Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Berharap pada <font color=#FF9900>Hutan Harapan</font>

Restorasi ekosistem di Hutan Harapan merupakan yang pertama di Indonesia. Namun muncul kecurigaan terhadap pengelola.

8 Desember 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LOU sama sekali tak kenal Pangeran Charles. Lou, 35 tahun, warga suku Anak Dalam atau lebih dikenal dengan suku Kubu, di Desa Bungku, Jambi, sehari-hari lebih banyak berada di tengah hutan. Ia bekerja sebagai pencari getah jernang. Tak jarang pula ia melakukan pembalakan liar untuk menghidupi keluarga.

Tapi, sejak tahun lalu, dan terutama ketika ahli waris takhta Kerajaan Inggris itu datang ke Hutan Harapan pada awal bulan lalu, hidup Lou dan kawan-kawan berubah. Ia tak lagi kucing-kucingan dengan petugas kehutanan yang menangkapi pembalak liar. Lou justru membantu sang petugas menjaga hutan. Ia dan warga suku Anak Dalam lain bahkan mendapat uang imbalan bila menanam di hutan itu. ”Warga bisa bekerja sebagai tenaga pembibitan atau ikut berpatroli,” ujar Lou, tiga pekan lalu.

Di Hutan Harapan yang terletak di Provinsi Jambi dan Sumatera Selatan itulah Charles mengungkapkan kekagumannya. Ia menggenggam tanah hutan dan kemudian menciumnya. ”Tanah Indonesia memang bagus,” ucapnya.

Charles memang menaruh perhatian besar terhadap upaya pelestarian hutan tropis. Sejak proyek restorasi Hutan Harapan digagas oleh tiga lembaga swadaya masyarakat—Bird Life International, Burung Indonesia, dan Royal Society for the Protection of Birds (RSPB)—yang bergabung dalam wadah PT Restorasi Ekosistem Konservasi Indonesia (REKI), ia terus memantau, memberikan dukungan dan saran.

Prince of Wales yang menjadi pelindung RSPB bahkan beberapa waktu lalu menggelar resepsi khusus untuk membicarakan Hutan Harapan di kediamannya di Clarence House, London. Kunjungannya ke Indonesia itu merupakan kelanjutan dari pembicaraan yang dilakukan bersama REKI, Departemen Kehutanan, dan Kedutaan Besar Indonesia di Inggris.

REKI diberi kepercayaan merestorasi ekosistem dan pengawasan Hutan Harapan oleh Departemen Kehutanan untuk kawasan Provinsi Sumatera Selatan sejak tahun lalu. Dari total luas 101 ribu hektare Hutan Harapan, REKI baru diizinkan mengelola 52 ribu hektare. Sisanya berada dalam kawasan Provinsi Jambi. ”Izin di Jambi masih dalam proses,” kata M. Zubairin, Kepala Administrasi dan Operasi REKI, dua pekan lalu.

Penggunaan bendera REKI, menurut Zubairin, sebenarnya terkesan komersial. Namun, lantaran belum ada regulasi tentang upaya pengelolaan hutan produksi oleh lembaga swadaya masyarakat, terpaksa dibuat seperti sebuah perusahaan. ”Kami masih diperlakukan seperti perusahaan HPH dengan keharusan membayar pajak di muka dengan nilai cukup besar. Tapi ini sekadar payung hukum,” ujar Zubairin, yang lebih suka menyebut REKI sebagai Harapan Rainforest.

Izin yang mereka dapat adalah izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu restorasi ekosistem di hutan produksi. Ini merupakan izin baru setara dengan hak pengusahaan hutan (HPH), namun berlaku untuk 100 tahun dengan syarat tak melakukan penebangan untuk produksi. Tujuan restorasi adalah memulihkan ekosistem hutan, termasuk menyelamatkan flora dan fauna yang hampir punah.

Menurut data peta paduserasi Tata Guna Hutan Kesepakatan dan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi, Jambi memiliki luas kawasan hutan konservasi mencapai 42,53 persen. Nilai tersebut setara dengan 2,17 juta hektare, dari luas provinsi sekitar 5,1 juta hektare. Namun sekitar sepertiga hutan di Jambi tergolong rusak.

Kondisi memprihatinkan ini bermula pada awal 1980-an. Kayu, baik dalam bentuk kayu potong maupun bulat (log), menjadi barang primadona ekspor provinsi ini. Saat itu ada sekitar 30 perusahaan yang mengantongi izin HPH. Pada 2001, satu per satu pengusaha HPH rontok, dan pada akhir 2003 tinggal satu perusahaan yang bertahan.

Pembalakan liar kemudian memperparah nasib hutan di sana. Hutan Harapan, misalnya, saat ini hanya 30 persen dalam kondisi baik, sedangkan sisanya tergolong sedang dan rusak. Berdasarkan pantauan Tempo, sebagian kawasan Hutan Harapan telah gundul.

Kini pembalakan liar di hutan itu memang telah jauh berkurang. ”Kami sangat terbantu upaya pelestarian ini,” kata Syahirsah, Bupati Batanghari, Jambi. Selama ini, kata Syahirsah, mereka sulit memberantas pembalakan liar akibat kekurangan tenaga dan dana.

REKI mendapat kucuran dana antara lain dari Uni Eropa, The British Government’s Darwin Initiative, International Conservation Fund, The Nando Fretti Foundation, Member of the Birdlife International Partnership, dan The Townsend Family Charitable Trust. Dalam kurun waktu 20 tahun pertama mereka membutuhkan dana restorasi sedikitnya Rp 40 miliar.

Di Hutan Harapan terdapat 280 jenis burung, 69 di antaranya hampir punah. Salah satu yang diketahui adalah burung jenis rangkong (buceros). Dari 10 jenis burung rangkong di dunia, sembilan di antaranya hidup di hutan ini.

Mamalia langka yang hidup di Hutan Harapan antara lain musang akar, harimau, gajah, tapir, napu, beruk, dan landak. Hewan-hewan itu diklasifikasikan terancam punah oleh World Conservation Union. Harimau Sumatera bahkan dikategorikan sangat terancam punah. Di hutan ini terdapat 15 ekor harimau Sumatera dari total populasi 100 hingga 300 ekor.

Begitu pula dengan pepohonan. Sedikitnya terdapat 159 jenis pohon. Salah satu pohon yang langka adalah bulian atau borneo. Ini merupakan jenis pohon yang khas dan hanya tumbuh di kawasan Hutan Harapan. Ada pula beberapa jenis meranti, seperti meranti putih, meranti merah, dan agarwood.

Menteri Kehutanan Malem Sambat Kaban menyatakan restorasi Hutan Harapan merupakan yang pertama di Indonesia dan dapat dijadikan contoh daerah lain. ”Merestorasi tak hanya akan membantu menyelamatkan kawasan hutan, tapi juga menyerap emisi karbon. Diharapkan nantinya bisa dikomersialkan,” katanya.

Saat ini setidaknya ada 10 perusahaan yang telah mengajukan permohonan izin kegiatan restorasi hutan seperti yang dilakukan REKI. Sebagian dari mereka menaksir kawasan hutan di Kalimantan.

REKI pun mengajukan permohonan perluasan. Namun usaha ini ditentang beberapa lembaga swadaya masyarakat, seperti Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Lingkungan, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Otonomi Daerah, dan Cappa. Ada pula Yayasan Citra Bina Mandiri dan Forum Komunikasi Daerah Jambi. Mereka mengajukan surat keberatan kepada Gubernur Jambi.

Mereka khawatir, dengan dalih restorasi, lembaga itu akan mengambil potensi alam di dalam bumi di kawasan tersebut. Disinyalir terdapat metan dan bahan galian tambang lainnya di Hutan Harapan. REKI juga dicurigai hanya akan mengeksploitasi kayu di kawasan hutan produksi yang masih produktif bekas HPH sebelumnya.

Zubairin tentu saja menolak tudingan itu. Ia sekali lagi menyebut lembaganya sebagai koalisi beberapa lembaga swadaya masyarakat yang tak punya tujuan selain ingin menyelamatkan hutan dan ekosistem Hutan Harapan. Nama Charles, juga Lou yang tak terkenal itu, menjadi pertaruhan di situ. Charles punya reputasi dalam pelestarian hutan tropis di beberapa negara lain. Sedangkan Lou jelas tak ingin kembali menjadi pencuri kayu di hutan yang ia tinggali.

Firman Atmakusuma, Syaipul Bakhori (Jambi)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus