Gus Dur memang bukan presenter kuis huru-hara. Toh, Ketua Umum PBNU ini selalu bikin teka-teki seputar kerusuhan dengan menyebut inisial seseorang sebagai biangnya. Menyusul terjadinya peristiwa Idul Fitri di Ambon, sekitar Lebaran lalu, misalnya, ia nyeletuk: tokohnya berewokan dan tinggal tak jauh dari rumahnya di kawasan Ciganjur, Jakarta Selatan. Orang pun gampang menebak: Yorrys Raweyai.
Tapi bos Pemuda Pancasila ini membantah, lalu "sowan" baik-baik ke Gus Dur sekaligus menjernihkan persoalan. Beres. Belakangan kiai yang rajin menemui mantan presiden Soeharto ini, awal Maret ini, menyentil nama penting yang dituding sebagai penyulut konflik yang kian membara di antara pemeluk agama itu. Dialah Brigjen (belakangan dikoreksi Mayjen) "K". Tokoh ini—menurut informan yang membisikkan ke telinga Gus Dur—pasang aksi menyebar-nyebarkan foto rekayasa bergambar orang muslim yang dipaksa pakai kalung salib.
Ini jelas tudingan serius karena muncul dari tokoh sekaliber Gus Dur, calon presiden dari PKB. Apalagi menyangkut militer. Kepala Kepolisian RI, Jenderal Drs. Roesmanhadi, sampai menugasi sejumlah perwira untuk menemui politisi kelahiran Jombang yang kurang bisa jelas melihat itu. Jawabannya, lagi-lagi, tak memuaskan polisi. Lalu, siapakah dia? Mungkinkah Kivlan Zein, bekas petinggi di Kostrad yang kini staf ahli di Mabes ABRI? Bukankah tokoh yang pernah menggalang Pam Swakarsa itu berpangkat mayor jenderal? Saat dikonfirmasi TEMPO, ia cuma terbahak. "Beliau (Gus Dur) kan biasa soal begituan. Mayjen "K" kan tidak harus saya, di ABRI kan ada Mayjen Karyono, Kilian Sidabutar, Kentot Harseno, Koesparmono Irsan, atau Kairupan yang masih brigjen."
Namun ada nama lain yang bisa dibidik. Itulah brigjen pensiunan Rustam Kastor. Bekas Kepala Staf Kodam Trikora Irianjaya ini memang pernah menjadi ketua satgas MUI menyusul kerusuhan Idul Fitri. "Tapi, karena ia punya motif pribadi, lalu kami ganti," kata Ketua Satgas MUI Ambon yang baru, H. Muhammad Yusuf Ely, kepada TEMPO. Akhir-akhir ini, bekas Komandan Korem 174 Pattimura Ambon ini memang berada di Jakarta. Tak jelas, sejauh mana kebenaran tudingan ini. Yang pasti, Pangab Jenderal Wiranto malah mencopot Kolonel Karyono, Kapolda Ambon. "Gus Dur suruh merahasiakannya," kata Rozi Munir, Ketua PBNU.
Siapa pun perwira berinisial "K" tentu bakal ditelusuri polisi. Namun, pesan di balik gosip agaknya ingin menegaskan bahwa ada tangan-tangan terampil dari Jakarta yang ikut memanaskan suasana. Coba simak cerita seorang perwira menengah militer kepada TEMPO. Sebulan sebelum kerusuhan, Desember 1998, serombongan preman berdarah Ambon yang bekerja di Jakarta mudik ke kampungnya. Mereka membikin peta kerusuhan yang akan diledakkan. Kerusuhan bisa dikobarkan di sejumlah titik, antara lain perkelahian antarkampung yang biasa terjadi di sana. Mereka juga mempertimbangkan lunturnya nilai kerukunan dalam tradisi pela gandong, kecemburuan sosial penduduk asli terhadap para pendatang, juga peristiwa Ketapang dan Pam Swakarsa dulu yang merenggut nyawa warga Ambon.
Kabar bahwa serombongan preman Jakarta akan pulang kampung sebetulnya sudah terdengar beberapa hari sebelum peristiwa Idul Fitri. Begitu menurut keterangan Jozef Pieter Yoseano Waas, anggota DPR dan tokoh Maluku. Beberapa hari sebelum kerusuhan itu, Yoseano datang ke Kota Ambon untuk suatu kunjungan kerja. Gubernur M. Saleh Latuconsina, kata Yoseano, gusar mendengar kabar rencana kepulangan para preman itu. "Kalau mereka mau bikin kerusuhan, di Jakarta saja, jangan di Ambon," tutur Yoseano menirukan ucapan Saleh.
Aparat intelijen rupanya tak mengantisipasi kepulangan para preman yang dibaca oleh Gubernur Saleh Latuconsina sebagai isyarat buruk ini. Dan kerusuhan memang kemudian terjadi. Ongen Sangaji, tokoh pemuda Ambon muslim di Jakarta, mengisahkan perilaku ugal-ugalan para preman itu. "Begitu turun dari pelabuhan di Ambon, mereka langsung masuk ke pasar para pedagang asal Buton, Bugis, dan Makassar. Mereka masuk ke pasar dan menjarah barang seenaknya," kata Ongen kepada TEMPO.
Cerita Ongen itu bisa menjadi benang merah latar kerusuhan, bahwa para preman itu pulang ke kampung dengan membawa dendam. Soal apa? Yoseano memiliki cerita menyangkut latar psikologis mereka. Peristiwa Ketapang, Jakarta, dianggap telah menyudutkan para preman berdarah Ambon. Dalam peristiwa itu, tudingan yang menyinggung perasaan mereka terdengar, bahwa para preman yang melawan amukan massa itu dianggap membela tempat maksiat. Maklum, lokasi kejadian itu berada di sebuah rumah biliar. "Kasus ini dipolitisasi," kata Yoseano. Tudingan minor kepada preman Ambon itu—juga beberapa warga Ambon anggota Pam Swakarsa yang tewas pada saat Sidang Istimewa MPR tahun lalu—menyemai bibit dendam di hati mereka.
Namun ada isu lain. Kali ini justru Yoseano Waas sendiri yang tersambar berita buruk. Anggota DPR dari daerah pemilihan Maluku Tenggara itu dikabarkan menjamu sekaligus membiayai para preman yang mudik itu di sebuah tempat, lewat pesta "panas-pela". Dalam acara itu, Yoseano konon mengarahkan mereka untuk mengalihkan sasaran balas dendam dari kerusuhan di Ketapang ke Ambon. Tapi tuduhan itu dibantah oleh Yoseano. "Semua itu fitnah. Mereka pulang dengan biaya sendiri," katanya kepada TEMPO. Para preman yang menurut istilah Yoseano "petugas keamanan yang berpenghasilan halal" itu merogoh kocek dari simpanan gaji mereka.
Sumber yang dekat dengan petinggi ABRI di Kodam Wirabuana menyebutkan, "sebuah komplotan di Jakarta" merancang strategi pengobaran kerusuhan di Ambon. Sebuah "dokumen operasi" yang diperkirakan mereka tulis memuat titik-titik penting peta konflik masyarakat Ambon. Titik-titik itu ditandai dengan sebutan "SL-1", katanya berarti "n sumbu ledak pertama". Ada sekitar 10 titik yang disebutkan. Khusus untuk merobek Ambon, sandinya disebut Operasi Gulung Tikar.
Kawasan Batumerah, yang terdiri dari daerah perbukitan yang didiami warga Kristen, dan daerah lembah, yang dimukimi warga muslim, "diprioritaskan untuk diledakkan". "Bila daerah itu disulut, kerusuhan mudah terjadi," kata sumber ini. Kenyataannya, kerusuhan memang terjadi di kawasan Batumerah, juga kawasan Ahuru, daerah yang katanya sudah bersandi "SL" itu. Des Alwi, tokoh dari Banda Naira, yang masuk tim khusus yang ditugasi Presiden Habibie untuk "membaca" Ambon, sampai pada kesimpulan adanya "harimau liar", istilah untuk para preman, yang mengobrak-abrik kawasan seribu pulau itu.
Preman itu belum tentu punya satu garis komando ke atas. Tetapi teori "ada rekayasa" tak kunjung habis. Misalnya dari Benjamin Mangkoedilaga, anggota Tim Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, yang datang berkunjung ke Ambon, awal Februari lalu. Benjamin mengungkapkan, waktu "dua jam" antara peristiwa perkelahian sopir angkutan kota melawan calo dan kerusuhan massal—dalam peristiwa Idul Fitri—yang laik dicurigai.
Dalam rentang waktu itu botol-botol berisi bensin sudah tersedia, juga sejumlah kelewang. Orang-orang yang "tak dikenal masyarakat setempat" mengendarai motor dan mobil, bilang bahwa masjid dan gereja dibakar.
Tentu saja bukan mustahil bahwa dalam keadaan yang sudah panas, tak diperlukan rencana khusus untuk mengumpulkan botol berisi bensin. Desas-desus juga lumrah dalam keadaan itu. Para ahli psikologi massa sudah biasa menemukan hal ini. Tapi rupanya orang biasa menduga bahwa setiap kerusuhan harus punya "dalang". Dicky Wattimena, mantan Wali Kota Ambon pernah diduga terlibat dalam kerusuhan. Kepada TEMPO pernah membantah bahwa dirinya diperiksa oleh Badan Intelijen ABRI. Tapi ia belum lepas.Mantan ajudan Soeharto itu belakangan diperiksa oleh Polda Maluku. "Dia provokator yang masih dalam penyelidikan," kata Brigjend Drs. Togar M. Sianipar, Kepala Dinas Penerangan Mabes Polri, kepada Dwi Wiyana dari TEMPO. Jadi sebetulnya "provokator" yang belum terbukti.
Selain Dicky, berkas penyidikan atas dua orang yang diduga sebagai provokator—begitu istilah polisi—telah diserahkan ke jaksa penuntut umum, 16 tersangka masih dalam proses penyidikan, dan 5 orang dalam proses penyelidikan.
Dari sejumlah tersangka yang diperiksa di Polda Maluku, diduga para perekayasa atau mata rantai ke otak kerusuhan belum terjamah. Paling tidak menurut Adolf Seleky, pengacara sejumlah tersangka pembunuhan dan pembakaran, para tersangka itu hanyalah operator aksi di lapangan yang terlibat secara spontan. "Mereka bukan provokator dan tidak memiliki tujuan politis," kata Adolf kepada TEMPO. "Perusuh yang ditangkap, anak-anak dari Jakarta itu, bukanlah otaknya", kata Yoseano Waas.
Lalu siapa otaknya? Haruskah ada "otak" atau "dalang"? Dalam kerusuhan terjadi, bukan mustahil pelbagai pihak ikut. Tapi tidak selalu jelas apa motifnya. Munir, koordinator Kontras—lembaga untuk advokasi kasus penculikan dan orang hilang—menduga indikasi adanya "rencana besar" yang dilakukan "orang Jakarta". Dugaan itu didasarkan atas pantauan tim pencari fakta yang dibentuk Kontras di Ambon baru-baru ini.
Munir menunjuk selebaran yang beredar di Ambon.Dalam selebaran itu, isu-isu menyangkut Partai Rakyat Demokratik di Ambon, Republik Maluku Selatan, Kristenisasi dan Islamisasi digembar-gemborkan. Orang kian mudah terbakar, tapi apa yang ingin dicapai oleh sang provokator, itu yang tak pernah dibicarakan.
Kelik M.Nugroho, Setiyardi, Darmawan Sepriyossa, Wenseslaus Manggut
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini