Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Kebangkitan Asia Setelah Krisis

30 Juli 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Stephen Schwartz

  • Senior Resident Representative IMF di Jakarta

    Juli sepuluh tahun lalu, krisis keuangan mulai melanda Asia, krisis yang sifat dan ganasnya belum pernah dialami sebelumnya. Tak banyak negara di kawasan ini yang tidak terkena imbasnya, dan Indonesia merupakan negara yang paling menderita. Sebelum krisis ini berakhir, efeknya terasa di seluruh dunia, menyebar ke Rusia, Amerika Latin, bahkan ke pasar uang di Amerika Serikat.

    Kecuali di Thailand, ketidakseimbangan makroekonomi—sebagai ”tanda peringatan awal” tradisional dari suatu krisis—tidak tampak di negara lain sebelum terjadinya krisis. Sebenarnya, kelemahan sektor finansial dan korporat, yang tidak sepenuhnya tampak pada waktu itu, merupakan akar terjadinya krisis. Faktor lain adalah rezim nilai tukar tetap yang mendorong utang luar negeri tanpa hedging secara berlebihan serta tidak adanya transparansi kebijakan dan ketersediaan data.

    Walaupun berbagai tekanan dalam bentuk default korporat dan meningkatnya kredit macet sudah terasa selama beberapa waktu, peristiwa-peristiwa yang terjadi setelah didevaluasinya baht Thailand pada 2 Juli 1997 itulah yang menjadi ”wake-up call” bagi investor asing. Buntutnya adalah berbaliknya secara tiba-tiba sentimen dan modal internasional. Keraguan atas kesehatan lembaga finansial dan korporat menyebar dengan cepat melintasi batas negara serta menyebabkan terjadinya lingkaran setan pelarian modal, anjloknya nilai tukar, dan ambruknya neraca.

    Permintaan sektor swasta merosot, paling parah di Indonesia dan Thailand. Di Indonesia, ketidakstabilan politik dan sosial memperparah keadaan, dan produk domestik bruto (PDB) merosot 13 persen pada 1998. Tidak adanya jaring pengaman sosial di seluruh Asia guna melindungi mereka yang paling rentan terhadap kekacauan ekonomi ini memperburuk dampak sosial dan ekonomi.

    Guna mengatasi krisis yang terus meluas ini, masyarakat internasional, melalui Dana Moneter Internasional (IMF), memberikan bantuan pendanaan yang besar, justru ketika kreditor swasta beramai-ramai melarikan diri. Paket bantuan dirancang untuk Indonesia (US$ 42,3 miliar), Korea (US$ 58,4 miliar), dan Thailand (US$ 17,2 miliar). Berbagai paket ini disesuaikan dengan kondisi tiap negara. Tapi ada tujuan yang sama, yakni memulihkan stabilitas makroekonomi dan eksternal, menangani akar krisis, termasuk memperkuat sektor finansial dan korporat, serta meningkatkan transparansi dan ketersediaan data.

    Namun, karena cepatnya peristiwa itu serta terbatasnya data yang memperkeruh gambaran mengenai dalamnya krisis serta faktor-faktor penyebab krisis, respons awal yang diambil gagal menghentikan hilangnya kepercayaan. Kendati demikian, dengan makin jelasnya sifat dan luasnya kemerosotan ekonomi akibat krisis, kebijakan-kebijakan pun disesuaikan. Sebagai contoh, setelah masa awal yang ketat, target fiskal diperlonggar sejak awal 1998. Seiring dengan perbaikan dalam pelaksanaan kebijakan, kepercayaan mulai pulih dan modal kembali mengalir. Pada 1999, pertumbuhan produksi mulai positif di semua negara, dan menjelang 2003, PDB mereka sudah melampaui level prakrisis.

    Sebagai pertanda keberhasilan kebijakan yang dilaksanakan sejak krisis, Asia sekali lagi bangkit sebagai kawasan yang paling cepat pertumbuhannya dan paling dinamis di dunia. Walaupun sangat menyakitkan, krisis keuangan itu terbukti hanya setback sementara bagi kawasan ini secara keseluruhan. Dan meskipun krisis baru, mungkin dalam bentuk dan sifat yang berbeda tidak bisa diabaikan, kerentanan dan risiko yang dihadapi sudah berkurang.

    Apa yang menyebabkan keberhasilan ini? Kuncinya terletak pada kerangka makroekonomi yang lebih fleksibel serta reformasi menyeluruh di sektor finansial dan korporat. Rezim nilai tukar yang fleksibel berhasil memperlunak kejutan eksternal, sementara cadangan devisa terus bertambah di kawasan ini. Di sektor finansial, kerangka regulasi dan kehati-hatian sudah diperkuat. Korporasi di Asia Tenggara secara keseluruhan berada pada pijakan yang lebih solid.

    Di Indonesia, PDB terus meningkat dan diharapkan mencapai 6 persen tahun ini, laju tercepat sejak krisis. Cadangan devisa mencapai rekor, yaitu lebih dari US$ 50 miliar, setara dengan impor lebih dari lima bulan, dan lebih dari 150 persen jumlah utang jangka pendek (rasio di atas 100 persen dianggap sehat). Inflasi turun sampai 5-7 persen yang ditargetkan Bank Indonesia untuk 2007. Sebagai cermin dari perkembangan ini, pasar uang berkembang pesat, bursa saham mencapai titik tertinggi, dan rupiah pada umumnya stabil.

    Pelajaran utama yang dapat dipetik dari krisis ini adalah, untuk menuai manfaat yang ditawarkan globalisasi keuangan, dan membatasi risiko, kerangka makroekonomi dan sektor finansial harus sehat dan kuat. Untuk ini, perlu dipenuhi standar tertentu mengenai kualitas kelembagaan, governance, dan transparansi—prasyarat yang kurang terpenuhi di Asia sebelum krisis.

    Selama 10 tahun terakhir ini Indonesia, dan negara lain di Asia, telah menarik pelajaran yang mendalam dan melaksanakan perubahan besar yang, seperti dikemukakan di atas, telah mempersiapkan panggung bagi prospek ekonomi yang kuat dan mengurangi kerentanan. Lebih penting lagi, Indonesia sudah menarik pelajaran dengan tepat dari krisis ini dan tidak meninggalkan orientasi keluar yang telah memotori kemajuan ekonomi selama prakrisis.

    Kerangka kebijakan makroekonomi Indonesia berada pada pijakan yang lebih sehat. Seperti bank sentral lain di Asia, Bank Indonesia telah mengadopsi rezim nilai tukar yang fleksibel serta kerangka target inflasi yang eksplisit. Antara lain, pendekatan BI lebih memudahkannya mengelola arus modal, walaupun tetap merupakan tantangan bagi Indonesia dan ekonomi-ekonomi pasar lain yang sedang bangkit.

    Pada saat yang sama, manajemen fiskal yang sehat telah menurunkan rasio public debt-to-GDP sampai di bawah 40 persen (turun dari hampir 100 persen). Seiring dengan pengurangan subsidi bahan bakar minyak, penurunan ini telah menciptakan ruang gerak bagi counter-cyclical fiscal policy, di mana defisit dapat ditingkatkan, jika perlu, bila terjadi economic downturn.

    Indonesia kini telah menerbitkan serangkaian data dan statistik ekonomi yang mengesankan yang bisa digunakan swasta dan analis pasar untuk menilai tren dasar dan bereaksi atas peristiwa yang terjadi secara gradual dan forward-looking. Sejumlah prakarsa yang disponsori IMF telah banyak membantu, seperti Special Data Dissemination Standards dan simulasi transparansi data dan fiskal (ROSCs).

    Perbaikan yang signifikan dalam supervisi dan regulasi kehati-hatian telah mendorong sistem perbankan yang lebih kuat. Praktek yang mengaitkan kepemilikan bank dan korporasi sebagian besar dapat diberantas. Pada saat yang sama, kendati pekerjaan rumah ini masih jauh dari selesai, regulasi dan praktek corporate governance telah ditingkatkan menuju transparansi dan standar pelaporan yang lebih jelas.

    Masa-masa sulit 1990-an telah membangkitkan kembali rasa identitas regional, sementara forum kebijakan kerja sama telah menempati posisi baru yang lebih penting. Indonesia telah menjadi key player dalam berbagai prakarsa regional, seperti jaringan swap line antarbank sentral Asia yang dibentuk di Chiang Mai.

    Meskipun kemajuan pesat telah dicapai dalam pemulihan ekonomi, tantangan tetap ada. Seperti diketahui, manfaat stabilitas makroekonomi dan meningkatnya pertumbuhan PDB di Indonesia belum memberikan manfaat kepada semua lapisan masyarakat. Kendati pengangguran dan kemiskinan dalam tren menurun, angkanya dianggap terlalu tinggi. Sebenarnya, ketidaksetaraan pendapatan yang terus meningkat telah menjadi tantangan baru di banyak negara Asia.

    Di samping perbaikan iklim investasi, upaya pemerintah Indonesia untuk meningkatkan efektivitas belanja di bidang pendidikan dan infrastruktur merupakan kuncinya. Lebih luas lagi, sementara laju integrasi regional dan dunia makin cepat, tekanan sosial akibat perubahan struktural yang cepat dan kejutan eksternal bisa meningkat, sangat penting untuk merancang ”peredam kejutan” dalam bentuk jaring pengaman sosial dan program pemerintah lain yang memadai.

    Prospek ekonomi Indonesia yang makin cerah memberikan pertanda bahwa prakarsa yang diadopsi selama 10 tahun terakhir ini telah membuahkan hasil. Dilunasinya utang IMF lebih awal pada tahun lalu merupakan indikasi lain mengenai kuatnya ekonomi dan meningkatnya posisi eksternal Indonesia.

    Kami di IMF juga memetik pelajaran yang penting dari krisis, dan ini tecermin dalam kerja kami. Kami telah meningkatkan pentingnya analisis sektor finansial dan memperkuat upaya kami mencegah terulangnya krisis. Kami juga telah melancarkan prakarsa untuk meningkatkan transparansi data dan kebijakan. Kami juga sedang melakukan reformasi guna menjamin suara dan representasi dalam IMF yang lebih mencerminkan bobot ekonomi dari 185 negara anggota kami.

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus