Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Whistleblower Kesepian

30 Juli 2007 | 00.00 WIB

Whistleblower Kesepian
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Teten Masduki

  • Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW)

    KISAH meringkus Al Capone, bos organisasi kriminal Chicago Outfit yang kebal hukum tapi akhirnya berhasil dilakukan biro investigasi federal Amerika (FBI) dari jejak rekam pajaknya, sering diusulkan sebagai cara efektif untuk menangkap koruptor di Tanah Air. Saya percaya pada jurus ini.

    Masalahnya, ketika cara itu akan diterapkan di sini, kita seperti masuk terowongan gelap. Bukan karena si penjahat pajak pintar mengatur siasat mengecoh mata aparat pajak yang dungu atau ia cerdik mencuci uang haram itu, melainkan karena ragam siasat menghindar pajak telah banyak dipelajari.

    Tak jarang, ada kesepakatan antara petugas dan wajib pajak untuk menikmati keuntungan dari ”penghematan” pajak yang mestinya disetor ke kas negara. Wajib pajak tidak harus membayar penuh, sementara kantong petugas pajak makin gembung.

    Kalau tidak ada Vincentius Amin Sutanto, mantan financial controller Asian Agri Group, yang melapor ke Komisi Pemberantasan Korupsi akhir tahun lalu, kita tidak akan pernah tahu ihwal dugaan manipulasi pajak oleh perusahaan perkebunan sawit milik taipan Sukanto Tanoto itu. Akibat manipulasi pajak oleh perusahaan induk terbesar kedua dalam Grup Raja Garuda Mas itu antara 2000 dan 2006, ditaksir negara rugi Rp 1,1 triliun.

    Testimoninya bukan tanpa dasar. Ia merekam ratusan surat-menyurat elektronik di perusahaan tempatnya bekerja seputar siasat ”berhemat” bayar pajak. Ada tiga skema yang dibuat agar setoran ke kas negara sekecil mungkin: pembuatan biaya fiktif, transaksi hedging fiktif, dan transfer pricing (Tempo, 15 Januari 2007). Ini siasat manipulasi pajak yang sudah lazim.

    Vincent, memang, bukan malaikat. Ia sekarang meringkuk di bui dan sedang menanti putusan pengadilan. Ia dituntut pasal pencucian uang dengan ancaman hukuman 12 tahun penjara. Di kamar bui itu, ia juga menerima ancaman menyeramkan agar tidak ”menyanyi” lagi.

    Vincent didakwa karena membobol uang Asian Agri Abadi Oil & Fats Ltd. (AAAOF) yang berkantor di Singapura dengan membuat surat perintah palsu untuk mentransfer uang dari Fortis Bank Singapura ke rekening PT Asian Agri Utama dan PT Asian Agri Jaya, dua perusahaan palsu rekaan Hendri Susilo, temannya.

    Uang yang sudah ditransfer senilai US$ 3,1 juta atau sekitar Rp 28 miliar, tapi yang telah dicairkan baru Rp 200 juta. Sisanya disita polisi dan kini dititipkan lewat rekening Andy Kelana, pengacara AAAOF, padahal perkara belum selesai.

    Pencurian, sekecil apa pun, adalah dosa tak termaafkan. Vincent menyerahkan diri ke polisi, setelah sempat lari ke Singapura. Hanya saja, tudingan pasal pencucian uang cukup mengagetkan, sebab lebih dari 400 laporan Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) ke polisi yang sampai sekarang tidak jelas juntrungannya.

    Sejauh ini, jaksa pun tidak pernah menggunakan pasal itu secara bersamaan dalam dakwaan perkara korupsi. Bukankah pencucian uang adalah follow up crime dari kejahatan asal, seperti korupsi, illegal logging, dan penggelapan pajak?

    Dalam kasus dugaan manipulasi pajak yang dilaporkannya, Vincent bisa jadi merupakan bagian dari pelaku rekayasa pajak. Tapi, ia harus diperlakukan sebagai whistleblower atau pelaku minor yang berhak mendapat perlindungan dari ancaman balas dendam pihak yang dibongkarnya. Bukan hanya perlindungan fisik berupa pengawalan oleh aparat keamanan, bila perlu mengusahakan perubahan dokumen administrasi kependudukan untuk menghilangkan identitas asli.

    UU Perlindungan Saksi dan Korban (UU No. 13/2006) menjamin itu, meskipun di sini tidak dikenal prinsip plea agreement. Keringanan hukuman bagi terdakwa hanya menjadi pertimbangan hakim. Tapi, Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh pernah membuat diskresi menggunakan hak oportunitasnya untuk menganulir pendakwaan seorang saksi pelaku yang berjasa mempermudah proses pengusutan korupsi.

    Witness Protection Act di Amerika Serikat menerobos tradisi hukum yang kuno. Prinsipnya adalah menangkap maling besar dengan maling kecil. Kejahatan berat seperti mafia perdagangan narkotik, industri pelacuran, atau judi gelap yang terorganisir rapi hampir tidak mungkin dibongkar tanpa informasi orang dalam.

    Semakin kuat mafia itu dan nilai uang yang ditransaksikan sangat besar, semakin sulit mereka diseret ke pengadilan. Uang mereka cukup berlimpah untuk belanja polisi, jaksa, hakim, pengacara tenar, dan membungkam media.

    Patut dicurigai mengapa aparat begitu bernafsu mengadili kasus pencurian Vincent, tapi tampak enggan mengusut dugaan penggelapan pajak oleh AAG. Kenapa pula kasus dugaan manipulasi pajak itu tidak didahulukan proses pengadilannya?

    Kesaksian Vincent dan data yang dibawanya amat berharga untuk memberangus mafia pajak. Mestinya Dirjen Pajak dan aparat hukum bergerak cepat sebelum Vincent takut atau tidak bisa bersaksi. Yang diperlukan Vincent saat ini adalah perlindungan keamanan. Jangan harap akan muncul whistleblower lain bila mereka diabaikan.

    Kita harus belajar pada riwayat kemakmuran ekonomi Singapura dan Malaysia. Prioritas mereka adalah membenahi perpajakan.

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    slot-iklan-300x100

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    slot-iklan-300x600
    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    close

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    slot-iklan-300x100
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus