Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
WARIMAH, 40 tahun, sedang asyik bekerja di ladangnya siang itu. Tiba-tiba ia merasa ada sesuatu yang merayap di tubuhnya. Tapi peladang di petak 25 areal Kesatuan Resor Pemangkuan Hutan Bajulan, Nganjuk, Jawa Timur, itu cuek saja. Bahkan, ketika dirasakan ada gigitan kecil?seperti digigit semut?di punggungnya, ia tetap meneruskan pekerjaannya. Tapi, setengah jam kemudian, badannya terasa lemas dan kepalanya pusing. Ia pun limbung dan? bruk, tubuhnya menghantam bumi. Warimah tak sadarkan diri.
Petak 25 pun geger. Rekan sesama peladang mendatangi tubuh Warimah. Mereka mencoba mencari tahu penyebab kejadian aneh yang menimpa wanita itu. Mereka menemukan lebam membiru di punggung Warimah seukuran genggaman tangan orang dewasa. Para petani tadi segera membawa Warimah ke puskesmas setempat. Tapi, karena puskesmas tersebut tak mampu memberikan perawatan, wanita itu kemudian dibawa ke rumah sakit kabupaten. Setelah dirawat sepekan, ia pun sembuh.
Usut punya usut, Warimah ambruk karena gigitan laba-laba hitam yang menempel di tubuhnya. Dan ia tidak sendirian. Korban terus berjatuhan, apalagi setelah kawasan peredaran laba-laba itu meluas tak hanya di petak 25?tapi sampai ke permukiman. Tercatat, hingga akhir Februari lalu, 40 orang menjadi korban.
"Laba-laba yang menggigit adalah jenis black widow spider (Latrodectus mactans, laba-laba janda hitam)," ujar Kasan Sidarta dari Dinas Kesehatan Kabupaten Nganjuk. Penegasan itu merujuk hasil uji Laboratorium Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya. Korban yang terkena gigitan menjadi limbung dan pingsan karena racun laba-laba yang masuk lewat gigitan itu merasuki susunan saraf korban.
Sebenarnya, kehadiran laba-laba di areal yang berada di kawasan lereng Gunung Wilis itu sudah lama diketahui. Cuma, para penggarap tidak terlalu memperhatikan karena jumlahnya sedikit dan dianggap tak berbahaya. Nah, cerita jadi lain ketika Warimah dan kawan-kawan jatuh bergelimpangan. Sejauh pengamatan TEMPO, saat ini jumlah laba-laba berwarna hitam dengan guratan garis merah dari perut hingga tengkuk itu memang sangat banyak. Mereka berlindung di sela-sela bongkahan tanah, tumpukan kayu, atau di bonggol-bonggol kayu dari hutan pinus yang tersisa. "Besar kemungkinan laba-laba ini `menyerang' manusia karena habitat awalnya rusak," ujar Gunawan, petugas pengamat hama tanaman Dinas Pertanian Provinsi Jawa Timur.
Dugaan itu cukup beralasan. Sebab, sebelum dibuka dan dijadikan lahan garapan, petak 25 dan sekitarnya?luasnya puluhan hektare?merupakan hutan pinus. Di sinilah laba-laba itu hidup, mencari makan, dan berkembang biak. Sebagai predator, mereka memakan belalang, lalat, ulat, semut, dan jangkrik. Ketika hutan ditebas, ya, mereka kehilangan wilayah kekuasaan yang selama ini bisa mencukupi keperluan hidupnya. Areal pun berganti menjadi ladang yang gundul. Mau tak mau, laba-laba beracun itu mesti hidup di situ. Repotnya, selain kehilangan habitat, komunitas ini sering terganggu dengan derak suara cangkul penggarap. Bahkan cangkul-cangkul itu pula yang merusak tempat laba-laba berlindung. Jika itu terjadi, kawanan laba-laba itu menyebar dan ada yang menempel ke tubuh petani.
"Kalau tak mengusik, sebenarnya kita aman-aman saja!" ujar Ahmad Ridwan, ahli laba-laba dari Jurusan Biologi Institut Teknologi Bandung. Bahkan di sejumlah negara, seperti Filipina, Thailand, dan Israel, binatang ini dipelihara dan dimanfaatkan sebagai predator alami bagi berbagai macam serangga. Menurut Ahmad Ridwan, keefektifan kerja mereka untuk menekan populasi serangga pengganggu bisa mencapai 30 persen.
Cuma, mengenai ciri fisik laba-laba yang ditemukan di Nganjuk, peraih gelar doktor di bidang biologi tentang perilaku Arachnida (laba-laba dan sejenisnya) dari Prancis ini tak yakin bahwa itu Latrodectus mactans. Sebab, ciri khas jenis ini bukan guratan garis merah, melainkan tanda merah yang menyerupai bentuk "jam pasir" di bagian perut.
Terlepas dari jenisnya, penanganan terhadap laba-laba beracun itu mestilah tepat. Pihak Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Perkebunan Kabupaten Nganjuk tidak setuju dengan saran dari Universitas Airlangga agar dilakukan penyemprotan insektisida pada habitat laba-laba. Mereka takut, bila laba-laba sampai musnah, petani akan rugi kehilangan predator hama tanaman seperti belalang, wereng, jangkrik, dan ulat. "Yang penting, kita memperbaiki ekosistem agar laba-laba itu tidak lagi agresif. Ingat, sewaktu hutan masih bagus, laba-laba itu tak pernah membuat masalah," ujar Suyoto, koordinator pengamat hama dan penyakit Dinas Pertanian Kabupaten Nganjuk. Jadi, kuncinya, jangan saling ganggu.
Dwi Wiyana, Dwidjo U. Maksum (Nganjuk)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo