Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Bukan keprihatinan turis

Buku lingkungan hidup karya erik p eckholm tentang keprihatinan terhadap pembabatan hutan di negara berkembang yang menimbulkan kerusakan. untuk mengatasi disarankan memakai sumber tenaga mini.

24 Juli 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LOSING GROUND Environmental Stress and World Food Prospects oleh Erik P. Eckholm, W.W. Norton & Co, New york, 1976. 223 halaman. *** INILAH karya besar kedua yang menyerukan kesadaran pemeliharaan lingkungan hidup (sesudah "Only One Earth" karya Barbara Ward). Tapi kali ini pengarangnya, Erik P. Eckholm,peneliti senior pada Worldwatch Institute di Washington, tidak lagi menghabiskan halaman bukunya tentang polusi industri seperti di Minamata, Jepang. Buku, yang bahan mentahnya dikumpulkan berkat kerjasama dengan UNEP (United Nations Environment Program), justru jauh dari keramaian. Di desa-desa pertanian, di hutan-hutan gundul, di stepa, sabana, padang pasir di Sahel dan Timur Tengah, di padang raya Amerika dan tanah-tanah perawan Uni Soviet, dia tertegun menyaksikan perusakan lingkungan yang dahsyat. Juga di pesisir pantai, danau dan sungai, Eckholm menyesali populasi ikan yang terus merosot dan endapan lumpur yang kian menebal. Tahi Sapi Keprihatinan Eckholm bukan keprihatinan penduduk kota negeri-negeri Barat -- yang merindukan kehijauan pedalaman dan angin segar pegunungan, lantas mendesak pabrik-pabriknya yang kotor ke negeri-negeri miskin. Ia justru memprihatinkan penduduk negeri-negeri berkembang yang sedang menjalankan harakiri di negerinya sendiri. Peladang-peladang yang membabati hutan di hulu sungai Nil (Ethiopia), di punggung gunung dan celah lembah di Nepal, atau di pulau Jawa yang padat penduduk -- untuk mencari ruang buat menanam ketela, padi gogo atau gandum. Di saat harga minyakbumi naik 4 x lipat dan membuat konsumen di negeri-negeri industri menjerit setinggi langit, tidak ada yang menampung keluhan jutaan turunan Adam di pedalaman Asia, Afrika dan Amerika Latin yang haus bahan bakar. Maka bagi mereka -- yang sudah beberapa generasi tersisih dari daftar konsumen minyak & gas bumi -- tidak ada jalan lain selain menebang pohon buat kayu bakar. "Kayu bakar: inilah krisis enerji yang lain", tulis Erik Eckholm. Dan di padang-padang tandus, tahi sapi dan kotoran ternak lainnya pun jadi mangsa api buat penghangat badan di malam hari atau mematangkan makanan. Buat memasak air, kadang-kadang sudah tidak ada enerji yang tersedia. Padahal bagi ladang-ladang dan padang-padang tandus itu, seringkali kotoran ternak merupakan pupuk satu-satunya. Apabila jumlah ternak penghasil pupuk kandang juga kian menipis, dan tahinya dibakar pula, bisa dibayangkan proses pelapukan tanah yang terjadi. Itu sebabnya Erik Eckholm juga menganjurkan riset dan populerisasi sumber-sumber tenaga mini yang tidak tergantung pada satu suplai bahan bakar dari luar. Misalnya sumber enerji yang memisahkan gas methane dari kotoran ternak & manusia (bio-gas plant), yang masih menyisakan sejumlah besar zat hara untuk dikembalikan ke tanah. Misalnya seperti yang ada di Pesantren Pertanian Darul Fallah, Bogor dan dua lagi di Yogya dan Bali, sementara di India sudah lebih dari 8.000 instalasi didirikan. Karena itu, anjuran Eckholm untuk mempopulerkan alat pemasak dengan sinar matahari (solar cooker) yang harganya 'hanya' 35 - 50 dolar mungkin pada tempatnya pula diterapkan di negeri yang konon kaya minyak & gas alam ini. Sistim pemilikan tanah, yang memungkinkan orang-orang kaya di desa atau pengusaha-pengusaha perkebunan yang datang dari luar menguasai tanahtanah terbaik (dan paling luas) juga dikecam oleh Eckholm sebagai penyebab tidak langsung dari perusakan ]ingkungan. Kebun-kebun besar di Amerika Latin lalifundia), mendesak petani-petani kecil merusak daerah aliran sungai(river catchment area), menggerogoti tebing-tebing dengan tanaman ketela yang rakus zat hara, dan menebangi pohon-pohon demi kelangsungan hidup mereka. Contoh unik adalah El Salvador, yang mengopel sistim perkebunan besar itu dari penguasa Spanyol 5 abad lalu. Tahun 1961, kurang dari 1% jumlah usaha tani di sana luasnya lebih dari 100 hektar, tapi seluruhnya meliputi 48% dari seluruh tanah pertanian. Sebaliknya, 47% dari usaha tani luasnya kurang dari 1 hektar, dan meliputi kurang dari 4% dari seluruh tanah pertanian. Padahal kecenderungan konsentrasi tanah-tanah besar serta fragmentasi tanah-tanah kecil itu masih terus menghebat. Karena itu Eckholm kurang percaya pada program-program teknis untuk memperbaiki kwalitas tanah, tanpa perbaikan sistim pemilikan tanah. Ini didukung oleh pengalaman di Pakistan, di mana petani-petani yang dikerahkan dalam program penghijauan pemerintah berlagak pilon dengan menancapkan ujung dan bukan pangkal anak pohon cemara ke dalam tanah. Eckholm tidak percaya bahwa para petani -- yang sejak kecil sudah bergaul dengan tanaman -- tidak dapat membedakan 'ujung' dan 'pangkal' tanaman. Dia lebih melihatnya sebagai "reaksi bisu" dari petani-petani yang hampir tidak punya tanah itu, karena ketakutan bahwa program perbaikan mutu tanah itu hanya akan menguntungkan para tuan tanah. Dijegal Tuan Tanah Teknologi modern, kalau tidak dikombinir dengan pemahaman ekologis terhadap masalah yang mau dipecahkan, bisa melahirkan serentetan masalah baru. Ini ditunjukkan oleh Erik Eckholm ketika membahas sistim-sistim irigasi dari zaman Mesopotamia sampai Mesirnya Nasser. Pengendapan lumpur (silting) yang pindah dari hilir sungai ke perut waduk dan meningkatnya kadar garam tanah salting) karena tanah tidak lagi dibasuh secara kronis oleh banjir tahunan, merupakan masalah kembar yang ditimbulkan oleh waduk-waduk raksasa. Akibatnya, banyak waduk yang usia pakainya sangat pendek. Begitu pula kapasitas kerjanya. Hal-hal itu tidak jarang disebabkan karena pembangunan waduk tidak dibarengi dengan disiplin pemeliharaan daerah hulu sungai. Pada akhirnya, keprihatinan Eckholm juga bukanlah keprihatinan seorang turis. Turis, yang resah melihat pemandangan hutan, gunung, danau, sungai dan sawah-sawah nan indah hilang lenyap tersisih oleh bayang-bayang ketandusan, kemiskinan . . . dan kematian. Tapi dia cemas melihat perusakan alam, dan sekaligus merusak sumber pangan negeri-negeri berkembang, yang semakin tergantung pada Amerika Utara. "Kecenderungan tidak sehat ini bisa menimbulkan kesulitan ekonomis dan politis. Baik bagi negeri kaya, maupun negeri miskin", tulis Eckholm. Ketika cara-cara teknis untuk mengembalikan ekologis sudah diketahui, seringkali pelaksanaannya terbentur pada soal-soal politis. Pelaksanaan land-reform pasti dijegal oleh tuan-tuan tanah, tradisi dan kebudayaan setempat kadangkala terlalu sempit cakrawalanya. Dan prioritas pembangunan nasional seringkali menganaktirikan pemeliharaan lingkungan. Karena itu yang ingin dipupuk oleh UNEP dengan mensponsori buku ini, adalah kesadaran bahwa: tercoretnya setiap jengkal tanah dari peta bumi pertanian dunia bukan semata-mata problim negeri yang bersangkutan. Tapi problim seluruh dunia. Hanya sayang UNEP, atau Worldwatch Institute, tidak membahas bagaimana pemecahannya kalau ada negara raksasa, misalnya Amerika, justru mengeksploitir ketergantungan dunia pada gudang pangan Amerika Utara untuk mengkompensir ketergantungan AS sendiri pada minyak bumi dan bahan mentah lainnya di Dunia Ketiga.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus