Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengeluarkan delapan rekomendasi kebijakan energi untuk mencapai Net Zero Emission (NZE) atau nol emisi karbon.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Indonesia telah mematok NZE dapat tercapai pada tahun 2060. Namun, keadaan saat ini bauran energi baru terbarukan (EBT) baru mencapai 12,7 persen. Berarti perlu usaha maksimal untuk mengejar target EBT sebesar 23 persen di tahun 2030.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada rangkaian acara Presidensi G20, kegiatan Science (S20) juga termasuk di dalamnya. Salah satu topik yang dibahas adalah transisi energi berkelanjutan.
Peneliti Ahli Utama, Organisasi Riset Energi dan Manufaktur BRIN, Eniya Listiani Dewi, menjelaskan rekomendasi tersebut:
- Menggenjot program bahan bakar nabati B30, B50, B100, D100, dsb.
- Cofiring untuk menggantikan pembangkit listrik tenaga uap yang ada.
- Implementasi dari pengelolaan limbah menjadi bahan bakar (Refuse Derived Fuel/ RDF).
- Program de-dieselisasi atau menggantikan pembangkit diesel dengan EBT, seperti panas bumi, biogas, dan biomassa.
- Pengembangan teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon (Carbon Capture and Storage/CCS) untuk utilisasi dan industri.
- Pemanfaatan hidrogen biru dan hijau untuk utilisasi dan industri petrokimia.
- Pengembangan kendaraan listrik berbasis baterai dan sel bahan bakar.
- Transmisi interkoneksi, dengan menggunakan pembangkit listrik tenaga surya atap (pv roof top), pembangkit listrik tenaga surya terapung (floating PV), jaringan pintar (smart grid), dan Electro-Mobility(e-Mobility).
Peneliti Ahli Utama, Organisasi Riset Tata Kelola Pemerintahan, Ekonomi, dan Kesejahteraan Masyarakat BRIN, Maxensius Tri Sambodo, mengatakan transisi energi tidak semata-mata beralih dari energi fosil ke EBT, namun pemangku kebijakan harus memperhatikan bahwa transisi energi ini diharapkan dapat membangun resiliensi di tengah masyarakat.
“Di sinilah peranan dari periset-periset sosial untuk terus melakukan riset, untuk meyakinkan pengambil kebijakan bahwa dengan transisi energi ini, kita bisa meningkatkan banyak hal, membuka kesempatan kerja yang lebih baik, kondisi kesehatan dan pendidikan meningkat, serta meningkatkan produktivitas yang menciptakan nilai tambah ekonomi di tengah masyarakat,” ujar Maxensius, dikutip dari situs BRIN, 17 Februari 2022.
Ia mengatakan saat ini masyarakat dunia sedang dalam mencari posisi keseimbangan. "Kita tidak bisa serta merta menyalahkan energi fosil, karena selama dua dekade terakhir, pembangkit batubara telah memberikan banyak manfaat dalam memperbaiki posisi ketahanan energi di Indonesia," ujarnya.
Indonesia saat ini masih mendorong peningkatan akses listrik masyarakat yang lebih memadai dan berkualitas. Kendati Data Kementerian ESDM menunjukkan rasio elektrifikasi Indonesia sudah mencapai lebih dari 99 persen dari listrik PLN, namun ada 1,8 juta lebih rumah tangga yang mendapatkan akses listrik bukan dari PLN.
Hal ini menjadi tantangan bagi periset-periset sosial agar bisa mendesain transisi energi dengan tujuan akhirnya adalah menciptakan masyarakat yang adil dan makmur.
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.