Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rio Hambali, 22 tahun, kini menjadi Cloud. Cloud adalah tokoh perkasa dalam game dan animasi Final Fantasy VII dan Advent Children. Rambutnya pirang lurus. Telinganya bergiwang bundar. Tubuhnya dibungkus sweater hitam. Bahu kirinya terlindung baja, juga berwarna hitam. Di dada kirinya tersemat simbol singa.
Rio seorang cosplayer fanatik. ”Rambut saya belum style, mesti ke salon dulu, nih. Kalau enggak mirip karakter, enggak enak, apalagi sudah pakai kostum,” kata pemilik rambut bercat terang ini. Style rambut Cloud memang khas. Runcing pada ujungnya seperti kulit jagung.
Menjadi cosplayer lumayan merepotkan. Apalagi jika harus bertata rias tebal ala gotik dan membuat kostum. Sehari-hari para costplayer sibuk kuliah atau bekerja. Tapi, kalau mendekati waktu-waktu pertemuan antar-cosplayer, kesibukan mereka berlipat kali. Mereka mempersiapkan aksesori secara khusus dan lengkap. Ada pedang, sayap, atau atribut lain persis karakter animasi yang mereka lihat di 3D game atau animasi video.
Rio mulai suka cosplay sejak ada mesin Dance-Dance Revolutional—yang suka dipakai joget dan olahraga para anak muda—di lokasi Time Zone di mal atau plaza. Terpesona pada satu karakter, ”Kami meniru penampilan kostum karakter. Ajang uji mentalnya, pergi ke mal pake kostum itu,” cerita pria yang kursus 3D (digital studio dan animasi) ini ketika pertama kali lebur pada dunia cosplay.
Munculnya majalah yang khusus menampilkan anime dan manga ikut menyuburkan cosplay. Mereka aktif mendukung acara pertemuan antarcos-player—disebut Bunkasay. Sejauh ini pertemuan telah diadakan di Bina Nusantara, Tenis Indoor, Senayan, Ciwalk Bandung, dan lain-lain.
September lalu, mereka bertemu di Kelapa Gading. Dan para cosplayer tak hanya mejeng. Mereka menampilkan cabaret show, membawakan peran ala karakter kostumnya. Waktu untuk tiap karakter 10 menit. Ada empat tim yang bertanding adu penampilan dan aksi: Maiko, Takoyaki, Cross Gensui, dan Infini. Cosplay kabaret dimenangi oleh tim Infini—tim Rio—dengan lakon Devil May Cry, dan Cross Gensui yang membawakan kabaret Final Fantasy 8.
Apa sih enaknya menjadi cosplayer? ”Mungkin mirip akting teater,” kata Rio dan Ryan, mahasiswa Bina Nusantara (Binus). Ryan atau Ragna— Ragnarock, karakter game di Internet yang ngetren—ini baru beberapa kali ikut kegiatan cosplay. Ia sudah jatuh hati. Bahkan sudah punya dua karakter animasi, Benitora dan Samurai.
Pinky, seorang arsitek muda, awalnya menyukai karakter game dan beberapa anime. ”Saya mencari karakter yang berbeda dengan diri saya sendiri,” kata wanita yang pernah diwawancarai majalah Rogue Singapura, edisi Januari 2005 lalu, mengenai hobinya menjadi cosplayer. Orang tuanya tak menyukai kegiatannya, tapi Pinky bahagia didukung teman-temannya.
”Dunia cosplay adalah panggung. Dituntut akting berbeda dengan keseharian,” katanya. Pinky pun menjadi pribadi yang bertoleransi, berusaha berkumpul dengan keluarga setiap libur kerja dan berbagi waktu sesama teman sehobi bila ada kumpul-kumpul. Kegiatan itu bisa dilakoni Sabtu-Minggu dan hanya di Jakarta, tidak ke luar daerah.
Tapi jangan tanya dia soal pacar yang sifatnya pribadi. ”Cosplayer beda dengan seniman atau selebriti yang dikagumi figurnya. Sedangkan saya dan cosplayer lain hanya dipandang dari karakter kostumnya. Bila orang tahu pribadi seorang cosplayer, maka citra karakter yang diperankan rusak, tidak dijiwai lagi. Juga rusak image saya,” ujarnya mengenai aturan baku mayoritas cosplayer di Indonesia dan juga di negeri asalnya, Jepang.
Satu lagi tantangan cosplayer adalah kemampuan menjiwai karakter. ”Kalau karakter yang diperankan kalem, tapi ternyata seseorang itu bertolak belakang, harus mampu diredam. Bila tidak, image karakter jadi berantakan,” ujar Aria.
Para cosplayer harus pandai mengatur dana untuk keperluan kostum. Rio mengakui keterbatasan dananya. Untuk urusan kostum, ia merogoh uang Rp 100 ribu-Rp 2 juta. Supaya irit, ia memakai kostumnya beberapa kali. Cosplayer lain ada yang memilih kostum sederhana, ada yang pakai satu kostum terus-menerus atau berganti setiap pemunculan ketiga kali. Tokusatsu, Virtual Fighter, Dekaranger, Cloud-FF AC, Vergil-Devil May Cry, dan Mist-The I.C.E (original) adalah kostum-kostum yang pernah dibuat Rio.
Untuk masalah kostum, Pinky juga memberi batasan sampai Rp 2 juta. ”Itu karena terbuat dari bahan sutra Cina. Satu meter saja Rp 110 ribu, belum dibordir dan ongkos jahitnya,” katanya. Aria—alias HolyDragon di dunia maya—lain lagi. Ia menjadi pengunjung setia toko kimia, toko buku, dan toko bangunan, bila akan membuat kostum. Mantan mahasiswa ITB Bandung itu tidak mengeluarkan dana lebih dari Rp 800 ribu. Biasanya kostumnya berkisar Rp 100 ribu-Rp 250 ribu. Yang membuat mahal adalah detail kostum seperti baju Inuyasha—anime karya Rumiko Takahashi tentang petualangan siluman anjing Inuyasha. ”Supaya mirip, wig harus pas,” kata Aria mengenai rambut Inuyasha yang panjang dan berwarna keputihan itu.
Aria senang menjadi cosplayer. Ia mengekspresikan diri dengan karakter yang disukai dengan nuansa kreatif. ”Sayangnya, masih sering dianggap kekanakan dari kostumnya. Bahkan, karena menyukai budaya Jepang, dianggap kurang nasionalis,” tutur Aria kecewa. Kemampuan mereka berkreasi dalam membuat properti kostum tentu bukan kemampuan anak-anak. Dan juga bukan sejenis kostum karnaval semata. ”Sering dibilang kayak orang gila. Ya, sabar dan cuek aja,” cerita Rio mengenai umpatan orang yang tak paham kegiatan ekspresi diri para cosplayer.
Cosplay mulai berkembang sekitar tahun 1997 di kalangan generasi Indo-J, yakni anak muda yang doyan berekspresi dengan kebudayaan Jepang. Tahun 2000-an, Jurusan Sastra Jepang Universitas Indonesia mengadakan acara khusus. Dari sini, lahir embrio cosplay. Kini cosplay juga eksis di Surabaya. Bahkan di kota itu majalah anime pertama bisa tersebar luas.
”Cosplay perlahan menyebar sampai sekarang,” kata Aria lagi. Pada 2003, sebuah majalah mengenai manga dan anime mengadakan acara di pusat gaul anak muda Bandung, Bandung Super Mall. Kendati cosplayer yang tampil hanya 20 orang, ini mulai mendapat perhatian pengunjung yang datang. Di Bandung, cosplayer membiasakan tampil dalam satu tim. ”Tampil sama, hang out, dan mempererat ikatan antar-cosplayer,” kata pria yang mengidamkan mendirikan kafe cosplay suatu saat nanti itu.
Cosplayer terus berkembang, meski punya keterbatasannya. Kesulitan pertama, tentu saja dana. Selain itu, kegiatan mereka juga sering redup jika musim ujian. Ya, mayoritas para cosplayer adalah mahasiswa dan pelajar.
Evieta Fadjar P.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo