Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Igel-igelan bagong

Bagong kussudiardjo menampilkan tari-tarian dengan nama igel-igelan di teater arena tim. pertunjukan itu dibagi 2 bagian, adegan banyak variasi, menonjolkan unsur seni rupa, diiringi musik bali.

24 Juli 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BAGONG Kussudiardja menampakan ketoprak di Teater Arena TIM. Pertunjukan 2 bagian itu memberikan hawa yang segar, lantaran ulah Bagong untuk memasukkan cara pengadeganan yang lebih bebas, kaya dan banyak variasi tidak hanya merupakan kebinalan semata-mata. Adakalanya terasa adegan-adegan menjadi "nakal", misalnya saja dengan membiarkan para pemain berganti busana dan peranan secara terang-terangan. Hal mana menunjukkan keinginan menggaris-bawahi "tontonan" sebagai tontonan, sehingga tidak ada usaha menyembunyikan segala sesuatu di balik cerita. Yang berhasil dicoblos pertunjukan Bagong -- yang memperhitungkan berbagai kemungkinan pengadeganan untuk ketoprak ini sangat berbeda dengan pertunjukan "lenong" baru di TIM yang seringkali juga mau menyabet cara pengadeganan drama "kontemporer". Dalam lenong "baru", kita hampir terlalu banyak kehilangan kesegaran karena pemasukan unsur-unsur formil yang menyebabkan keluguan lenong berubah menjadi kekenesan. Sementara ketoprak Bagong berhasa membatasi diri, walau ancaman ke arah itu juga tidak kecil -- karena, bila unsur senirupa terlalu mencuat cerita yang menjadi pokok ketoprak bisa menjadi terlalu ekspresif sehingga sulit diikuti. Hanya Mimpi Selama tiga malam (7 s/d 9 Juli) Bagong dengan Pusat Latihan Tari-nya memaih nama Igel-igelan untuk dua nomor pertunjukan yang lumayan juga pengunjungnya. Dari nama saja sudah jelas bahwa penari yang pernah jadi mudd Martha Graham ini, masih belum kambuh dari "tergila-gila"-nya pada teater Bali. Dalam bahasa Bali, Igel-igelan tidak saja merupakan sebutan terhadap "tarian". Bunyi itu mengandung makna adanya unsur "bermain", atau "keakraban" yang sulit dicari akarnya antara seni di satu fihak, para penari di fihak lain serta masyarakat penonton di fihak lainnya lagi. Kata itu sudah menjelaskan satu pandangan estetika dari suatu masyarakat di mana seni tidak bisa dipisahkan dari kehidupan (dengan istilah setempat disebut: desa-kala-patra, berarti kawasan, ruang dan waktu). Seperempat bagian arena, sebagaimana biasa diserahkan kepada para pengiring yang bersila selama penampaan. Mereka terbagi dalam 2 bagian, di tengahnya teronggok trap-trap dibungkus kain hitam. Di depan trap sejumlah tombak-tombak yang menampilkan suasana kisah-kisah pewayangan. Sementara itu semua penari mengenakan busana putih, tanpa menyembunyikan muka di balik tata rias. "Igel-igelan I akan menggambarkan keinginan Bagong untuk bermimpi", tulis folder. Sementara dua lembar stensilan berbahasa Inggeris mencoba menggambarkan cerita apa yang hendak dilemparkan. Disebutkan ihwal'Kala', putera batara Guru yang suka makan manusia, diusir dari Suralaya, membuat kerusuhan di Arcapada karena doyan makan anak-anak. Pada akhirnya Wisnu turun menyamar sebagai Ki Dalang Kondobuwono dan memperdayakan Kala serta mencucinya dengan bunga. "Cerita hanya sebagai sumber yang bisa berkembang dan dikembangkan oleh koreografer dan para penari yang mendukung", kata Bagong lewat folder. Iapun menerima segala imajinasi berbeda-beda dari masing-masing penonton atas segala ulah anak-buahnya. Keinginan Bagong untuk mengikut sertakan unsur senirupa dalam menggarap ruang secara horisontal, pengaruh musik Bali yang dinamis mengalir tak putus-putus, menyebabkan pertunjukannya lancar. Adegan demi adegan berlangsung dengan perhitungan terhadap komposisi ruang, serta keinginan membuat penonton terpancing berasosiasi pada kenyataan pergumulan masa kini. Pada akhirnya cerita menjadi tidak penting lagi, yang menonjol adalah semacam pasang surut kehidupan, di mana individu dan orang banyak menjadi berhubungan dan menimbulkan konflik-konflik yang oleh Bagong kemudian diselesaikan sebagai manifestasi dari mimpi' Komposisi yang dihasilkan Bagong kali ini tidak jauh bedanya dengan komposisi yang ditemukannya pada saat ia muncul di tempat yang sama bersama rombongan Tokk dari Jepang. Ada terasa kejenuhan dari ketrampilan yang sudah menjadi mati dalam kreasi-kreasinya terdahulu, yang meskipun manis tetapi sangat ringan. Ia seperti mencoba melakukan pemberontakan pada kepastian-kepastiannya sendiri, lewat ruang dan komposisi-komposisi yang katakanlah "nakal". Barangkali inilah yang terpenting dari segala sepak terjang Bagong sampai saat ini -- baik dalam dunia ketoprak, tari, maupun senilukis. Ia sedang memaksakan busana baru untuk dirinya. Dalam masa seperti ini memang sulit mengatakan apakah bau enteng yang tercium dalam pergelarannya adalah roh yang sedang menukik masuk. atau roh penampilan yang sedang tertendang keluar. Kalau yang pertama benar, sudah tentu ia akan tetap dalam posisi semula sebagai tukang rangkai hasil seni populer yang menyenangkan orang banyak karena sangat gampang diterima. Sedang kalau yang kedua, tak pelak lagi Bagong akan segera menjotoskan tangan yang mantap, setelah selama ini terlalu sibuk menganggap tari khususnya sebagai cabang seni bersenang-senang saja. Padahal tari juga hanya satu bentuk lain dari mana seorang pencipta menanggapi kehidupan. Nomor II Igel-igelan, lebih menunjukkan kepada yang baru sebagai hanya "mantel". Di sana semua penari berganti busana dengan lurik dan menampilkan unsur-unsur silat. Kalau dianggap sebagai percobaan mencari idiom baru, nomor ini tidak menampilkan kesegaran meskipun secara visuil mulanya memang menarik. "Ini menggambarkan nyali untuk berbicara dengan garis-garis", kata Bagong. Sekaligus menunjukkan bahwa penafsirannya tentang nyali lebih bersifat jasmaniah. Andaikan saja Bagong lebih mengutamakan pembaruan dari 'sudut dalam' penciptaan, andaikan ia benar ingin memberikan tafsiran baru pada kehidupan, jadi tidak hanya perubahan pada unsur pengadeganan, pertunjukannya pasti tidak hanya lancar dan manis. Tetapi juga gempal.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus