Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Di Pentas Para Maestro Jawa Timur dan Sumbawa: Penonton Ikut Menari

Para seniman sepuh topeng Malangan, reog Ponorogo, gandrung Banyuwangi, dan silat Sumbawa tampil di Panggung Maestro 2024.

23 Juni 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

IA mengenakan topeng Gunung Sari. Di balik topeng putih dengan hidung mancung ke bawah dan bibir tipis itu, tak tampak usia sepuhnya. Gerakannya masih menyedot tatapan mata. Lembut tapi tegas seperti gerak tari anak muda. Ketika topeng dicopot—dan dia diperkenalkan kepada penonton—barulah kita tahu penarinya seorang uzur. Itulah Pak Mukayin, penari Gunung Sari, topeng Malangan. Umurnya sudah 84 tahun.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Karakter Gunung Sari sudah menjadi bagian dari hidup Mukayin sehari-hari. Dalam topeng Malangan, Gunung Sari adalah sahabat Panji Asmorobangun. Karakternya halus dan agak feminin. Ia tokoh kesatria putra, tapi gerakan tarinya lembut seperti wanita. Gerakannya mengikuti gerak burung merak. Ia berkelana didampingi abdinya, Patrajaya, memancarkan pesona bagi siapa pun. Meski hanya singkat menari, Mukayin mampu memperlihatkan kepada kita bagaimana karakter Gunung Sari yang tak kasar. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Malam itu, di Teater Wahyu Sihombing, Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat, sebagai bagian dari acara Panggung Maestro 2024 yang digelar pada 13-14 Juni 2024, para seniman tari topeng Malangan membawa rombongan penari senior gabungan dari berbagai sanggar di Kabupaten Malang, Jawa Timur. Mereka membawa cuplikan tari pembuka PatihKelana, Gunung Sari, sampai Grebeg Sabrang. Mukayin berasal dari Sanggar Madyo Utomo, Desa Pijiombo. Grup Malang itu juga membawa penari yang lebih sepuh, yaitu Mbah Sumber, tokoh tari Desa Senggreng, Kecamatan Sumberpucung. Umurnya 94 tahun. Meski mata kanannya sudah buta, ia mampu menampilkan cuplikan tari Patih dengan topeng Malangan. 

Seniman menampilkan kesenian Reog Ponorogo dalam pagelaran Panggung Maestro 2024 di Teater Wahyu Sihombing, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 13 Juni 2024. Antara/M Risyal Hidayat

Ada pula Mbah Dasiyo, tokoh Sanggar Syailendra dari Desa Kranggan. Tahun lalu, ia memimpin para penari dari desanya menari di depan Prasasti Kranggan yang berada di kawasan hutan keramat kaki Gunung Kawi. Prasasti Kranggan yang bertarikh 1178 Saka (1256 M) dikeluarkan pada era Wisnuwardhana. Saat itu Sanggar Syailendra membawakan kisah tentang bagaimana Wisnuwardhana di zaman Kerajaan Singosari memberikan status tanah sima kepada Desa Kranggan.

“Gaya topeng Malangan terbagi menjadi Wetanan dan Kidulan. Karakter gerak Kelana gaya Wetanan, misalnya, gagah berwibawa, sementara Kidulan gagah berangasan,” kata Suroso, Ketua Dewan Kesenian Kabupaten Malang, yang menjadi pemimpin rombongan. Dalam diskusi sehari sesudah pementasan, ia menjelaskan keberagaman topeng Malangan dan gending-gendingnya. 

Panggung Maestro 2024 kali ini menampilkan seniman Jawa Timur dan Bima, Nusa Tenggara Barat. Panggung ini adalah acara kelima yang diadakan Bumi Purnati Indonesia dengan kerja sama Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Panggung Maestro pertama kali diadakan pada Juli 2023. Dalam tiap acara ditampilkan serangkaian penari sepuh dari berbagai daerah. Pertunjukan ini mirip etalase. Yang ditampilkan bukan sajian cerita utuh, melainkan cuplikan pertunjukan pendek-pendek silih berganti penari tradisi berbagai daerah. Sajiannya lebih mirip serangkaian parade. Pertunjukan tradisi asli bisa berlangsung berjam-jam. Wayang topeng Malangan, misalnya, bisa digelar semalam suntuk. 

M. Saleh (79 tahun) menunjukan mpa’a sila sebuah seni bela diri tradisi Bima, dalam gelaran Panggung Maestro 2024, di TIM, Jakarta, 13 Juni 2024. Panggung Maestro/Yayasan Bali Purnati

Adapun konsep kemasan Panggung Maestro adalah penari sepuh tampil dengan iringan gending masing-masing, bergantian tampil singkat. Format penampilan pendek-pendek mengalir ini ternyata tidak membosankan. Penonton urban yang tentu tak biasa menonton pertunjukan tradisi berjam-jam tampak menikmati acara highlight tradisi ini.  

Dari Sumbawa, yang menarik, malam itu tampil M. Saleh, “pendekar” sepuh mpa’a sila—seni bela diri tradisi Bima yang ada semenjak Kesultanan Bima berdiri pada abad ke-17. Diiringi dua gendang mbojo dan sarone—serunai Bima—Saleh, yang berumur 79 tahun, mendemonstrasikan jurus-jurus dari tangan kosong hingga menggunakan pedang. Kita melihat gerakan silat ini bagaikan tari. 

Dalam Panggung Maestro pada Mei 2024, kita bisa menyaksikan peragaan silat ulua ambek dari Minang. Silat ulua ambek adalah perkelahian tanpa sentuhan fisik. Kita menyaksikan pertarungan tanpa pukul-memukul, tapi konon mematikan. Gerakannya mirip adegan tari. Tak mengherankan ulua ambek pernah menjadi inspirasi bagi koreografer kontemporer Minang, (almarhum) Gusmiati Suid dan kelompoknya, Gumarang Sakti. 

Menyaksikan mpa’a sila, kita makin yakin bahwa memang khazanah bela diri Nusantara beririsan dengan tari. Mohamad Yamin, pengamat dari Sumbawa, dalam sesi diskusi mengatakan silat ini dulu merupakan kesenian rakyat yang dipersembahkan kepada Sultan Bima. Permainan ini tidak mengenal kalah-menang. 

Kerajaan Hindu-Buddha di Bima muncul pada abad ke-11. Pada abad ke-16, Demak menyebarkan Islam di Bima yang lantas menjadi kesultanan setelah rajanya yang bernama La Kai memeluk Islam. Kesultanan Bima muncul sekitar 1621. Dari situ, mengemuka tarian istana dan di luar pagar istana Bima. Sejak pemerintahan Sultan Bima kedua, Sultan Abdul Khair Sirajuddin, pada 1600-an, kesenian Bima mapan. 

Temu membawakan tarian Gandrung Banyuwangi dalam pagelaran Panggung Maestro 2024 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 13 Juni 2024. Antara/M Risyal Hidayat

Malam itu ditampilkan pula musik hiburan rakyat gambo sagele yang juga diperkirakan eksis sejak zaman kesultanan. Musik ini dimainkan dengan instrumen gitar gambus dan biola. Musik ini sering dimainkan untuk mengiringi orang bercocok tanam dan acara perkawinan. 

M. Yakub bin Usman, 77 tahun, memetik gambus dengan irama cepat diiringi gesekan biola di Teater Wahyu Sihombing. Ini menarik. Instrumen Barat, seperti biola, sudah lama masuk kesenian di Sumbawa. Akan halnya tarian klasik istana Bima yang dihidangkan malam itu, ada tari putri Lenggo Siwe yang ditarikan Siti Linda Yuniarti, 65 tahun, bersama para remaja. 

Dari Banyuwangi, Jawa Timur, datang penari gandrung kesohor, Mak Temu Mesti atau Ibu Temu, 71 tahun. Perempuan dari Desa Kemiren ini terkenal dengan kemampuannya menembang. Tatkala ia muncul dengan hiasan kepala keemasan Banyuwangi dan menembang dengan cengkok khas Using, perhatian di panggung langsung tersedot ke arahnya. Diiringi instrumen musik khas Using, seperti kendang, biola, kluncing, gong, dan ketuk, ia menari solo dengan menyanyikan beberapa lagu.

Di masa mudanya, Mak Temu bisa semalam suntuk menari di desa sejak pukul 9 malam sampai subuh. Dalam lantunannya, ia juga terkenal mahir menyisipkan wangsalan atau teka-teki. Dulu ia menembang tanpa bantuan mikrofon agar kejernihan suaranya tidak tenggelam dalam irama gending. Konon, ia sering kungkum atau berendam membenamkan kepalanya beberapa menit ke air untuk melatih pernapasan.

Senandung suaranya yang unik itu pernah direkam Smithsonian Folkways Amerika Serikat pada 1991 dan dikeluarkan sebagai album dengan judul Music of Indonesia, Volume 1: Songs Before Dawn. Jika kita dengarkan tembang-tembang di album itu, seperti “Delimoan”, “Candra Dewi”, “Seblang Lokento”, “Jaran Dhawuk”, dan “Erang-erang Subuh”, semuanya menampilkan suasana seperti melengking mengambang di udara-aerial. Dapat dibayangkan menjelang subuh akan terasa magis mendengarkannya langsung. 

Dalam versi lengkapnya, tari gandrung biasanya diakhiri menjelang fajar dengan adegan seblang subuh. Seusai segala keriangan, penari gandrung akan melakukan gerakan pelan penuh penghayatan serta menyanyikan lagu bertema sedih. Malam itu, Mak Temu hanya menampilkan adegan awal gandrung yang disebut jejer. Meski demikian, karisma suaranya belum pudar. 

Urutan pertunjukan sangat mempengaruhi klimaks suasana. Para kurator, yakni Endo Suanda, Sulistyo Tirto Kusumo, Restu Imansari, dan Hari Lentho, menempatkan reog Ponorogo di bagian ujung. Dua singa barong—paduan singa dengan merak—ditampilkan. Para penari yang mengiringi semburat menyebar ke kanan-kiri-tengah. Semarak. Juga menyegarkan.  

Bintang reog adalah penari kembar Suwondo dan Suwandi yang berumur 64 tahun. Ekspresi gerak mereka gembira tak habis-habis. Menurut pengamat reog, Dedy Satya Amijaya, di Ponorogo, Jawa Timur, mereka mempertahankan sajian komunitas reog dengan gaya lama. Mereka juga mengembangkan gaya khas duet yang diberi nama Kupu Tarung. Meski bertahan dengan pola Barongan lama, yang mengedepankan gerakan-gerakan sulit, mereka menjauhi trance

Tatkala para penari sepuh di akhir acara diundang berjajar depan untuk berfoto bersama, suasana terasa mengharukan. Sehari-hari mereka bekerja sebagai gembala kambing, tukang becak, gembala bebek, penjual kerupuk keliling, dan petani tomat, tapi merekalah yang menjaga kebudayaan klasik kita. Tampak saat Mbah Sumber kedinginan dengan sigap panitia menyelimutkan kain pada pundaknya dan memberinya kursi.

Salah satu kekuatan pementasan ini adalah kemampuan menciptakan suasana intim. Dengan format teater arena—bukan prosenium—penonton bisa melihat dari jarak dekat ekspresi para penari sepuh. Iringan gending pun terasa bukan sebagai sekadar ilustrasi, melainkan suara yang memanggil-manggil. Tatkala sesi foto dilakukan, iringan gending tetap mengalun. Penonton pun tak kuasa menahan keinginan bangkit dari tempat duduk dan ikut menari.

Momen-momen seperti inilah sebenarnya yang menjadi momen terindah dalam acara. Meleburnya penonton menjadi suatu klimaks tersendiri. Sudah empat kali Panggung Maestro digelar di Teater Wahyu Sihombing. Dan selalu, di pengujung acara, penonton seolah-olah mengalami “ekstase”, melebur. Sebuah spontanitas yang hangat. Energi para penari sepuh itu agaknya menyentuh mereka. “Hal begini tak terjadi bila dalam pentas teater modern atau tari kontemporer,” tutur seorang penonton.                                                                                                           

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Dan Penonton pun Ikut Menari"

Seno Joko Suyono

Seno Joko Suyono

Menulis artikel kebudayaan dan seni di majalah Tempo. Pernah kuliah di Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada. Pada 2011 mendirikan Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF) dan menjadi kuratornya sampai sekarang. Pengarang novel Tak Ada Santo di Sirkus (2010) dan Kuil di Dasar Laut (2014) serta penulis buku Tubuh yang Rasis (2002) yang menelaah pemikiran Michel Foucault terhadap pembentukan diri kelas menengah Eropa.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus