DI awal tahun 1976 yang lalu, masyarakat kota Mataram sempat
dibikin geger oleh matinya seorang lelaki di atas tubuh bugil
seorang perempuan nakal. Tubuh lelaki yang bernasib malang itu
secara tiba-tiba kejang kaku pada saat ia ibarat seekor kuda
balap yang nyaris mencapai garis finish. Konon penyakit lemah
jantung yang diidapnya mendadak kambuh. Dan belum sempat
kejadian itu sirna bersama angin pembicaraan orang banyak,
kejadian yang 'serupa' tapi 'tak sama' terulang lagi tanggal 16
Juni baru-baru ini. Terjadinya bukan di Mataram, tapi di
Cakranegara, tetangga sebelah timur Mataram. Kalau yang di
Mataram, lelaki bernasib malang itu menghembuskan nafas terakhir
dalam posisi berenang megap-megap di atas tubuh seorang
perempuan, tapi yang di Cakranegara si korban mengucapkan
selamat tinggal kepada dunia dalam posisi tengkurap memeluk bumi
di sepanjang gang sempit yang terkenal dengan julukan 'gang
kelinci' di kampung arang Ipil, Cakranegara.
Di kampung itu, kurang lebih 20 meter dari jalan besar, lewat
sebuah gang sempit yang mendapat julukan 'gang kelinci',
bersembunyi dengan amannya rumah pelacuran yang dihuni oleh
sekurangnya satu lusin pelacur yang rata-rata berumur muda dan
punya potongan tubuh & wajah yang cukup aduhai. Mereka rata-rata
pasang tarif Rp 1000 untuk sekali terjun.
Salah seorang lelaki yang malam tanggal 16 Juni itu bertamu ke
sana, adalah SR, 35 tahun, dari Mataram. SR yang bekas kusir
dokar ini, sehari-harinya punya pekerjaan sebagai tukang pasang
sepatu kuda. Ia punya 2 isteri dan sekian banyak anak. Di
kampungnya, SR dikenal sebagai lelaki yang suka kawin. Di rumah
pelacuran di Karang Ipil ini, SR bertemu dengan kenalan lamanya, AB.
Kurungan Ayam
Tapi agaknya SR belum terbiasa masuk ke tempat maksiat seperti
itu. Ia tampak kikuk sekali, ibarat rusa masuk kampung.
Sehingga, untuk 'menawar' salah seorang perempuan lacur bernama
M, ia merasa dan kudu minta bantuan AB sebagai perantara. Tapi
sial buat SR, karena perempuan lacur berpinggul besar bak
kurangan ayam itu ternyata sedang 'tak sehat badan. Tak jelas,
apakah SR jadi kecewa oleh tampikan yang punya alasan kuat itu.
Yang jelas, SR terus berada di tempat itu dengan sikap bak
pemburu yang lagi meneliti medan. Dan entah karena apa,
menjelang malam mencapai puncaknya, SR kemudian angkat pantat
meninggalkan tempat itu. Ia melangkah terseok-seok bak penjudi
kalah main menelusuri gang-gelinci menuju ke jalan besar.
Pada saat kakinya beberapa langkah lagi hendak mencapai mulut
gang, ia tiba-tiba rebah memeluk bumi. Rebah, untuk kemudian tak
bangun-bangun lagi. Meninggal. Maka gegerlah seluruh penghuni
rumah hitam di Karang Ipil itu, dan juga orang-orang yang
berdiam di sekitarnya. Malam itu juga tubuh tak bernyawa itu
diangkut ke RSU Mataram, sementara fihak kepolisian sektor Sweta
memanggil M untuk diusut. Mayat diinapkan semalam di RSU
Mataram. Kepolisian melakukan pengusutan lebih lanjut untuk
mengetahui sebab-sebab kematian, tentu saja merasa perlu minta
visum et repertum dokter. Tapi, menurut Letda Athief Ali
Mohammad Dai, Dansek Sweta: fihak RSU Mataram menyatakan bahwa
"oleh karena si korban meninggalnya tidak di rumah sakit, maka
dokter yang harus melakukan pemeriksaan mayat adalah dokter
kabupaten Lombok Barat". (Kampung Karang Ipil, Cakranegara,
adalah wilayah kabupaten Lombok Barat).
Eh, Ita Ndek Gemes
Oleh fihak kepolisian, dihubungilah dinas kesehatan Lombok
Barat. Tapi sayang, dokter yang jadi kepala dinas sedang berada
di luar daerah. Sedangkan dokter yang mewakilinya, hari itu
sedang sibuk di Puskesmas Narmada, 12 kilometer dari Mataram.
Sampai pukul 1 siang pada keesokan harinya, itu mayat terpaksa
belum mendapat pemeriksaan dokter. Maka, atas permintaan fihak
keluarga si korban -- yang menyimpulkan (menganggap) kematian
itu sebagai kematian yang wajar saja -- mayat itu dibawa pulang
untuk kemudian dikuburkan sore harinya. "Fihak keluarga berjanji
tak akan melakukan penuntutan kalau ternyata di kemudian hari
kematian SR disebabkan oleh hal-hal yang tak wajar", komentar
Dansek Sweta yang lulusan Akabri itu kepada Pembantu TEMPO . "SR
memang mengidap penyakit yang sering-sering kumat secara
mendadak. Ia sering jatuh pingsan", komentar salah seorang
keluarga terdekat si korbam "Ia kemungkinan mengidap penyakit
lemah jantung", kata seorang dokter RSU Mataram pula.
Dalam hubungan ini, Pembantu TEMPO bersama Camat Cakranegara
sempat datang ke rumah pelacuran di Karang Ipil, dan
mewawancarai M, perempuan muda yang telah menampik ajakan si
korban itu. Kepada TEMPO, M mengatakan, bahwa sewaktu ditawar,
ia memang sedang tak sehat badan. Tapi, menurut keterangan
beberapa temannya, sewaktu ditawar M ada mengatakan: "Eh, ita
ndek gemes", yang kalau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia
berarti "Eh, aku jijik". Dan konon, kata-kata itu didengar oleh
SR. Nah, barangkali kata-kata ini yang menyebabkan SR jadi amat
"terpukul". Dan kalau benar ia mengidap penyakit jantung,
bukankah keadaan yang begini bisa membuat sang penyakit jadi
galak secara tiba-tiba?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini