LOSING GROUND
Environmental Stress and World Food Prospects oleh Erik P.
Eckholm, W.W. Norton & Co, New york, 1976. 223 halaman.
***
INILAH karya besar kedua yang menyerukan kesadaran pemeliharaan
lingkungan hidup (sesudah "Only One Earth" karya Barbara Ward).
Tapi kali ini pengarangnya, Erik P. Eckholm,peneliti senior pada
Worldwatch Institute di Washington, tidak lagi menghabiskan
halaman bukunya tentang polusi industri seperti di Minamata,
Jepang. Buku, yang bahan mentahnya dikumpulkan berkat kerjasama
dengan UNEP (United Nations Environment Program), justru jauh
dari keramaian. Di desa-desa pertanian, di hutan-hutan gundul,
di stepa, sabana, padang pasir di Sahel dan Timur Tengah, di
padang raya Amerika dan tanah-tanah perawan Uni Soviet, dia
tertegun menyaksikan perusakan lingkungan yang dahsyat. Juga di
pesisir pantai, danau dan sungai, Eckholm menyesali populasi
ikan yang terus merosot dan endapan lumpur yang kian menebal.
Tahi Sapi
Keprihatinan Eckholm bukan keprihatinan penduduk kota
negeri-negeri Barat -- yang merindukan kehijauan pedalaman dan
angin segar pegunungan, lantas mendesak pabrik-pabriknya yang
kotor ke negeri-negeri miskin. Ia justru memprihatinkan penduduk
negeri-negeri berkembang yang sedang menjalankan harakiri di
negerinya sendiri. Peladang-peladang yang membabati hutan di
hulu sungai Nil (Ethiopia), di punggung gunung dan celah lembah
di Nepal, atau di pulau Jawa yang padat penduduk -- untuk
mencari ruang buat menanam ketela, padi gogo atau gandum. Di
saat harga minyakbumi naik 4 x lipat dan membuat konsumen di
negeri-negeri industri menjerit setinggi langit, tidak ada yang
menampung keluhan jutaan turunan Adam di pedalaman Asia, Afrika
dan Amerika Latin yang haus bahan bakar.
Maka bagi mereka -- yang sudah beberapa generasi tersisih dari
daftar konsumen minyak & gas bumi -- tidak ada jalan lain selain
menebang pohon buat kayu bakar. "Kayu bakar: inilah krisis
enerji yang lain", tulis Erik Eckholm. Dan di padang-padang
tandus, tahi sapi dan kotoran ternak lainnya pun jadi mangsa api
buat penghangat badan di malam hari atau mematangkan makanan.
Buat memasak air, kadang-kadang sudah tidak ada enerji yang
tersedia. Padahal bagi ladang-ladang dan padang-padang tandus
itu, seringkali kotoran ternak merupakan pupuk satu-satunya.
Apabila jumlah ternak penghasil pupuk kandang juga kian menipis,
dan tahinya dibakar pula, bisa dibayangkan proses pelapukan
tanah yang terjadi.
Itu sebabnya Erik Eckholm juga menganjurkan riset dan
populerisasi sumber-sumber tenaga mini yang tidak tergantung
pada satu suplai bahan bakar dari luar. Misalnya sumber enerji
yang memisahkan gas methane dari kotoran ternak & manusia
(bio-gas plant), yang masih menyisakan sejumlah besar zat hara
untuk dikembalikan ke tanah. Misalnya seperti yang ada di
Pesantren Pertanian Darul Fallah, Bogor dan dua lagi di Yogya
dan Bali, sementara di India sudah lebih dari 8.000 instalasi
didirikan. Karena itu, anjuran Eckholm untuk mempopulerkan alat
pemasak dengan sinar matahari (solar cooker) yang harganya
'hanya' 35 - 50 dolar mungkin pada tempatnya pula diterapkan di
negeri yang konon kaya minyak & gas alam ini.
Sistim pemilikan tanah, yang memungkinkan orang-orang kaya di
desa atau pengusaha-pengusaha perkebunan yang datang dari luar
menguasai tanahtanah terbaik (dan paling luas) juga dikecam oleh
Eckholm sebagai penyebab tidak langsung dari perusakan
]ingkungan. Kebun-kebun besar di Amerika Latin lalifundia),
mendesak petani-petani kecil merusak daerah aliran sungai(river
catchment area), menggerogoti tebing-tebing dengan tanaman
ketela yang rakus zat hara, dan menebangi pohon-pohon demi
kelangsungan hidup mereka. Contoh unik adalah El Salvador, yang
mengopel sistim perkebunan besar itu dari penguasa Spanyol 5
abad lalu. Tahun 1961, kurang dari 1% jumlah usaha tani di sana
luasnya lebih dari 100 hektar, tapi seluruhnya meliputi 48% dari
seluruh tanah pertanian. Sebaliknya, 47% dari usaha tani luasnya
kurang dari 1 hektar, dan meliputi kurang dari 4% dari seluruh
tanah pertanian. Padahal kecenderungan konsentrasi tanah-tanah
besar serta fragmentasi tanah-tanah kecil itu masih terus
menghebat.
Karena itu Eckholm kurang percaya pada program-program teknis
untuk memperbaiki kwalitas tanah, tanpa perbaikan sistim
pemilikan tanah. Ini didukung oleh pengalaman di Pakistan, di
mana petani-petani yang dikerahkan dalam program penghijauan
pemerintah berlagak pilon dengan menancapkan ujung dan bukan
pangkal anak pohon cemara ke dalam tanah. Eckholm tidak percaya
bahwa para petani -- yang sejak kecil sudah bergaul dengan
tanaman -- tidak dapat membedakan 'ujung' dan 'pangkal' tanaman.
Dia lebih melihatnya sebagai "reaksi bisu" dari petani-petani
yang hampir tidak punya tanah itu, karena ketakutan bahwa
program perbaikan mutu tanah itu hanya akan menguntungkan para
tuan tanah.
Dijegal Tuan Tanah
Teknologi modern, kalau tidak dikombinir dengan pemahaman
ekologis terhadap masalah yang mau dipecahkan, bisa melahirkan
serentetan masalah baru. Ini ditunjukkan oleh Erik Eckholm
ketika membahas sistim-sistim irigasi dari zaman Mesopotamia
sampai Mesirnya Nasser. Pengendapan lumpur (silting) yang
pindah dari hilir sungai ke perut waduk dan meningkatnya kadar
garam tanah salting) karena tanah tidak lagi dibasuh secara
kronis oleh banjir tahunan, merupakan masalah kembar yang
ditimbulkan oleh waduk-waduk raksasa. Akibatnya, banyak waduk
yang usia pakainya sangat pendek. Begitu pula kapasitas
kerjanya. Hal-hal itu tidak jarang disebabkan karena pembangunan
waduk tidak dibarengi dengan disiplin pemeliharaan daerah hulu
sungai.
Pada akhirnya, keprihatinan Eckholm juga bukanlah keprihatinan
seorang turis. Turis, yang resah melihat pemandangan hutan,
gunung, danau, sungai dan sawah-sawah nan indah hilang lenyap
tersisih oleh bayang-bayang ketandusan, kemiskinan . . . dan
kematian. Tapi dia cemas melihat perusakan alam, dan sekaligus
merusak sumber pangan negeri-negeri berkembang, yang semakin
tergantung pada Amerika Utara. "Kecenderungan tidak sehat ini
bisa menimbulkan kesulitan ekonomis dan politis. Baik bagi
negeri kaya, maupun negeri miskin", tulis Eckholm. Ketika
cara-cara teknis untuk mengembalikan ekologis sudah diketahui,
seringkali pelaksanaannya terbentur pada soal-soal politis.
Pelaksanaan land-reform pasti dijegal oleh tuan-tuan tanah,
tradisi dan kebudayaan setempat kadangkala terlalu sempit
cakrawalanya. Dan prioritas pembangunan nasional seringkali
menganaktirikan pemeliharaan lingkungan. Karena itu yang ingin
dipupuk oleh UNEP dengan mensponsori buku ini, adalah kesadaran
bahwa: tercoretnya setiap jengkal tanah dari peta bumi pertanian
dunia bukan semata-mata problim negeri yang bersangkutan. Tapi
problim seluruh dunia. Hanya sayang UNEP, atau Worldwatch
Institute, tidak membahas bagaimana pemecahannya kalau ada
negara raksasa, misalnya Amerika, justru mengeksploitir
ketergantungan dunia pada gudang pangan Amerika Utara untuk
mengkompensir ketergantungan AS sendiri pada minyak bumi dan
bahan mentah lainnya di Dunia Ketiga.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini