Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

<font size=2 color=#FF3300>Raden Pardede: </font><br />Runyam Kalau Saling Hantam

8 Desember 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEPERTI tersedot ke pusaran puting beliung, keuangan negara di seluruh dunia porak-poranda dihajar krisis ekonomi global sepanjang empat bulan terakhir. ”Di mana pun, tidak ada tempat berlindung,” kata Raden Pardede. Krisis itu juga melanda Indonesia sejak September lalu. Dan membuat Raden Pardede, Sekretaris Komite Stabilitas Sektor Keuangan, dilanda kesibukan berlipat-ganda.

Komite Stabilitas dipimpin oleh Menteri Keuangan dan beranggotakan Gubernur Bank Indonesia. Tugas lembaga ini: melakukan sinkronisasi pembuatan kebijakan dan implementasinya antara pemerintah dan Bank Indonesia.

Sebagai sekretaris, Raden bertanggung jawab mengkoordinasi pejabat setingkat deputi di Departemen Keuangan dan Bank Indonesia. Kedua lembaga ini memang menjadi aktor kunci penanganan krisis ekonomi di Indonesia. ”Hubungan dan koordinasi dua lembaga ini amat penting dijaga,” ujar Raden.

Indonesia, seperti kita ketahui, turut memikul efek resesi besar yang bergolak selepas paruh kedua 2008. Hampir semua negara di dunia—termasuk negara Asia yang perkasa macam Cina, Jepang, dan Korea Selatan—berkelojotan, lunglai tak keruan. Bencana ini disebut-sebut terburuk setelah Depresi Besar 1930-an membenamkan ekonomi mondial.

Globalisasi bahkan membuat keadaan lebih rumit dibanding situasi 1930-an. Sebab, sekarang, semua negara terhubung rapat satu sama lain. Krisis ini juga berbeda dari krisis 1990-an, yang lebih bersifat regional—menimpa beberapa negara saja. ”Krisis ini akan berlangsung lama,” Raden mengatakan. Pemerintah, menurut dia, telah mengambil sejumlah langkah penangkal, dari penyiapan likuiditas, pengaturan perbankan, dan program padat karya.

Rabu pagi pekan lalu, di tengah persiapan presentasinya bagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat di Senayan, Raden memberikan wawancara khusus kepada Tempo. Percakapan berlangsung di ruang kerjanya di gedung Departemen Keuangan, Lapangan Banteng, Jakarta Pusat.

Dengan suara bariton, pria yang pernah dicalonkan menjadi Gubernur Bank Indonesia ini menjawab semua pertanyaan dengan tangkas.

Bisakah Anda perbandingkan krisis ekonomi global saat ini dengan malaise pada 1930-an?

Dulu dunia tidak sekompleks sekarang. Pada 1930-an, Afrika dan Asia belum merdeka. Kali ini, semua negara kena resesi. Singapura sekarang pertumbuhannya negatif 6 persen. Memang Cina belum mengalami resesi, tapi pertumbuhannya terjun dari 11 persen ke 7 persen. Ini berat karena penduduk Cina amat besar dan negaranya otoriter. Implikasinya bisa merepotkan, maka mereka ketakutan sekali. Krisis dari Amerika menyebar ke negara berkembang melalui pasar keuangan dan lewat sektor riil—yaitu ekspor dan volume perdagangan. Komoditas, manufaktur, dan semua yang berhubungan dengan ekspor melemah. Sektor riil yang melemah menghantam sektor keuangan. Ini seperti lingkaran setan.

Mengapa kurs dolar menguat dan yield penerbitan surat berharga di Amerika menurun padahal mereka biang krisis?

Di Amerika, awalnya pasar keuangan yang terkena krisis, lalu merembet ke sektor keuangan. Setelah itu, sektor riilnya terpengaruh. Ada pemecatan di General Motors, Ford, Chrysler, sampai Electronic City, juga Yahoo. Tapi memang ada paradoks. Meski pasar keuangan menurun, kurs dolar menguat di seluruh dunia, lalu yield surat utang di Amerika juga menurun. Artinya, kalau mengeluarkan surat utang, mereka membayar bunga lebih murah.

Apakah pemerintah sudah punya cetak biru untuk menangani krisis ekonomi ini?

Di Indonesia, problem awalnya masuk lewat pasar keuangan, sebelum merembet ke sektor keuangan. Solusi utama adalah menyediakan likuiditas. Pada saat krisis, kepercayaan satu sama lain berkurang. Likuiditas di pasar hilang. Si penabung menarik duitnya di bank, si bank tak mau memberikan kredit karena takut macet. Ini ciri-ciri krisis. Di negara maju atau berkembang, perilaku manusianya sama saja. Pemerintah sudah memerintahkan pemindahan rekening dolar dari luar ke bank-bank dalam negeri.

Bank Indonesia menerapkan langkah apa saja?

Mengeluarkan kebijakan repurchase agreement alias repo. Artinya, Sertifikat Bank Indonesia dan Surat Utang Negara bisa digadaikan ke Bank Indonesia untuk mendapat uang tunai. Bank-bank yang kesulitan likuiditas bisa menggadai ke BI. Giro wajib minimum diturunkan dari 9 menjadi 7,5 bahkan 5 persen. Bersama pemerintah, BI mengusulkan Perpu Jaring Pengaman Sistem Keuangan sehingga fasilitas jangka pendek dapat disediakan. Sebelumnya, pinjaman harus menyertakan aset sebagai agunan. Sekarang kredit lancar bisa menjadi agunan. Mekanisme ini juga dilakukan di Eropa dan Amerika. Ketika masih ada ketidakpercayaan antarbank, bank sentral menjadi pialang. Yang kekurangan ataupun kelebihan dana datang ke bank sentral.

Dengan mekanisme itu, apakah kasus seperti Bank Century bisa tidak terulang?

Mudah-mudahan. Dibanding 1998, saat ini kita punya kerangka kerja. Jaring Pengaman Sistem Keuangan membuat kita mengetahui apa yang akan kita lakukan. Masalah akan dipilah-pilah sehingga jelas siapa yang menangani: Lembaga Penjamin Simpanan atau Bank Indonesia. Apakah bank harus dikubur atau diselamatkan, jalurnya sudah ada semua. Dulu, waktu belum menyiapkan toolkit-nya, kita bingung. Amerika pun tidak menyiapkan kerangka itu. Untuk membuat keputusan saja mereka harus ke Kongres dulu. Mereka sama bingungnya.

Dalam soal suku bunga, Bank Indonesia dikritik selalu behind the curve (bank sentral negara lain sudah menurunkan, kita malah menaikkan suku bunga)….

Saya tidak dapat berkomentar tentang hal yang berhubungan dengan BI. Tapi satu yang membuat Indonesia berbeda dengan negara lain adalah inflasi. Inflasi di negara kita aneh. Terjadi penurunan output, tapi input kita relatif tidak turun. Ada ketidakfleksibelan karena masih terlalu banyak yang diatur.

Bisa beri contoh?

Misalnya, harga jual minyak sawit sudah turun, tapi harga pupuk masih flat. Ada rigiditas harga. Ya, petani rugi. Ini karena subsidi atau harga yang diatur terlampau ketat. Pada saat harga dunianya naik-turun, ia harusnya fleksibel. Ini konsekuensi globalisasi. Sayang, input tidak fleksibel. Itu akan menjadi persoalan besar. Pada saat BI melihat inflasi mulai turun, berdasarkan model yang mereka gunakan, tidak ada alasan lagi bank-bank mematok suku bunga tinggi. Mereka akan melakukan penyesuaian.

Jadi bagaimana sebaiknya cara memberikan subsidi?

Harus lebih fleksibel. Kalau saya ditanyai bagaimana mensubsidi minyak, ya sudah, subsidi saja misalnya Rp 500 per liter. Jika harga minyak naik atau turun di pasar internasional, subsidi itu mengikuti. Jadi ia tetap fleksibel. Dengan begitu, perilaku orang juga akan berubah, melakukan sesuatu sesuai dengan keadaan. Seperti di Amerika, sewaktu harga minyak menjadi US$ 4 (sekitar Rp 40 ribu) per galon, masyarakat mengurangi perjalanan. Kalau kita kan enggak. Harga minyak berapa pun, jalanan tetap saja macet.

Tolong Anda prediksikan dampak krisis ekonomi global bagi Indonesia pada 2009.

Siapa pun di dunia ini tidak dapat memprediksi berapa lama krisis terjadi. Ini maraton. Kami hanya dapat bersiap-siap. Saya membuat persiapan untuk jangka yang lama, mudah-mudahan tidak terjadi. Saya selalu mengatakan kepada teman-teman di Komite Kebijakan Sektor Keuangan dan Bank Indonesia agar menyiapkan diri untuk perang yang agak lama. Meskipun bukan kita yang menyebabkan perang ini. Kami juga mengharapkan masyarakat tetap waspada.

Apakah kejatuhan bank-bank kelas dunia di Amerika akan berdampak sampai ke sini?

Dampak akan terasa karena transmisinya sektor riil, melalui sektor ekspor. Ekspor kita terpengaruh, komoditas terpengaruh, harga dan volume perdagangan terpengaruh. Itu sudah mulai terlihat saat ini. Saya sudah melihat persoalan ini mulai tahun lalu. Tapi saya—dan dapat dikatakan semua analis di dunia—selalu gagal melihat besarannya. Para ekonom tahu kondisi saat itu tidak dapat bertahan terus. Waktu itu ada optimisme berlebihan dan toleransi luar biasa terhadap risiko. Tahun lalu, kita jual perusahaan sampah di bursa pun, ada yang membeli karena orang amat optimistis.

Bagaimana dampak pengaturan upah dalam Surat Keputusan Bersama 4 Menteri terhadap sektor riil dalam krisis ini?

Upah seharusnya fleksibel juga. Tapi saat ini kerja sama semua pihak penting. Pengusaha dan pekerja harus saling mendukung. Gaji tidak naik agar krisis dapat dilewati bersama. Kalau tidak, perusahaan akan merugi dan tidak mampu membayar kewajiban—dan selanjutnya menghantam sektor keuangan. Dampaknya akan menggulung dan itu amat berbahaya.

Jadi apa resep untuk menghadapi krisis pada tahun depan?

Menyiapkan likuiditas, kepemimpinan yang baik, dan kesatuan. Kalau dalam keadaan seperti ini masih saling hantam, nantinya akan runyam. Perlu ada kebijakan yang menentang arus. Bentuknya bisa berupa paket stimulus. Kalau seluruh dunia melakukan procyclical policy, akan memperdalam krisis. Kecenderungan manusia adalah pro. Semua orang tiba-tiba mengerem bersama-sama. Jadi semua berhenti.

Apa contoh kebijakan menentang arus?

Dalam keadaan krisis seperti sekarang, stimulus adalah resep. Bisa dalam bentuk pembangunan proyek infrastruktur publik atau bisa padat karya dalam arti manufaktur. Cina sedang kesulitan, dan melemahnya rupiah dapat memberikan keuntungan ke padat karya (labor intensive) di bidang tekstil dan produk tekstil kita. Pemerintah bisa memberikan insentif perpajakan atau insentif lain agar investor mau menanam modal lagi.

Anda punya perkiraan seberapa dalam krisis pada tahun depan?

Kita tidak tahu. Tapi pertumbuhan kita akan turun dibanding 2008, bisa menyentuh 5 persen. Gampangnya begini. Cina mengalami koreksi dari 11 persen ke 7-8 persen. Jadi mungkin kita akan terkoreksi sekitar 30 persen. Kalau pertumbuhan ekonomi kita terkoreksi dari 6 ke 4 persen, asalkan kita dapat selamat dan menyesuaikan diri pada 2009, itu sudah bagus. Yang saya khawatirkan, kita tidak dapat melakukannya secara mulus. Jadi, terempas dulu, baru naik lagi. Itu agak repot. Lebih bagus kalau koreksinya pelan dan bertahap.

Sekarang kan ada banyak negara kaya. Apakah mereka tidak bersedia mengeluarkan uang untuk mengatasi krisis?

Mereka akan menolong diri sendiri lebih dulu. Pada 1930, pemulihan ekonomi berlangsung 5-7 tahun lewat stimulus fiskal yang dimotori oleh Teori Keynes. Jadi, pemerintah lebih banyak berperan. Sekarang mudah-mudahan pemulihannya tidak terlampau lama. Sebab, krisis ini jelas-jelas telah diketahui banyak pihak. Krisis kali ini juga menjadi kritik bagi Dana Moneter Internasional (IMF). Pada 1998, mereka menyarankan tight money policy dan tight fiscal. Sekarang orang sadar perlu ada kebijakan menentang arus untuk mendorong konsumsi. Di Australia, misalnya, pemerintah langsung memberikan uang di rekening warga masing-masing $A 5.000. Total dana yang dialirkan US$ 7 miliar, semacam bantuan langsung tunai.

Program padat karya untuk mengatasi pengangguran bergantung pada belanja pemerintah. Padahal belanja pemerintah kan biasanya baru turun menjelang akhir tahun?

Kalau pemerintah mau membuat program padat karya secara efektif, harus mulai dari awal tahun. Karena itu, pemerintah ingin mendapat pembiayaan di awal tahun dari World Bank sekitar US$ 5 miliar. Proses diskusinya dipercepat. Lelang proyek dipercepat dari tiga bulan. Kan, sudah ada aturan soal pengadaan. Kita harapkan ini dapat berjalan, tapi semua tergantung tiap departemen. Yang penting bukan hanya kebijakan, tapi juga implementasinya. Yang mengkhawatirkan jika uangnya ada tapi tidak tahu harus diapakan.

Pemerintah sudah menyatakan akan menambah utang tahun depan, padahal Dewan Perwakilan Rakyat menentang utang baru. Apa komentar Anda?

Kalau tidak mengutang, lalu mendapat uang dari mana? Mau jual surat utang di dalam negeri saat ini tidak akan laku. Jika yield-nya tinggi, Dewan Perwakilan Rakyat juga yang akan marah. Bagusnya saat ini di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2009, Dewan memberikan fleksibilitas ruang. Pemerintah bisa mencari sumber pendanaan lebih murah. Nanti harus ke Dewan lagi dan mereka berjanji mengambil keputusan dalam 24 jam. Secara undang-undang, defisit kita bisa sampai 3 persen. Sekarang pemerintah menggariskan 1,5 persen. Kalau Dewan, setuju melihat kita turun sampai nol persen. Selain mencari pendanaan dari Bank Dunia, Jepang, dan Australia, kita akan menjual sovereign wealth fund ke Timur Tengah. Di negara-negara itu sumber pinjaman masih bisa didapat.

RADEN PARDEDE

Tempat dan tanggal lahir: Balige, Sumatera Utara, 17 Mei 1960 Pendidikan:

  • Insinyur Teknik Kimia, Institut Teknologi Bandung, 1984
  • Master Ekonomi, Boston University, Amerika Serikat
  • Doktor Ekonomi. Boston University, Amerika Serikat

Karier:

  • Process Engineer PT Pupuk Kujang, 1985
  • Konsultan Bank Dunia, 1994-1995
  • Pendiri Danareksa Research Institute, 1995
  • Wakil Koordinator Tim Asistensi Kementerian Keuangan, 2000-2004
  • Wakil Direktur PT Perusahaan Pengelola Aset, 2004-2008
  • Staf Khusus Menteri Koordinator Perekonomian, 2004-2005
  • Ketua Forum Stabilitas Sektor Keuangan, 2004-2008
  • Sekretaris Komite Stabilitas Sektor Keuangan, 2008

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus