SUSTER Mary John Mananzan pasti lagi sewot. Ia mengumpulkan kutipan pendapat para cerdik cendekia sepanjang sejarah tentang perempuan. Dan suster Filipina ini pasti tambah sewot ketika menimbang-nimbang hasilnya. Memang menyakitkan. Dari Plato ke Perjanjian Lama, dari Perjanjian Baru ke tokoh-tokoh pemikir abad ke-20, sedikit benar yang bisa menghargai perempuan dengan layak. Bukan hanya itu: mereka menghma kaum perempuan dengan terus terang. "Perempuan adalah degradasi lelaki seorang lelaki pengecut pada kelahirannya yang berikut akan menjadi perempuan," konon kata Plato. Aristoteles tidak kalah cemoohnya: "Andai kata pun perempuan punya jiwa, punya mereka tidak sepenuh yang dimiliki lelaki." Cerita-cerlta PerjanjIan Lama banyak mengungkap "kecurigaan" tradlsl pemlklran Yahudl mengenai kualitas makhluk berjemis perempuan. Proses penciptaan perempuan, misalnya, sering dianggap sebagai bukti kebenaran "dominasi patriarkik", perempuan berasal dari sepotong tulang iga lelaki. Dari perempuan ini pula timbulnya dadakan dosa yang terus beranak-pinak. Rasul Paulus, lelaki lajang, rasul Perjanjian Baru yang suka turne, juga menilai perempuan dari khazanah budaya Semitis yang ambivalen terhadap keperempuanan. Lelaki sudah semestinya menjadi "kepala", itu tak terbantahkan. Perempuan harus menutup kepalanya dengan kudung, itu sudah sepantasnya. Dan harap tenang dan diam-diam saja dl tengah sldang. Banyak lagi kutipan yang dicatat Suster Mary. Perempuan adalah makhluk cerewet, bodoh, pintu neraka, penggoda, serba tuna, dan sebagainya. Lecehan memuncak ketika Suster menderetkan pendapat Proudhon, Schopenhauer, dan Nietzsche. "Perempuan adalah bentuk pengurangan lelaki, karena ia tak memiliki semen. . . dan lelaki tak bisa bereproduksi justru karena ia makhluk transenden itu justru kemuliaan lelaki. Perempuan, kalau muda ia pencinta, kalau sudah tua pengaku dosa." Lelaki iseng akan segera menambahkan: kalau gagal jadi dua-duanya, perempuan akan memeluk femininisme. Dan kata Benedetto Croce: "Femininisme adalah gerakan yang menempelak kaum perempuan sendiri, justru dengan nama yang dipilihnya. Ini gagasan khas perempuan yang muncul dalam bentuknya yang terburuk. Lelaki juga punya masalah, tapi tak pernah merasa perlu membilangnya maskulinisme." Selama berabad-abad perempuan berhadapan dengan lelaki, inferioritas berhadapan dengan superioritas. Sudah menjadi hukum alam pula yang kuat akan menindas yang lemah, dan terus akan berusaha mempertahankan kedudukannya dengan segala cara. Perempuan dikawml, dlcerai, dijadikan perhiasan sangkar madu, dlmmta meladeni lelaki, dibayar lebih rendah, diwarisi separuh lelaki, dijadikan "kawan di belakang", dianggap tak pantas menduduki jabatan-jabatan tertentu.... Tak heran bila Suster Mary sewot. Kesadaran telah menimbulkan kemarahan. Dan kemarahan, pemberontakan. Perang? Ya-dimulai dari sektor Barat, nanti dengan sendirinya akan merembet ke seantero bumi. Stop! - seru seorang pengunjung seminar profesional, kebetulan lelaki. "Ini lubang jebakan. Pakai nalar kalian! Femininisme adalah kontra propaganda dari kaum establishment di Barat. Seantero dunia sudah semakin sadar tentang kenyataan penindasan yang kian kejam oleh dunia Utara terhadap dunia Selatan. Bukan penindasan atas dasar jenis kelamin, tapi penindasan kemanusiaan yang sifatnya total, jasmani dan rohani." "Hal lain, kalian jangan lupa, femininisme di Barat muncul berbarengan dengan gaya hidup yang tak punya aturan lagi. Semua orang, lelaki dan perempuan, hidup hanya untuk mengejar kenikmatan setinggi-tingginya, sebanyak-banyaknya. Femininisme di Barat telah terkomplikasi dengan masyarakat yang tanpa norma dalam keluarga. Ibu dan bapak bersaingan dalam mengejar kenikmatan, pergi dengan asal perempuan dan asal lelaki. Anak-anak yang mereka tinggalkan menangis keleleran, dan mereka sendiri kesepian dan kena depresi. Dosa telah memperanakkan dosa." Akan halnya kaum perempuan di negeri kita, sejak kecil kita telah diajar menyanyi "Ibu kita Kartini, putri sejati". Kenapa perempuan satu ini harum namanya? Karena anak priayi, pintar berbahasa Belanda, dan lancar menulis? Atau justru hidupnya yang tragis? Ia menyerah pada adat yang ditentangnya, adat yang langsung atau tak langsung menguntungkan lelaki. Kartini baru 23 tahun ketika mati. Bagi Kartini cukup jelas: proses pendidikan akan mendewasakan semua orang, lelaki dan perempuan. Dewasa berarti berada dalam keadaan serba terang untuk menjatuhkan pilihan. Sebuah optimisme di permulaan abad ini. Persoalan memang bukan memerangi lelaki, tetapi kejahatan. Namun, apabila kebanyakan perempuan, kini atau nanti, memutuskan tidak akan jadi ibu lagi, dan lelaki tidak mau jadi bapak lagi (karena anak-anak bisa dibuat di dalam pabrik), dan lembaga perkawinan ditinggalkan, persoalannya jadi amat lain. Tinggal sedikit lagi, genap satu abad. Di ujung abad ini, tahukah orang apa yang telah terjadi? * Th. Sumartana adalah sarjana Sekolah Tinggi Theologia Jakarta dan bekas anggota Dewan Gereja-Gereja di Indonesia, kini menempuh program doktornya di Negeri Belanda.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini