BAGONG Kussudiardja menampakan ketoprak di Teater Arena TIM.
Pertunjukan 2 bagian itu memberikan hawa yang segar, lantaran
ulah Bagong untuk memasukkan cara pengadeganan yang lebih bebas,
kaya dan banyak variasi tidak hanya merupakan kebinalan
semata-mata. Adakalanya terasa adegan-adegan menjadi "nakal",
misalnya saja dengan membiarkan para pemain berganti busana dan
peranan secara terang-terangan. Hal mana menunjukkan keinginan
menggaris-bawahi "tontonan" sebagai tontonan, sehingga tidak ada
usaha menyembunyikan segala sesuatu di balik cerita. Yang
berhasil dicoblos pertunjukan Bagong -- yang memperhitungkan
berbagai kemungkinan pengadeganan untuk ketoprak ini sangat
berbeda dengan pertunjukan "lenong" baru di TIM yang seringkali
juga mau menyabet cara pengadeganan drama "kontemporer". Dalam
lenong "baru", kita hampir terlalu banyak kehilangan kesegaran
karena pemasukan unsur-unsur formil yang menyebabkan keluguan
lenong berubah menjadi kekenesan. Sementara ketoprak Bagong
berhasa membatasi diri, walau ancaman ke arah itu juga tidak
kecil -- karena, bila unsur senirupa terlalu mencuat cerita yang
menjadi pokok ketoprak bisa menjadi terlalu ekspresif sehingga
sulit diikuti.
Hanya Mimpi
Selama tiga malam (7 s/d 9 Juli) Bagong dengan Pusat Latihan
Tari-nya memaih nama Igel-igelan untuk dua nomor pertunjukan
yang lumayan juga pengunjungnya. Dari nama saja sudah jelas
bahwa penari yang pernah jadi mudd Martha Graham ini, masih
belum kambuh dari "tergila-gila"-nya pada teater Bali. Dalam
bahasa Bali, Igel-igelan tidak saja merupakan sebutan terhadap
"tarian". Bunyi itu mengandung makna adanya unsur "bermain",
atau "keakraban" yang sulit dicari akarnya antara seni di satu
fihak, para penari di fihak lain serta masyarakat penonton di
fihak lainnya lagi. Kata itu sudah menjelaskan satu pandangan
estetika dari suatu masyarakat di mana seni tidak bisa
dipisahkan dari kehidupan (dengan istilah setempat disebut:
desa-kala-patra, berarti kawasan, ruang dan waktu).
Seperempat bagian arena, sebagaimana biasa diserahkan kepada
para pengiring yang bersila selama penampaan. Mereka terbagi
dalam 2 bagian, di tengahnya teronggok trap-trap dibungkus kain
hitam. Di depan trap sejumlah tombak-tombak yang menampilkan
suasana kisah-kisah pewayangan. Sementara itu semua penari
mengenakan busana putih, tanpa menyembunyikan muka di balik tata
rias. "Igel-igelan I akan menggambarkan keinginan Bagong untuk
bermimpi", tulis folder. Sementara dua lembar stensilan
berbahasa Inggeris mencoba menggambarkan cerita apa yang hendak
dilemparkan. Disebutkan ihwal'Kala', putera batara Guru yang
suka makan manusia, diusir dari Suralaya, membuat kerusuhan di
Arcapada karena doyan makan anak-anak. Pada akhirnya Wisnu turun
menyamar sebagai Ki Dalang Kondobuwono dan memperdayakan Kala
serta mencucinya dengan bunga. "Cerita hanya sebagai sumber yang
bisa berkembang dan dikembangkan oleh koreografer dan para
penari yang mendukung", kata Bagong lewat folder. Iapun menerima
segala imajinasi berbeda-beda dari masing-masing penonton atas
segala ulah anak-buahnya.
Keinginan Bagong untuk mengikut sertakan unsur senirupa dalam
menggarap ruang secara horisontal, pengaruh musik Bali yang
dinamis mengalir tak putus-putus, menyebabkan pertunjukannya
lancar. Adegan demi adegan berlangsung dengan perhitungan
terhadap komposisi ruang, serta keinginan membuat penonton
terpancing berasosiasi pada kenyataan pergumulan masa kini. Pada
akhirnya cerita menjadi tidak penting lagi, yang menonjol adalah
semacam pasang surut kehidupan, di mana individu dan orang
banyak menjadi berhubungan dan menimbulkan konflik-konflik yang
oleh Bagong kemudian diselesaikan sebagai manifestasi dari
mimpi'
Komposisi yang dihasilkan Bagong kali ini tidak jauh bedanya
dengan komposisi yang ditemukannya pada saat ia muncul di tempat
yang sama bersama rombongan Tokk dari Jepang. Ada terasa
kejenuhan dari ketrampilan yang sudah menjadi mati dalam
kreasi-kreasinya terdahulu, yang meskipun manis tetapi sangat
ringan. Ia seperti mencoba melakukan pemberontakan pada
kepastian-kepastiannya sendiri, lewat ruang dan
komposisi-komposisi yang katakanlah "nakal". Barangkali inilah
yang terpenting dari segala sepak terjang Bagong sampai saat ini
-- baik dalam dunia ketoprak, tari, maupun senilukis. Ia sedang
memaksakan busana baru untuk dirinya. Dalam masa seperti ini
memang sulit mengatakan apakah bau enteng yang tercium dalam
pergelarannya adalah roh yang sedang menukik masuk. atau roh
penampilan yang sedang tertendang keluar. Kalau yang pertama
benar, sudah tentu ia akan tetap dalam posisi semula sebagai
tukang rangkai hasil seni populer yang menyenangkan orang banyak
karena sangat gampang diterima. Sedang kalau yang kedua, tak
pelak lagi Bagong akan segera menjotoskan tangan yang mantap,
setelah selama ini terlalu sibuk menganggap tari khususnya
sebagai cabang seni bersenang-senang saja. Padahal tari juga
hanya satu bentuk lain dari mana seorang pencipta menanggapi
kehidupan.
Nomor II Igel-igelan, lebih menunjukkan kepada yang baru sebagai
hanya "mantel". Di sana semua penari berganti busana dengan
lurik dan menampilkan unsur-unsur silat. Kalau dianggap sebagai
percobaan mencari idiom baru, nomor ini tidak menampilkan
kesegaran meskipun secara visuil mulanya memang menarik. "Ini
menggambarkan nyali untuk berbicara dengan garis-garis", kata
Bagong. Sekaligus menunjukkan bahwa penafsirannya tentang nyali
lebih bersifat jasmaniah. Andaikan saja Bagong lebih
mengutamakan pembaruan dari 'sudut dalam' penciptaan, andaikan
ia benar ingin memberikan tafsiran baru pada kehidupan, jadi
tidak hanya perubahan pada unsur pengadeganan, pertunjukannya
pasti tidak hanya lancar dan manis. Tetapi juga gempal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini