SAMPAI pekan lalu Nyonya Nurmaina, 53 tahun, dan tiga orang
tetangganya, belum berani tidur di rumah mereka yang berdinding
papan beratap rumbia di pinggiran Desa Firdaus. "Kalau hari
mulai gelap kami mengungsi," kata janda beranak delapan itu .
Kukayaan berupa pakaian dan perabotan ala kadarnya turut ia
ungsikan ke rumah famili.
Aksi kawanan perampok di rumah Zainuddin Batubara, Abdullah
Kumari dan Abdulrahman (bukan nama sebenarnya), 21 Desember
lalu, telah membuat kecut hati penduduk desa di Kecamatan Sungai
Rampah, Deli Serdang, Sumatera Utara itu. Apalagi karena kawanan
rampok terdiri dari 10 orang bersenjata clurit dan pisau panjang
itu mengancam akan beraksi lagi. Pokoknya "selama beras mahal,
kami akan merampok," kata kawanan penjahat.
Ternyata mereka tak hanya merampok. Dua anak gadis Abdulrahman
turut digagahi bergantian. Salah seorang korban, yang dalam
ketakutan setengah mati mencoba mengingatkan bahwa perbuatan itu
dikutuk Tuhan, malahan dipelototi. "Tak ada Tuhan sama kami!"
bentak seorang perampok.
Rupanya Tuhan memang tak bersama perampok. Buktinya kawanan
rampok di Kampung Parungareuy-Karihkil. Parung, Bogor, enak saja
membabat dengan golok dan menembak Affandi, tuan rumah, dan
Minan bin Entong, sopir keluarga itu. Warman, 13 tahun, yang
secara tak sengaja memergoki penjahat yang melarikan diri
dengan dua sepeda motor curian, sambil membawa 20 gram emas,
arloji dan uang Rp 20 ribu, tanpa ampun dihajar peluru. Ketiga
korban meninggal pada dini hari 28 Desember lalu.
Perampokan nampaknya kambuh lagi mulai penghujung 1982. Seolah
para penjahat hendak mengucapkan selamat datang kepada Letjen
Pol Anton Sudjarwo, yang Desember lalu dilantik sebagai Kapolri
menggantikan Jenderal Pol Awaloedin Djamin. Setelah ke-14
Kadapol baru dilantik Januari 1983 ini, perampokan juga belum
nampak mereda.
Selain rumah gedongan di kota, kampung di daerah terpencil
dengan penduduk yang miskin pun kini turut menjadi sasaran
penjahat. Contohnya Desa Firdaus di Deli Serdang itu. Tentu saja
hasil rampokan mereka tak seberapa. Di rumah Abdullah, misalnya,
mereka hanya mendapat Rp 6.000 dan beberapa helai kain. Bahkan
di rumah lain mereka tak menemukan apa-apa yang bisa dibawa,
sampai kawanan bedebah itu berkomentar: "Rupanya kita samasama
miskin, he?"
Kawanan pencoleng yang beraksi di Kampung Gabus, Kecamatan
Kresek, Tangerang, minggu lalu, juga tak banyak menggondol
rampasan. Untuk obat kecewa, setelah menyikat cincin dua gram
milik istri Saimin, mereka menyambar handuk dan sprei.
Yang bisa bikin keder penduduk ialah garong di Desa Meteseh,
Semarang Selatan. Jumlah mereka tak tanggung-tanggung: 50 orang.
Bersenjatakan clurit, kelewang dan golok, dengan gagahnya mereka
menyerbu rumah penduduk.
Mbok Mijah, 50 tahun, penjual sayur, di desa itu sampai heran.
"Apa yang mereka harapkan dari desa miskin ini" tanyanya.
Memang, ketika kawanan itu beraksi Desember lalu, mereka hanya
berhasil menggondol Rp 29 ribu dari rumah Mahfud. Bahkan
penduduk yang sudah terlatih dengan Siskamling (Sistim Keamanan
Lingkungan) mengadakan perlawanan. Mendengar teriakan minta
tolong, mereka menghambur ke luar rumah sambil menggenggam golok
atau pentungan. Perampok yang sempat merusakkan sembilan rumah
penduduk terdesak. Lalu melarikan diri. Tapi seorang di
antaranya tertangkap dan dihajar orang-orang yang diluapi emosi.
Polisi mengakui, kawanan perampok sampai berjumlah 50 orang itu
merupakan modus operandi baru. Kawanan yang biasa beroperasi di
daerah pemukiman orang berada di Jakarta, menurut Kadit Serse
Kodak VII Jaya Kol. Pol. Hindarto, biasa bergerak dengan 4
sampai 7 orang. Jumlah yang sedikit itu rupanya untuk memudahkan
mereka lari bila kepergok. Tapi yang tergabung dalam komplotan
itu bisa banyak jumlahnya. Contohnya kawanan yang biasa
menyatroni rumah orahg asing, anggotanya sampai 22 orang.
Sepuluh di antaranya tertangkap dua pekan lalu, tak berapa lama
setelah merampok seorang warga negara Jepang serta menggerayangi
rumah Sudardji, Ketua PPP.
Tentang komplotan yang ini, Hindarto menolak anggapan seolah
mereka punya motif politik. "Kediaman orang asing itu menjadi
sasaran semata karena menyolok dibanding rumah di sekitarnya,"
katanya. Rumah Sudardji di bilangan Slipi pun menjadi sasaran
karena paling mentereng. "Mereka penjahat biasa," kata Hindarto
mencoba meyakinkan. Buktinya mereka tak tahu rumah siapa yang
sudah mereka satroni itu. Mayor Pol. Haryono, Kasi Pendak Kodak
IX Jawa Tengah, juga berpendapat bahwa perampokan di rumah
penduduk miskin tak punya motif selain mengisi perut.
Sampai pekan lalu, kawanan perampok di Semarang Selatan itu
belum tertangkap. Namun, kata Haryono, untuk membantu penduduk
di desa-desa yang dianggap rawan, beberapa polisi ditempatkan di
sana. Lengkap dengan peralatan dan senjata api. Maka polisi
optimistis, para bajingan itu akhirnya bakal terjaring juga.
Kata Hindarto, akhirnya "Kejahatan itu ibarat balon. Dipencet di
sini muncul di sana. Dan tak bisa dipencet di semua tempat,
sebab bisa mbledos (meletus)." Dengan kata lain, penjahat di
daerah-daerah terpencil itu beraksi semata karena tekanan dari
pihak aparat keamanan dibantu masyarakat yang terus dilancarkan
di daerah perkotaan. Dan bagaimana dengan yang di kota sendiri?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini