Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Berkah dari Seribu Kuntul

Seorang kepala dusun mengajak warganya melestarikan burung kuntul. Di musim berbiak, jumlahnya mencapai puluhan ribu. Tak surut oleh isu flu burung.

7 November 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PAPAN putih itu bertuliskan ”Terima kasih, Anda tidak berburu semua jenis burung di wilayah ini”. Peringatan yang agak ganjil, karena kebun kelapa itu—tempat papan pengumuman tersebut dipasang—bukanlah sebuah taman nasional. Bukan pula cagar alam.

Larangan di kebun milik warga Dusun Ketingan, Kabupaten Sleman, Yogyakarta, itu bukanlah omong kosong. Sekali saja terdengar senapan meletus, penduduk setempat akan ramai-ramai menggeruduk sang pemburu. ”Penduduk siap mengusir,” kata Sriyanto, kepala dusun setempat.

Perlindungan buat sang kuntul kerbau (Bubulcus ibis) dan blekok sawah (Ardeola speciosa), dua jenis burung yang menghiasi Ketingan, sudah dilakukan warga sejak 1997. Tak aneh jika jumlah kedua jenis burung itu di dusun ini kini mencapai ribuan.

Inisiatif melindungi satwa itu bermula dari inisiatif Sriyanto, yang kecewa melihat para pemburu datang seenaknya menyatroni burung-burung di kampungnya. Tak siang atau malam, mereka menembaki burung kuntul yang banyak bertengger di rumpun bambu dan pohon melinjo. Kuntul itu diburu untuk diawetkan dan dijual sebagai hiasan.

Mulanya yang datang berburu hanya beberapa orang. Namun, lambat-laun mereka hadir berombongan dan menembaki burung hingga gelap malam. Ini yang bikin jengkel penduduk. Ketenangan mereka merasa terusik. Sejak itulah, kata Sriyanto, perburuan semua jenis burung di kampung itu dilarang.

Kini jumlah kuntul dan blekok di Ketingan terus berlipat. Saat Desember tiba, musim beranak bagi kuntul, ”Jumlah kuntul bisa mencapai 20 ribu ekor,” Sriyanto menambahkan.

Gotong-royong warga melindungi burung putih itu membuat Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta senang. Mereka datang, ikut memberikan penyuluhan kepada warga tentang pentingnya melindungi burung kuntul.

Mereka juga memberikan bantuan sebesar Rp 1 juta. Dana itu untuk pembuatan gardu pandang guna memantau kedatangan kawanan burung kuntul di sore hari. ”Kami baru tahu bahwa burung kuntul itu sebenarnya termasuk satwa yang harus dilindungi setelah petugas Balai Konservasi datang kemari,” ujar Sriyanto.

Merebaknya isu flu burung pada 2004 sempat mencemaskan warga. Mereka ketar-ketir karena di berbagai media sempat disebut burung kuntul ini diduga pembawa virus pilek burung dari Thailand, Vietnam, dan Cina saat musim migrasi. Kecemasan itu memaksa Balai Konservasi Sumber Daya Alam Yogyakarta dan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada melakukan penelitian. Kesimpulannya, burung kuntul tidak membawa virus yang membahayakan kesehatan. ”Warga akhirnya lega,” kata Sriyanto.

Kini, saat kasus flu burung mulai menelan korban jiwa, warga Ketingan seperti tetap adem ayem saja. Warga, kata Sriyanto, percaya kehadiran ribuan burung kuntul tidak akan membawa virus flu burung. ”Meski begitu, kami tetap waspada,” ujarnya. Ia juga selalu rajin mengingatkan warganya jika ada tanda-tanda terserang flu untuk segera berobat.

”Kami tidak takut. Toh sampai sekarang tidak ada (warga) yang sakit,” kata Suparmono, warga Ketingan, sembari menatap kawanan burung kuntul yang terbang berputar-putar di atas rumahnya. Bagi Suparmono, dan warga Ketingan lainnya, kehadiran burung-burung kuntul justru menyelipkan kebanggaan. Sebab, upaya konservasi itu akhirnya mendatangkan berkah bagi warga Dusun Ketingan, termasuk Suparmono. Banyak turis dari Korea, Jepang, Amerika, dan Australia datang berduyun-duyun melihat burung-burung yang sebagian datang dari negeri Tiongkok, mampir di ”hotel-hotel” berupa pokok pohon kelapa, melinjo, atau bambu. Ada ribuan ”hotel” tersedia buat kuntul di sana.

Membanjirnya turis memicu warga memperbaiki kediamannya. ”Upaya itu dilakukan agar rumah warga layak menjadi tempat menginap bagi turis,” kata Sriyanto. Tarif yang dipasang warga setempat murah saja, cuma Rp 50 ribu per orang, sudah termasuk tiga kali makan. Padahal, menurut Suparmono, rumah-rumah warga mulanya hanya berdinding bilik bambu dan berlantai tanah.

Kehadiran turis juga melahirkan kembali aktivitas kesenian warga. Sebut saja kesenian Jathilan, Gejok Lesung, maupun Pekbung, yang sebelumnya sudah tak pernah dimainkan lagi.

Yandhrie Arvian, Heru C. Nugroho (Yogyakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus