Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Les Miserables!

Prancis dilanda kerusuhan rasial terbesar sejak 1968—kini memasuki pekan kedua. Paradoks sebuah integrasi akibat janji-janji yang gagal direalisasi negara.

7 November 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AZIZAH Asnawi tertegun di depan stasiun Saint-Etienne (Loire). Ini kota kecil yang bertetangga dengan Lyon, ibu kota Rhone-Alpes, Prancis Tengah. Mahasiswi Indonesia Jurusan Konservasi Budaya di Universitas Jean Monnet itu baru pulang mengunjungi temannya di Marseille. Arloji di pergelangan tangannya menunjukkan pukul 22.30 waktu setempat. Iza—begitu Azizah biasa dipanggil—menyaksikan pemandangan yang ganjil pada Ahad, 6 November.

Di luar stasiun Saint-Etienne, kota begitu senyap. Nyaris tak ada tanda-tanda kehidupan, kecuali silau lampu merkuri yang menyiram kota. Bus nomor 7 jurusan Chateaucrux-Bellevue yang biasa dia tumpangi sampai halte dekat rumahnya tak kunjung muncul. Biasanya, bus itu beroperasi sampai menjelang tengah malam. Iza memutuskan pulang jalan kaki. ”Sekitar setengah jam berjalan, saya mulai waswas karena suasana lengang sekali,” katanya kepada Tempo.

Saint-Etienne untuk sejenak menjadi kota mati. Tak ada kehidupan malam. Bar dan kafe tutup. Tak ada warga yang lalu-lalang. Setelah beberapa saat menapak ruas jalan yang sunyi, Iza tersadar, kelengangan itu adalah dampak dibakarnya satu bus dan 25 mobil pribadi di kota itu pada pagi harinya. ”Polisi dan aparat pemerintah menjadi sasaran pelemparan batu dan bom molotov oleh massa yang marah,” Iza, 29 tahun, melanjutkan. Sejauh ini belum ada korban jiwa di Saint-Etienne.

Kemarahan terhadap polisi dan amuk massa di Saint-Etienne itu adalah bagian dari kerusuhan sporadis yang pecah di sejumlah kota Prancis selama 11 hari terakhir. Kampung-kampung pinggiran di Paris, Strasbourg, Toulouse, Nantes, Rennes, hingga Dijon, tak luput dari amuk dan kerusuhan. Sebuah studio film seluas 3.000 meter persegi di tepi Sungai Seine di kawasan Asnieres berpijar dalam lidah api setinggi 10 meter. Sekitar 25 anggota pemadam kebakaran berjibaku menaklukkan api.

Senin sore pekan ini, Departemen Dalam Negeri mengumumkan, 34 polisi terluka parah, 839 mobil gosong, dan 186 orang ditangkap polisi—mayoritas imigran muslim asal Afrika dan Arab. ”Mereka bergerak sangat cepat dengan mobil atau skuter sehingga sulit dibekuk,” ujar juru bicara Kepolisian Nasional Patrick Hamon. ”... Mereka masih muda, amat muda.”

Di kota Grigny, para pemuda melumpuhkan 30 polisi dengan batu dan bom molotov yang diarahkan ke tenggorokan dan kaki aparat. ”Mereka benar-benar menembak ke arah petugas. Ini kejahatan serius, tak seperti malam-malam sebelumnya,” ujar pejabat senior kepolisian Bernard Franio.

Perlawanan para pemuda imigran muslim itu bermula dari tewasnya Zyed Benna, 17 tahun, dan Bouna Traore, 15 tahun, yang tersengat aliran listrik di gardu kecil di kawasan Clichy-sous-Bois, sebelah utara Paris. Kabar yang beredar di kalangan imigran menyatakan Zyed dan Bouna tewas akibat dikejar-kejar aparat. Ihwal kematian itu dengan cepat menjalar di internet dan menuai simpati di berbagai blog. ”Perang saudara sudah meletus. Tak diragukan lagi akan banyak kematian setelah ini,” ungkap sebuah surat elektronik yang dikirim oleh ”Rania”. Pesan elektronik lain yang ditulis oleh ”Saint Denis” berbunyi begini: ”Kami akan hancurkan semuanya. Beristirahatlah dengan tenang, kawan.”

Kerusuhan ini kembali memicu debat sengit tentang keberhasilan Prancis sebagai negara Eropa yang dianggap paling adaptif terhadap para imigran, terutama muslim. ”Ini paradoks sebuah integrasi, terutama menyangkut janji-janji yang gagal direalisasi negara,” tutur kriminolog Alain Bauer dalam sebuah debat televisi.

Menurut Bauer, yang mengutip Le Monde Diplomatic, selama ini para imigran mengalami perlakuan diskriminatif di bidang sosial. Tingkat melek huruf mereka rendah, pengangguran tinggi, dan terjadi pengebirian atas hak-hak politik domestik mereka yang dikuasai kaum kulit putih Prancis. ”Akibatnya, mereka berkelompok membangun ’kota-kota baru yang buruk’ (ugly new towns) yang sering dipandang sebagai ghetto oleh masyarakat kulit putih. Di situ beredar obat bius dan tumbuh genggeng berandalan,” Bauer menuturkan.

Ia melihat kesalahan terbesar terletak pada keangkuhan para politikus Prancis yang berkukuh mendendangkan lagu lama jika sudah menyangkut para imigran: ”Itu tidak benar, itu bukan hal serius, dan itu bukan salahku.”

Padahal, dari sisi demografis, penganut Islam kini menjadi populasi kedua terbesar di Prancis setelah pengikut Katolik Roma. Karena itu, aspirasi politik dan kepentingan sosial mereka sewajarnya lebih diperhatikan.

Data dari CIA World Book Fact (2005) mencatat, populasi penduduk Prancis berdasarkan keyakinan adalah Katolik Roma (83-88 persen), Islam (5-10 persen), Protestan (2 persen), dan Yahudi (1 persen). Diperkirakan saat ini ada sekitar 6 juta warga muslim dari 60 juta penduduk Prancis.

Pekerja sosial Aziz Sahiri yang turut serta dalam debat televisi itu mengeluarkan pernyataan lebih keras: ”Saya takut para imigran Arab dan Afrika yang sudah menjadi warga Prancis hanya dijadikan sekadar pion dan komoditas politik untuk pemilu mendatang.” Entah sebuah kebetulan atau memang prediksi Sahiri yang mangkus, kerusuhan berantai ini mencuatkan perbedaan sikap antara Menteri Dalam Negeri Nicolas Sarkozy dan Perdana Menteri Dominique de Villepin yang akan bertarung merebut kursi pimpinan di partai kanan menjelang pemilu mendatang.

Sarkozy dengan tegas menyatakan para pelaku kerusuhan sebagai ”sampah” (scum)—sebuah sebutan yang membuat makin beringas para pemuda imigran. Sebaliknya, Villepin kerepotan menetralisasi sebutan kasar itu. Dalam pertemuan Villepin dengan Imam Masjid Paris, Dalil Boubakeur, sang imam mengimbau agar pemerintah lebih berhati-hati mengeluarkan kata-kata. ”Setiap kata memiliki arti spesifik sekarang. Kami butuh kata-kata damai,” ujar Boubakeur.

Persatuan Organisasi Islam Prancis (UOIF) mengeluarkan fatwa yang mengutuk perusakan dan tindakan anarkistis dalam bentuk apa pun. ”Dalam banyak ayat Al-Quran disebutkan Allah tak menyukai perusakan,” demikian bunyi salah satu penggalan fatwa tersebut. ”Terlarang bagi setiap muslim untuk ikut serta dalam tindakan membabi buta yang membahayakan nyawa orang lain.”

Kerusuhan terburuk sejak revolusi pelajar pada 1968 itu akhirnya membuat Presiden Prancis Jacques Chirac angkat bicara: ”Siapa pun yang ingin menyebarkan ketakutan akan ditangkap, diadili dan dihukum,” katanya. Ia menyatakan akan menjalankan ”prioritas absolut” yang menjamin terciptanya lagi keamanan dan keteraturan publik.

Tapi bagi sopir taksi seperti Ahmed yang tinggal di Clichy—lokasi tewasnya Zyed dan Bouna—penyelesaian jangka pendek saja tidak cukup. ”Pemerintah harus melakukan tindakan yang lebih riil untuk jangka panjang. Jika tidak, hal yang lebih buruk bisa terjadi,” katanya dengan cemas. Ia seolah mengingatkan kembali petuah yang pernah disampaikan sastrawan besar Victor Hugo dalam Les Miserables, 150 tahun silam: ”Kebahagiaan terbesar dalam hidup adalah ketika yakin bahwa kita dicintai.”

Sebuah petuah lama yang berlaku juga bagi segenap imigran di seantero Prancis.

Akmal Nasery Basral (AFP, BBC, Aljazeera, Reuters)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus