Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Anzu Hizawa, 25 tahun, seorang komikus dengan spesialis shoujo manga alias serial cantik bergaya manga. Banyak karyanya sudah bertengger di rak-rak komik sejumlah toko buku ternama sejak empat tahun lalu: Magic of Love (2001), His Other Personality (2002), Dear Miss Louryn (2003), dan Sea Foam (2004). Pada tahun lalu pula ia menerbitkan karyanya di Singapura, Wing of Desire.
”Anzu kan singkatan nama saya, Agnes Susanti. Tapi, kalau jadi Ansu, kok rada enggak sreg aja. Lalu saya ganti ’su’ dengan ’zu’, gitu lho,” kata Anzu dengan logat Jawa Timurnya yang kental. Anzu memang gadis asli Surabaya. Ia juga tak berniat jadi orang Jepang dengan mengganti namanya. ”Nama ini sudah jadi trade mark saya, jadi enggak mungkin saya ganti,” katanya.
Ada lagi Yuu An. Usianya juga 25 tahun. Melihat komik Alyssa (2004) dan First Love (2004) karyanya, orang tak akan percaya bahwa ia asli Surabaya. ”Masa, sih, nama saya seperti orang Jepang? Saya pikir malah seperti orang Cina,” kata gadis bernama asli Yuanita ini. Baik Agnes maupun Yuu An mengatakan tak ada niat mereka menyembunyikan identitas dengan nama pena di tiap karya mereka. ”Rasanya keren aja. Lagi pula itu memang nama panggilan saya,” katanya.
”Keren” juga bagian dari strategi penerbit untuk menembus pasar komik yang dikuasai komik terjemahan dari Jepang. Penerbit belajar: menggunakan nama asli membuat komik dipandang dengan sebelah mata. Begitu nama diubah, penjualan meningkat.
”Kami sempat dituduh mengelabui pasar. Tapi, menurut kami, kenapa tidak jika komikus Indonesia bisa membuat komik yang kualitasnya sama baik dengan komik Jepang,” kata Retno Kristy, Vice Editor in Chief PT Elex Media Komputindo. Setelah pasar terbuka, umumnya pembuat komik mulai menyandingkan nama asli mereka di samping nama pena.
Hikmat punya pendapat yang berbeda. Penggunaan nama pena yang umumnya kejepangjepangan bukan semata-mata urusan pemasaran komik. ”Nama pena komikus muda Indonesia umumnya tak punya referensi selain manga. Ini juga bagian dari budaya J-pop yang dianut mereka, mulai dari aksesori, cosplay, bahkan sampai bahasa tubuh yang mirip karakter ’cute’ yang mereka baca,” kata Hikmat.
Tak semua komikus muda mau menggunakan nama samaran. Is Yuniarto dan rekannya, John G. Reinhart, termasuk yang kukuh menolak menggunakan nama samaran (lihat, Komikus dalam Sebuah Kotak). Is dan John juga menolak disebut mangaka (pembuat manga). Terlalu kejepang-jepangan. ”Kami lebih suka disebut sebagai komikus, meskipun gaya gambar kami terpengaruh oleh gaya komik Jepang. Sebab, sebutan ’mangaka’ terkesan Jepang banget,” katanya.
Nama Jepang bukan segalanya buat Is dan John. Tanpa nama samaran, mereka memanfaatkan kreativitas dalam mendukung pemasaran karya mereka. ”Kami menggunakan website kami yang di dalamnya terdapat wallpaper, konsep art dan game komputer bergenre game balap 2D yang dapat diunduh (download) secara bebas, serta forum web yang memudahkan kami menerima masukan, saran, dan kritik dari pembaca secara langsung,” kata Is.
Buat para komikus muda ini, masalah nama samaran dan dunia komik mungkin tak pernah mereka bayangkan sebelumnya. Rata-rata mereka memulainya dari suka membaca. Lalu mereka mencoba-coba menggambar. Menggambar ternyata membuat mereka ketagihan. ”Sampai-sampai buku saya pernah disita gara-gara saya menggambar saat guru menerangkan pelajaran,” kata Yuu An mengenang.
Tak seperti Is dan Yuu An, yang mantap menjadikan komik sebagai karier mereka, Agnes malah pesimistis pada prospek ekonomi dunia ini. Ia menempuh banyak cara, termasuk menerbitkan di Singapura. ”Di sana memang tak banyak dicetak seperti di sini. Mereka kan negara kecil. Sekali cetak, harus pindah penerbit. Tapi honornya kan dalam dolar,” kata lajang yang mulai menerbitkan komik serinya di majalah Hoplaa pada 1996 ini.
Yuu An mengaku banyak belajar dari Agnes, tapi ia memilih jalan terus. Bahkan, ”Sekarang saya sedang menyiapkan buku ketiga sekaligus membuat novel,” kata Yuu An bersemangat. Tentunya karya ketiganya masih bertema manga.
Utami Widowati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo