Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Bendungan yang Menghalau Petaka

Taman Nasional Sebangau membendung kanal untuk membasahi lahan gambut. Ancaman kebakaran pun surut.

30 Juli 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Puluhan kayu bulat menancap di parit Taman Nasional Sebangau. Ratusan karung berisi pasir melapis barisan kayu. Air yang akan melalui kanal selebar sembilan meter itu tertahan. Inilah bendungan sederhana buatan Balai Taman Nasional di Provinsi Kalimantan Tengah.

Bendungan ini—juga 16 tanggul kayu di 16 kanal lain—telah menyelamatkan taman nasional seluas 568.700 hektare itu dari bahaya kebakaran. Sudah empat tahun Sebangau menjadi langganan kebakaran hutan dengan ribuan titik api. Tahun ini, setidaknya sampai pekan lalu, taman nasional ini bebas dari hantaman api. ”Kami tertolong oleh bendungan,” kata Linjun kepada Tempo pada awal dua pekan lalu.

Linjun adalah warga setempat yang tinggal di pinggir taman. Dia dan tetangganya senang bukan kepalang karena hutan di sekitar mereka teduh tanpa api. Mereka juga bisa menangkap ikan secara leluasa di sepanjang kanal. Ketersediaan air untuk minum dan mandi pun terjamin. ”Tahun lalu, jika musim kemarau tiba, kanal ini kering-kerontang,” kata pria 33 tahun itu.

Sejak 2002, taman nasional ini, yang sebagian besar lahannya berupa gambut, senantiasa dilalap api. Satu contoh, dua tahun lalu, sepanjang Juli sampai September, api membakar 30 hektare areal taman nasional yang terletak di Kabupaten Pulang Pisau ini. Tahun berikutnya, 60 hektare hutan dilalap jago merah, baik dari sisi Sungai Sebangau maupun Sungai Katingan. Api menghanguskan vegetasi hijau yang mengering karena musim kemarau.

Kebakaran terparah terjadi di sekitar lokasi pembukaan jalan penghubung Desa Mendawai ke Palangkaraya. Di sekitar kilometer 6, jalan terputus. Areal di kiri-kanan jalan terbakar hebat dan sudah memasuki tahap api bawah permukaan. Akibatnya, tanah gambut terkikis habis. Ini ditandai dengan hilangnya cengkeraman akar sehingga banyak pohon tumbang. Pohon-pohon yang terbakar menutupi jalan.

Api yang sama menghanguskan habitat beberapa mamalia dan satwa lain. Bahkan sejumlah satwa liar yang langka dan dilindungi seperti orangutan, ular, dan kura-kura mati terpanggang. Sebanyak 40 ribu titik api ditemukan di areal tanah gambut.

Untuk memperkecil risiko kebakaran, pihak taman nasional membendung parit atau kanal pada awal 2007. ”Ada kaitan antara keberadaan kanal dan ancaman kebakaran di musim kemarau,” kata Drasospolino, Kepala Balai Taman Nasional Sebangau.

Drasospolino bercerita, pemerintah memberikan hak pengusahaan hutan kepada puluhan perusahaan swasta sejak 1971. Perusahaan-perusahaan itu membuat ratusan kanal ukuran besar dan kecil untuk mengalirkan kayu dari pedalaman ke Sungai Sebangau dan Sungai Katingan. Yang terbesar dan terpanjang adalah kanal dengan lebar 9 meter dan panjang 20 kilometer.

Ratusan kanal itu justru menjadi malapetaka bagi hutan rawa gambut. ”Gambut ibarat busa yang menyimpan dan menyerap air,” ujar Heddy S. Mukna, Asisten Deputi Urusan Pengendalian Kerusakan Hutan dan Lahan, Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup. Tumpukan bahan organik dari batang, daun, dan bagian pohon lainnya yang membusuk sejak ribuan tahun lalu membentuk gambut.

Tumpukan bahan organik yang mencapai ketebalan hingga 10 meter itu tak terurai karena selalu diliputi jenuh air. ”Kadar airnya bisa mencapai 850 persen,” kata Bambang Hero, dosen Institut Pertanian Bogor, yang sejak sepuluh tahun lalu meneliti soal kebakaran hutan di Indonesia. Pada kondisi ini, lahan gambut tidak mudah terbakar. Kebakaran mungkin terjadi pada lapisan di atas yang kadar airnya rendah.

Namun pembuatan kanal oleh perusahaan selama puluhan tahun itu ternyata mengganggu kadar air. Lahan gambut menjadi rusak. Di beberapa lokasi, gambut menjadi kering-ke-rontang dan mudah terbakar. Dari pengalaman, gambut yang terbakar sulit dipadamkan karena apinya justru berada di bawah tanah.

Menurut Bambang, pembendungan kanal merupakan upaya meningkatkan kadar air pada lahan gambut yang rusak. Harapannya, vegetasi dapat tumbuh dan berkembang sehingga menutupi lapisan permukaan gambut yang sebelumnya terbuka. Kuncinya, ketersediaan air yang cukup selama musim kemarau.

Taman Nasional Sebangau sejak awal melakukan restorasi kanal. ”Langkah pertama kami mengembalikan fungsi hidrologi kawasan,” kata Drasospolino. Sejak 2004, Departemen Kehutanan menetapkan lahan bekas hak pengusahaan hutan yang berlokasi di Kabupaten Pulang Pisau dan Katingan ini menjadi Taman Nasional Sebangau.

Untuk membendung kanal, mereka mendapat bantuan dari The World Wide Fund for Nature (WWF) Indonesia. Sampai awal tahun ini, baru 17 kanal yang dibendung. Ini termasuk empat bendungan di kanal dengan panjang 20 kilometer itu. Untuk membuat bendungan selebar 9 meter, dibutuhkan biaya Rp 60 juta. Ukuran kecil, yakni 1 meter, memerlukan ongkos Rp 12 juta.

Mereka juga mengajak masyarakat sekitar membangun bendungan ukuran kecil. ”Kami berharap dicontoh masyarakat lokal,” ujar Fitrian Ardiansyah, Direktur Program Perubahan Iklim dan Energi WWF Indonesia. Warga memang membuat bendungan di 16 kanal yang terdapat di hulu dan daerah aliran Sungai Sebangau.

Masyarakat Dayak sebenarnya sudah mengenal tradisi membendung parit untuk meninggikan muka air. Mereka menyebutnya Tabat. Tradisi ini menyurut seiring dengan masuknya para taipan kayu ke sana. Bencana kebakaran hutan belakangan mengingatkan warga untuk kembali menerapkan tradisi Tabat.

Drasospolino mengakui keberhasilan pembangunan bendungan tak lepas dari bantuan masyarakat yang umumnya nelayan dan bekas pencari kayu. Sampai saat ini masih ada pembalak liar yang menggunakan kanal untuk menghanyutkan kayu curiannya. Masyarakat yang membantu membuat bendungan dan menjaganya. ”Kami sudah merasakan manfaat bendungan ini dan kini siap memeliharanya,” kata Linjun.

Untung Widyanto, Karana W.W. (Palangkaraya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus