Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

lingkungan

Mengapa KLHK Cenderung Galak Kepada Perusahaan Restorasi Ekosistem

Izin restorasi ekosistem dicabut, ditahan, dan ditunda penerbitannya oleh KLHK. Berlangsung saat perdagangan karbon bergulir.

23 Juni 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUDAH 25 tahun Edi Rahman bergelut di dunia penyelamatan orang utan kalimantan (Pongo pygmaeus) di Kalimantan Barat, khususnya di Kabupaten Ketapang dan Kayong Utara. Dalam kurun waktu tersebut, Direktur Lapangan Yayasan Palung ini merasakan betul degradasi habitat orang utan akibat masifnya penggundulan hutan. “Hampir semua hutan sudah berubah menjadi tambang dan perkebunan sawit,” kata Edi pada Kamis, 20 Juni 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Yayasan Palung merupakan organisasi lingkungan hidup yang berkantor di Delta Pawan, Ketapang, yang berdiri sejak 1999. Pendirian yayasan ini dipelopori Mark Leighton, peneliti Harvard University, Amerika Serikat, pada 1985. Gerakannya dimulai dari riset orang utan di Taman Nasional Gunung Palung dengan cakupan area mencapai 2.100 hektare. Penelitian mereka kemudian meluas ke hutan alam di luar kawasan konservasi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Salah satu area pemantauan Edi adalah lanskap Desa Sungai Putri, Kecamatan Matan Hilir Utara, dan Desa Pematang Gadung, Kecamatan Matan Hilir Selatan, Ketapang. Area itu merupakan satu-satunya hutan alam gambut tersisa yang paling banyak dihuni orang utan. “Wilayah itu merupakan area konsesi bekas hak pengusahaan hutan (HPH) yang telah menjadi area konservasi dan pelepasliaran orang utan.”

Perusahaan pemegang HPH yang dimaksud Edi adalah PT Mohairson Pawan Khatulistiwa. Lokasinya tepat di area kubah gambut dengan kedalaman mencapai belasan hingga puluhan meter dengan luas 48.440 hektare. Pada 2017, perusahaan tersebut membangun kanal sepanjang 8,1 kilometer membelah hutan. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menjatuhkan sanksi berupa penghentian semua kegiatan operasional perusahaan.

Korporasi lantas diwajibkan memindahkan orang utan ke tempat lain bila ingin terus beroperasi. Mereka menggandeng Yayasan Inisiasi Alam Rehabilitasi (IAR) Indonesia untuk menghitung orang utan. Ternyata jumlah orang utan di lanskap Gunung Putri mencapai sekitar 1.000 ekor. Biaya pemindahannya jauh lebih mahal ketimbang harga konsesi perusahaan. “Konsesi itu lalu dibeli IAR Indonesia dan dikelola sebagai habitat orang utan,” tutur Edi.

Lokasi tersebut merupakan satu-satunya hamparan hutan alam yang tersisa di Kabupaten Ketapang. Tak mengherankan wilayah itu memiliki populasi orang utan terbanyak dibanding tempat lain dengan jumlah 2,14-3,17 individu per kilometer persegi. Adapun wilayah sekelilingnya telah menjelma menjadi lubang-lubang tambang yang menganga dan hamparan perkebunan sawit.

Seekor orangutan (Pongo pygmaeus) di kawasan Taman Nasional Betung Kerihun, Kalimantan Barat, Januari 2024. https://ksdae.menlhk.go.id/

Kini area konservasi orang utan itu terancam ketika KLHK sekonyong-konyong berdalih melakukan evaluasi. Sumber Tempo yang mengetahui sejarah area konsesi itu menjelaskan, PT Mohairson Pawan semula mengajukan permintaan peralihan izin dari HPH menjadi perizinan berusaha pemanfaatan hutan (PBPH) multiusaha. “Izin perusahaan itu tiba-tiba di-hold saat hendak mengubah rencana kerja usaha,” ucapnya pada Kamis, 13 Juni 2024.

Perusahaan makin cemas setelah mendapat surat peringatan dari KLHK. Surat itu berupa memo dengan tulisan tangan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar. Memo tersebut memerintahkan PT Mohairson Pawan Khatulistiwa diawasi.

PT Mohairson Pawan satu-satunya perusahaan yang bergerak dalam upaya restorasi ekosistem yang memegang izin penebangan dengan mekanisme tebang pilih kayu. Mereka tidak menebangi pohon agar habitat orang utan terselamatkan. Sebaliknya, mereka menanam pohon, memulihkan area terbuka, mencegah perambahan, dan menjaga gambut dari potensi kebakaran. KLHK disebut tak senang terhadap cara bisnis ini karena tidak menghasilkan penerimaan negara bukan pajak.

Tempo berupaya meminta penjelasan dari IAR Indonesia selaku pengendali PT Mohairson Pawan. Pendiri IAR Indonesia, Karmele Llano Sánchez, tidak merespons ketika dimintai konfirmasi ihwal izin yang ditahan KLHK. Sánchez selalu mewanti-wanti pentingnya menjaga habitat orang utan. “Jangan sampai kita kehilangan seluruh populasi orang utan yang jumlahnya lebih dari 1.000 ekor,” katanya seperti dikutip dari situs web IAR Indonesia.

Selain izin PT Mohairson Pawan Khatulistiwa, terdapat 16 izin untuk restorasi ekosistem yang tersebar di Sumatera dan Kalimantan. Di antaranya PT Gemilang Cipta Nusantara Pelalawan seluas 20.123 hektare, PT SIPEF Biodiversity Indonesia seluas 12.655 hektare, dan PT Sinar Mutiara Nusantara seluas 32.781 hektare. Kemudian PT Global Alam Nusantara seluas 36.850 hektare, PT Karawang Ekawana Nugraha seluas 8.300 hektare, dan PT Restorasi Habitat Orangutan Indonesia seluas 86.593 hektare.

Selain itu, ada empat pemegang konsesi restorasi yang melakukan penyerapan dan perdagangan karbon. Mereka adalah PT Ekosistem Khatulistiwa Lestari seluas 14.080 hektare di Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat; PT Rimba Makmur Utama di Kabupaten Katingan dan Mentaya, Kalimantan Tengah, seluas 157.875 hektare; PT Rimba Raya Conservation seluas 36.935 hektare di Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah; dan PT Global Alam Lestari seluas 22.280 hektare di Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan.

Belakangan, izin PT Rimba Raya Conservation dan PT Global Alam Lestari dicabut karena mereka dituding melanggar aturan. Adapun PT Rimba Makmur Utama dijatuhi sanksi pembekuan aktivitas perdagangan karbon sejak 2021. Beberapa sumber menyebutkan KLHK juga sedang menyiapkan sanksi untuk semua pemegang restorasi ekosistem. “Biasanya diawali dari penerbitan surat peringatan, lalu rencana kerja tahunan ditahan dengan alasan evaluasi,” ujar sumber yang memegang izin restorasi ekosistem di Kalimantan Timur.

Musim pemberian sanksi ini mulai muncul ketika pemerintah memiliki target capaian Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional (NDC). Dengan demikian, semua pemegang PBPH dipaksa masuk Sistem Registri Nasional dan melakukan aksi mitigasi. Pemegang izin restorasi ekosistem—semula berfokus memulihkan kawasan hutan—antar lain diwajibkan ikut melakukan perdagangan karbon. Pertimbangannya adalah bisnis restorasi hanya menghasilkan sedikit royalti untuk negara.

Sebagai gambaran, semua bisnis kehutanan wajib membayarkan penerimaan negara bukan pajak penggunaan kawasan hutan (PNBP-PKH). Selama ini izin restorasi ekosistem hanya dikenai tarif Rp 1.900 per hektare per tahun di wilayah Sumatera, Sulawesi, dan Papua. Adapun tarif Rp 1.500 di Pulau Nusa Tenggara. Tarif di Kalimantan dan Kepulauan Maluku lebih mahal, yakni Rp 2.500 per hektare per tahun. Hal itu diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2014 tentang Jenis dan Tarif PNBP yang Berlaku pada Kementerian Kehutanan.

Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Iqbal Damanik, menganggap wajar bisnis restorasi memiliki sumbangan PNBP yang kecil. Sebab, kerja-kerja menjaga hutan justru membantu kewajiban negara dalam melindungi keanekaragaman hayati. “Ini berbeda dengan bisnis kehutanan lain seperti hutan tanaman industri yang dikenai 6 persen per meter kubik karena mengakibatkan deforestasi terencana atau merusak ekosistem,” katanya.

Iqbal menganggap janggal bila pemerintah tiba-tiba mendesak pelaku usaha restorasi ekosistem berbisnis karbon. Iqbal menilai Menteri Siti Nurbaya Bakar telah menggeser upaya restorasi ekosistem dari mengembalikan unsur hayati flora dan fauna menjadi jalan untuk memperdagangkan hutan.

Tekanan KLHK juga bertambah dengan munculnya dokumen laporan hasil pemeriksaan terhadap PT Global Alam yang dinilai kurang bayar PNBP. Perusahaan itu berpotensi didenda Rp 3,1 miliar untuk periode 2020-2023. Adapun PT Rimba Makmur Utama berpotensi didenda Rp 54,7 miliar dan PT Rimba Raya Conservation Rp 2,98 miliar.

Denda tersebut belum termasuk potensi kurang bayar atas provisi sumber daya hutan dan dana reboisasi (PSDH-DR) yang ditaksir senilai Rp 189,1 miliar untuk dua pemegang izin dalam kurun 2013-2023. Selain itu, didapati adanya 3.119 perusahaan yang menunggak pembayaran PSDH-DR selama 2016-2022. Mereka bakal dikenai sanksi jika tidak membayar tunggakan itu.

Sumber lain yang memegang izin restorasi di Sumatera menceritakan hal yang sama. Rencana kerja mereka tak disetujui dengan alasan ditemukan kebakaran hutan dan lahan di area kerja restorasi. “Kami juga dipersoalkan karena restorasi belum menghasilkan uang dan berkontribusi kepada negara, misalnya untuk pembayaran PNBP,” tutur sumber tersebut.

Dia menerangkan, wajar restorasi tak menghasilkan uang. Sebab, tujuan utamanya justru menghasilkan hal yang tak ternilai, yakni menjaga habitat satwa dilindungi dan menekan laju deforestasi dengan mencegah terjadinya perambahan hutan. Meski begitu, perusahaan juga sedang berupaya mendapat nilai tambah dengan membangun bisnis berkelanjutan. Misalnya perdagangan karbon, kredit karbon, atau carbon biodiversity

•••

IZIN restorasi ekosistem pertama kali muncul pada 2004. Mekanisme baru ini bertujuan menyelamatkan habitat satwa dilindungi yang kian terancam dengan membangun hutan harapan. Hutan harapan adalah upaya menjamin hutan alam tetap terjaga, sekaligus memulihkan wilayah kritis. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menerbitkan izin restorasi ekosistem untuk 16 korporasi. Sebagian besar korporasi terafiliasi dengan organisasi lingkungan hidup.

Sejarah penyelamatan hutan dimulai dari Sumatera ketika pulau tersebut menghadapi deforestasi yang mencapai puluhan juta hektare dalam kurun satu abad ini. Pada 1950, luas hutan alam di Sumatera mencapai 37,4 juta hektare dari total luas dataran yang mencapai 47,3 juta hektare. Hanya dalam waktu 35 tahun (1985), luas hutan alam menyusut menjadi 23,3 juta hektare. Degradasi makin masif pada era Reformasi hingga luasnya menjadi 15,5 juta hektare pada 2000.

Penyusutan hutan alam makin ugal-ugalan hingga hanya menyisakan 12,9 juta hektare. Pembabatan hutan ini menjadi titik balik munculnya gerakan sosial penyelamatan hutan. Organisasi Burung Indonesia membangun konsorsium bersama Birdlife International dan The Royal Society for the Protection of Birds. Mereka mengusulkan lahirnya hutan harapan, yakni restorasi ekosistem di kawasan hutan produksi yang telah rusak.

Pada 2005, konsorsium ini mendapatkan izin restorasi ekosistem pertama di Indonesia. KLHK menerbitkan konsesi seluas 101.355 hektare yang membentang di antara Jambi dan Sumatera Selatan. Izin tersebut diserahkan kepada PT Restorasi Ekosistem Indonesia yang dibagi dalam dua konsesi, yang menjadi cikal-bakal konsep hutan harapan. Hutan ini dihuni 307 jenis burung, 64 jenis mamalia, 123 jenis ikan, 55 jenis amfibi, 71 jenis reptil, dan 728 jenis flora.

Foto udara kawasan Taman Nasional Ujung Kulon, tempat habitat badak jawa, di Banten, 13 Agustus 2022. Antara/Rizal Syamsul

Ketua Yayasan Auriga Nusantara Timer Manurung bercerita, mulanya organisasi kemasyarakatan sipil hanya menyasar konservasi di kawasan taman nasional atau cagar alam. Misalnya World Wildlife Fund for Nature (WWF) menyelamatkan habitat badak jawa di Taman Nasional Ujung Kulon, Banten. “Ternyata di luar kawasan taman nasional juga banyak habitat satwa yang perlu diselamatkan,” ucap Timer.

Masalah muncul lantaran desakan untuk menambah dan memperluas taman nasional atau cagar alam tak digubris pemerintah. Terutama ketika alih fungsi kawasan hutan untuk perkebunan sawit, tambang, dan bisnis kehutanan makin menggila. Satu-satunya cara yang dapat dilakukan adalah membangun tempat konservasi melalui terminologi izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu untuk restorasi ekosistem, yang kini berganti menjadi perizinan berusaha pemanfaatan hutan.

Pada 2015, WWF melalui PT Alam Bukit Tigapuluh mendapatkan izin restorasi ekosistem sekitar 100 ribu hektare. Lokasinya berada di Jambi dan menjadi zona penyangga Taman Nasional Bukit Tigapuluh, Riau. Tujuannya adalah melindungi habitat gajah, harimau, dan orang utan. Namun izin mereka sempat disegel oleh Menteri Siti Nurbaya Bakar pada 2019 lantaran adanya kebakaran hutan yang berulang di dalam area konsesi.

Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Lestari KLHK Dida Migfar Ridha belum menjawab ihwal adanya tekanan dari kementeriannya terhadap para pemegang izin restorasi ekosistem ketika perdagangan karbon akan digulirkan. Terutama ketika izin-izin pemegang konsesi restorasi ekosistem mulai dicabut, ditahan, atau ditunda penerbitannya. Dida tidak membalas pesan WhatsApp yang dikirim dan hanya terlihat online.

Menteri Siti sebelumnya menegaskan bahwa tata kelola perdagangan karbon bertujuan menjaga kedaulatan negara. Selain itu, aturan yang tegas diperlukan untuk menghindari adanya greenwashing serta “karbon hantu”. “Tidak boleh ada penyimpangan dari original intention tentang pengaturan nilai ekonomi karbon atas upaya bersama dalam kerja-kerja penurunan emisi karbon Indonesia,” tulis Siti dalam keterangannya pada 6 Mei 2024.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Irsyan Hasyim dan Alif Ilhan Fajriadi berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Komersialisasi Paksa Pemulihan Hutan"

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus