Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mohamad Ikhsan
Ekonom dari UI
HASIL polling dari pelbagai surat kabar atau lembaga penelitian serta indeks kepercayaan masyarakat menunjukkan bahwa tim ekonomi belum mampu mempercepat proses pemulihan ekonomi. Memang, kita tidak sepenuhnya bisa menyalahkan mereka. Pelbagai guncangan yang datang dari luar?seperti serangan 11 September 2001 dan tudingan AS bahwa Indonesia tidak serius memberantas terorisme?membuat peran faktor permintaan eksternal, yang selama dua tahun terakhir telah mendorong pertumbuhan ekonomi, menjadi berkurang. Di dalam negeri, pelbagai masalah dan bom waktu yang ditinggalkan oleh pemerintahan Habibie dan Gus Dur menyebabkan pekerjaan rumah yang harus dibereskan tim ekonomi kian menumpuk.
Tetapi, harus disadari pula, fungsi koordinasi dalam kabinet ini tidak berjalan dengan baik. Menteri Koordinator Perekonomian belum juga mampu menyesuaikan gayanya agar sesuai dengan kebutuhan atau ekspektasi masyarakat terhadap perannya. Tambahan lagi, perdebatan di antara menteri secara terbuka?tanpa dilerai oleh Presiden?menyebabkan banyak sekali waktu yang tersita untuk saling silang dan menyalahkan satu sama lain secara terbuka dan akhirnya menyebabkan keterlambatan dalam mengambil keputusan untuk menyelesaikan persoalan.
Dilihat dari perspektif ini, inisiatif yang diprakarsai oleh Wakil Presiden Hamzah Haz sebetulnya suatu hal yang melegakan karena Menko Perekonomian makin disibukkan dengan pelbagai penugasan tambahan yang diberikan oleh Presiden. Saat ini, tidak kurang dari sepuluh tim ad hoc diketuai oleh Menko Perekonomian.
Apakah inisiatif Hamzah Haz ini akan menyelesaikan persoalan-persoalan yang menumpuk, atau menambah persoalan baru? Presentasi awal yang dilakukan oleh tim penyusun paket ekonomi dan Wakil Presiden Hamzah Haz sendiri di hadapan beberapa ekonom?termasuk saya?minggu lalu mengisyaratkan kedua kemungkinan di atas sangat mungkin terjadi.
Mari kita lihat dari sisi positif dulu. Kesepakatan dalam kabinet terhadap paket ekonomi akan menyelesaikan konflik-konflik dalam kabinet yang belum mampu diselesaikan oleh Menko Perekonomian. Misalnya, perbedaan pendapat antara Menteri Kehutanan dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral tentang konversi hutan lindung, atau perdebatan antara Menteri Perindustrian dan Perdagangan dan Menteri Keuangan, atau Menteri/Ketua Bappenas dan Menteri BUMN, tentang pelbagai kebijakan. Kita juga berharap masalah yang menyangkut penyelesaian restrukturisasi utang konglomerat dan UKM (dan sekaligus utang dalam negeri) dapat segera disepakati dan tidak melebar ke hal-hal yang tidak perlu. Kesepakatan ini akan memberikan kepastian dan arah bagi pelaku ekonomi sehingga mereka (khususnya produsen) dapat menghitung dengan pasti berapa ongkos berbisnis di Indonesia. Kita juga berharap kebijakan ekonomi ini akan memperkuat kerja sama dengan DPR sehingga upaya mempercepat proses penciptaan aturan main (undang-undang), yang masih tersendat prosesnya di DPR, dapat dipercepat.
Namun, di sisi lain, draf kebijakan ekonomi ini mengandung potensi masalah baru. Pertama, jika kebijakan bersifat ad hoc ini tidak sesuai dengan GBHN atau Propenas, Presiden Megawati dapat terancam tidak bisa diberhentikan sebelum waktunya (seperti Presiden Abdurrahman Wahid). Cara penyelesaian ad hoc ini tidak sehat dan justru menyebabkan meningkatnya kembali ketidakpastian dan menurunkan kredibilitas pemerintah.
Potensi konflik kedua adalah ketidaksesuaian dengan LoI-IMF. Jika hubungan dengan IMF memburuk, negara-negara donor akan berpaling. Walaupun negara-negara itu tidak akan sepenuhnya meninggalkan Indonesia, pelbagai kebijakan yang memerlukan dukungan IMF atau negara-negara donor akan terganggu, seperti Paris Club. Jika Paris Club gagal, tekanan terhadap nilai tukar (dan inflasi) akan menguat. Peringkat Indonesia yang telah diturunkan sebelumnya tidak akan direvisi dan akan menyebabkan country risk Indonesia meningkat serta hilangnya harapan penurunan suku bunga. Hal ini pada gilirannya menyebabkan investasi tidak terjadi dan pemulihan ekonomi makin jauh dari kenyataan.
Potensi masalah ketiga muncul karena sebagian masalah yang akan dicoba diselesaikan dalam paket kebijakan ini mungkin mujarab dalam jangka pendek, tetapi mempunyai potensi kegagalan yang besar dalam jangka panjang. Ambil contoh gagasan Wakil Presiden menunda proses privatisasi BUMN dengan didasari kepercayaan tentang kemungkinan value creation atau profitisasi BUMN. Hal ini bertentangan dengan argumen beliau, yang menyatakan bahwa selama ini BUMN hanya mampu menyetor Rp 4 triliun dari Rp 1.600 triliun (book value) aset. Gagasan ini tampak sumir karena, pertama, restrukturisasi suatu perusahaan (termasuk BUMN) memerlukan injeksi modal. Pertanyaannya, mampukah pemerintah menyediakan tambahan dana untuk restrukturisasi BUMN. Kedua, melihat realitas pengelolaan BUMN yang buruk selama ini, tindakan menunda privatisasi berarti memindahkan semua risiko ke tangan pemerintah (APBN) dan menurunkan potensi penciptaan permanent tax base karena setiap Rp 100 peningkatan keuntungan perusahaan BUMN yang diprivatisasi akan berarti tambahan Rp 30 pajak yang akan masuk ke APBN.
Lalu, apa yang harus dilakukan pemerintah? Pertama, semua gagasan paket ekonomi sebaiknya diinstitusionalisasi dalam rencana pembangunan tahunan (rapeta) yang disusun oleh Bappenas, dan konsisten dengan Propenas. Kedua, Tim Asistensi Ekonomi Pemerintah (Wapres) sebaiknya berkonsentrasi pada dua hal, yaitu menentukan prioritas, dan menyelesaikan pelbagai masalah yang menumpuk serta mempercepat implementasi kebijakan tanpa harus menyusun kebijakan baru.
Ambil contoh kasus PKPS. Tim ini sebaiknya memprakarsai upaya memaksa non-cooperative obligor agar memenuhi kewajiban segera dengan penyelesaian secara hukum, tanpa memperpanjang tenurnya. Kalau perlu, bentuklah Mahmilub seperti yang dilakukan mantan presiden Soeharto saat mengadili PKI dulu. Kita tinggal mencari "Ali Said" atau Ken Starr (dalam kasus Presiden Clinton). Dan untuk itu, kandidat terkuat adalah Menteri Kwik Kian Gie.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo