Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Dari sebuah ladang pembantaian

Sutradara: ronald jaffe. pemain: sam waterson, haing s. ngor, john malkovich. resensi oleh : goenawan mohamad.

27 April 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

THE KILLING FIELDS Sutradara: Roland Jaffe Aktor: Sam Waterson, Haing S. Ngor, John Malkovich KANCAH peperangan, ladang kerja paksa dan pembantaian, revolusi - semua itu bahan bagus untuk sebuah epos. Dengan itu orang bisa bercerita tentang pengorbanan dan keberanian dan keunggulan roham, yang mantap, mengatasi jasad yang disiksa. Tapi film ini boleh dibilang tanpa semua unsur epik itu. Dan sang pahlawan? Jika "pahlawan" adalah seorang manusia yang tetap bertahan dengan gaya agung di bawah injakan, maka tokoh utama The Killing Fields tak tergolong ke sana. Tapi ini rupanya memang bukan sebuah kisah perlawanan di dalam sebuah "gulag" besar - sebuah penjara yang bernama Kamboja - tempat manusia ditimbun dan diperlakukan seperti paku dan palu. Ini, dalam intinya, sebuah kisah persahabatan. Film ini menggugah kita, bukan pada saat-saat pengorbanan diri yang heroik. Ia menyentuh kita pada saat sahabat-sahabat harus berpisah dan sahabat-sahabat bersua kembali. Ceritanya didasarkan pada pengalaman nyata, dari tahun 1972. Wartawan The New- York Times, Sydney H. Schanberg, datang ke Kamboja, yang sejak 1970 jadi kancah perang antara gerilyawan komunis Khmer Merah dan pemerintahan Marsekal Lon Nol yang didukung Amerika. Di Ibu Kota Phnom Penh, ia bertemu dengan Dith Pran. Orang Kamboja ini, yang pernah jadi penerjemah, membantunya dalam bekerja di negeri yang ruwet dan asing itu. Mereka pun meliput pelbagai keiadian yang kemudian menyebabkan Schanberg mendapatkan Hadiah Pulitzer pada tahun 1976 untuk reportasenya. Terutama ketika sebuah pesawat B-25 Amerika, karena kekeliruan navigasi, salah menjatuhkan bom ke Kota Neak Long, dan menyebabkan 400 orang terluka atau mati. Suasana acak-acakan tanpa harap dalam perang yang seperti itu akhirnya mencekik dalam satu klimaks. Phnom Penh jatuh. Khmer Merah masuk kota. Dith Pran - berkat pertolongan Schanberg - berhasil menumpangkan istri dan anak-anaknya dalam salah satu pesawat pengungsian Amerika. Tapi ia sendiri tinggal. Seperti halnya Schanberg, fotograf freelance Rockoff dan wartawan Inggris Swain, Pran kembali bekerja. Mereka hendak merekam kejadian sampai saat terakhir: suatu kegigihan jurnalistik yang lumrah, tapl ternyata Juga sebuah perjalanan di ambang neraka. Nasib pun - dan perbedaan paspor kemudian memisahkan Pran dari Schanberg dan lain-lain. Schanberg bisa kembali ke New York, mendapatkan Hadiah Pulitzer, dan mendengarkan Aria Puccini sambil menonton video tentang kekejaman perang. Pran harus tinggal di Kamboja dan mengalami azab yang dialami bangsanya waktu itu: hidup di antara kamp kerja paksa dan ladang pembantaian Khmer Merah, di bawah kediktatoran "Angka", atau pimpinan, atau Pol Pot. Kontras dari dua pengalaman di dunia itulah yang disadari Schanberg dengan tajam. Ia dirundung rasa bersalah. Ia bertanya-tanya, tidakkah ia yang menyebabkan Pran tidak segera pergi meninggalkan Phnom Penh dengan ambisi tersembunyi untuk mendapatkan berita besar atas nama sang koresponden The New- York Times. Tapi Pran ternyata tidak hilang dari muka bumi. Dengan pelbagai cara, dan dengan keberuntungan yang hampir-hampir sebuah mukjizat, ia selamat. Ia memang bukan Prometheus, yang dengan gagah, walaupun disiksa, menampakkan keteguhan hati. Pran, dalam kepungan penindasan yang hebat, lebih mempergunakan kearifan petani Asia yang diinjak kekuasaan: yang berdiam diri dan bersedia merunduk, itulah yang selamat. Memang, pertanyaan yang biasa dimajukan ialah: lalu nilai apa yang didapat, dengan menjadi selamat seperti itu? Tidakkah di sana inspirasi bagi perlawanan manusia justru absen? Pran, jika ditanya tentang ini, mungkin akan menjawab: ini sebuah pengalaman nyata, Bung, yang tak bisa ditata untuk menjawab pertanyaan itu, dan siapa yang belum pernah mengalami penindasan seperti itu lebih baik jangan berceloteh. Dan The Killing Fields memang, dengan kerja kamera yang lugas tapi efektif dalam gaya dokumenter, tidak ingin berceloteh. Di situlah kekuatannya, di samping permainan yang cukup baik dari semua aktor penting, terutama John Malkovich sebagai Fotografer Rockoff (Ngor, yang mendapat Oscar, sebenarnya tak terlalu luar biasa). Tapi mungkin di situ pula kekurangannya. Sebab, sebuah film bukan cuma sebuah kopi dari kisah nyata. Tiap karya seni memberi bentuk kepada kenyataan yang hadir tanpa tersusun dalam sebuah fokus. Dengan itu sebuah film seharusnya lebih terasa intensif, dan dalam kasus The Killing Fields, seharusnya lebih bisa memberi motif untuk inti cerita ini - yaitu persahabatan Schanberg dengan Pran. Motif itulah yang kurang jelas: kita tidak cukup diberi tahu kenapa Pran sampai menganggap Schanberg seperti saudaranya, misalnya. Adakah di sini berlaku pula hubungan si putih dan si kulit berwarna, seperti Old Shaterhand dengan Winnetou, Tintin dengan Chang - suatu ikatan yang seimbang? Ataukah (begitu banyak cerita persahabatan begini dari masa kanak kita) ini hubungan antara Jungle Jim dan Si Ubel-ubel: yan- satu lebih mengabdi, tergantung, dan berguru pada yang lain - dan sekaligus jadi kiasan untuk hubungan manusia Asia Tenggara dengan "saudara tua"-nya yang brewok di Barat? Film ini tak mempersoalkannya. Yang ditampilkan adalah Schanberg (melalui Sam Waterson) yang lembut, hampir bagaikan padri-penyair, bukan bos yang tak sabar. Mungkin itu cara Sutradara Joffe untuk mengharukan. Ia berhasil. Hanya bila setelah itu kita sempat bertanya, kita ragu adakah ia konsisten dalam bergerak antara seni dan realitas, dan tidak menyederhanakan suatu tema. Goenawan Mohamad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus