Dengan jempolnya ia memberi kode bahwa ia baik-baik saja dan kembali meneruskan pertunjukannya, menari sambil menyanyi bersahutan dengan pantun.
Yang juga menarik dari pementasan sore itu adalah tampilnya dalang Zandri, 62 tahun, dari Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan. Ia membawakan wayang topeng cerita atau tari topeng dengan empat tokoh atau karakter yang berasal dari pakem Ramayana dan Mahabharata. Sore itu ia tampil dengan topeng Semar. Ada juga yang memainkan tokoh Lembusura yang berwujud manusia berkepala banteng dan dua tokoh lain. Dalang Zandri dengan kemampuan otodidaktiknya sudah membuat 400 karakter topeng. Para pemainnya menari diiringi irama gamelan Selendro Banjar. Nadanya dinamis, ceritanya memakai bahasa Banjar bercampur Sanskerta beraksen lokal. Tari ini biasanya dipertunjukkan saat acara penyambutan tamu atau hajatan serta acara penyembuhan.
Dalang Zandri, 62 tahun berperan sebagai Semar dalam wayang topeng cerita dalam pergelaran Panggung Maestro 2024, di TIM, Jakarta, 8 Maret 2024. Tempo/Febri Angga Palguna
“Saat ini kami lebih sering tampil di hajatan-hajatan, orang sedang kawinan,” ucap dalang Zandri.
Selain wayang topeng, ditampilkan wayang kulit Banjar oleh dalang Dimansyah. Diiringi juga dengan musik gamelan, dalang Dimansyah memainkan wayang kulitnya diawali dengan gunungan kecil layaknya wayang kulit di Jawa. Sayangnya, gunungan itu tak terlalu terlihat detail ukirannya. Di balik layar yang tak begitu besar, ia memperagakan adegan pertarungan dua tokohnya.
Karakter wayang purwa ini telah mengalami akulturasi dengan budaya Banjar. Wayang ini adalah salah satu jejak yang tersisa dari persebaran seni Jawa yang dibawa oleh Pangeran Suryanata, putra mahkota Kerajaan Majapahit. Ia adalah putra Raja Hayam Wuruk yang menikahi Puteri Junjung Buih dari Kerajaan Negara Dipa pada abad ke-14.
Mukhlis Maman, ahli budaya Banjar, menjelaskan, wayang kulitnya menggunakan pakem Mahabharata atau carang. Masih ada sedikit bahasa Sanskerta yang dipakai di sela-sela adegan. Menurut Mukhlis, wayang kulit Banjar dipelajari secara turun-temurun dan masih bernuansa tradisional. Pengukuhan dalang juga harus digelar acara ritual. “Belajarnya ya ngaji duduk di samping dalang. Ia ikut dalang ke mana pun, termasuk soal bahasa, lakon, dan ceritanya,” tuturnya.
Adapun wayang topeng, ia menjelaskan, berawal dari topeng Panji. Topeng dan tari topengnya masih ada, tapi maestronya sudah meninggal. “Tariannya masih ada, tapi wayang dengan ceritanya sudah punah,” katanya. Kemudian muncullah wayang topeng yang dipentaskan dalang Zandri. “Pakemnya dari Mahabharata-Ramayana, ada kreativitas baru di topengnya, menutup semua kepala,” ujarnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Unjuk Tradisi Maestro Jambi dan Kalimantan"