Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Buruk Pengelola, Hewan Sengsara

Akibat kemelut dan salah urus, satwa di Kebun Binatang Surabaya terancam keberadaannya. Perlu penanganan profesional.

30 September 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BAGI warga Surabaya, Jawa Timur, Kebun Binatang Surabaya (KBS) merupakan salah satu kebanggaan. Kebun binatang yang telah ada sejak 1916 dengan luas 15 hektare ini merupakan tempat tujuan wisata di saat libur. Jumlah pengunjungnya selalu meningkat setiap tahun dan untuk tahun lalu tercatat lebih dari 2 juta orang. Dengan tiket masuk seharga Rp 3.000, pengunjung berharap dapat menyaksikan sekitar 400 spesies hewan koleksi, termasuk satwa langka. Tapi kini pengunjung jangan terlalu banyak berharap. Kondisi kebun binatang ini sudah berbeda. Di beberapa kandang, kebersihan tampak tak terjaga. Parit kecil yang mengelilingi kandang beruang madu, misalnya, tampak kotor dan penuh sampah plastik. Penyu juga tak kalah menderitanya. Spesies laut yang biasa bermigrasi ini harus puas dalam sebuah kolam berdiameter 4 meter berwarna pekat dan menebarkan bau anyir. Si penyu harus berjuang keras untuk sekadar menghirup oksigen. Itu hanya sedikit potret buram yang bisa disaksikan pengunjung. Musibah lebih besar terjadi Agustus lalu: seekor harimau putih didapati tewas. Tak lama berselang, seekor harimau sumatra dan seekor singa juga tewas. Terakhir, seekor komodo dan seekor gajah meregang nyawa. Tapi musibah seakan belum berhenti. Enam ekor jalak bali, yang sangat langka dan dilindungi, raib digondol maling. Ketidakberesan ini ternyata sudah terjadi jauh sebelumnya. Selama 20 tahun, KBS dipimpin oleh duet Stany Subakir (pelaksana harian) dan M. Said (ketua presidium). Sejak lengser awal September lalu, duo ini meninggalkan persoalan pembukuan dan keuangan yang belum dipertanggungjawabkan. Subakir dan Said juga meninggalkan riwayat kematian satwa yang tidak sedikit. Menurut Anthan Warsito, petugas kurator Aves, selama masa kepemimpinan Subakir terjadi kematian 50-60 satwa tiap tahun. Tahun 2000 lalu, ada sedikitnya 69 ekor satwa langka yang mati. Bahkan, hingga September tahun ini ada 55 satwa yang mati. Tidak transparannya pengelolaan dan besarnya angka kematian itu membuat Pemerintah Kota Surabaya jengah. Mereka menawarkan diri mengambil alih pengelolaan dari Perkumpulan Kebun Binatang Surabaya (PKBS). Entah ada hubungannya dengan niat itu atau tidak, tiba-tiba saja, pertengahan bulan ini, pihak Pemerintah Kota Surabaya mengajukan tagihan tunggakan sewa lahan kepada pihak KBS sebesar Rp 1,2 miliar. Pemerintah juga berencana menaikkan jumlah setoran menjadi Rp 700 juta per tahun dari sebelumnya Rp 350 juta. Fakta itu membuat pusing Letkol (Purnawirawan) Kamilo Kalim, penjabat sementara Kepala Pelaksana Harian Kebun Binatang Surabaya. Niat Wali Kota Surabaya untuk menggandeng kalangan pengusaha dalam pengelolaan kebun binatang tak begitu saja diterima PKBS. "Wali Kota tak bisa main paksa begitu. Perkumpulan ini juga punya aturan dan etika," kata Elan S.A., 63 tahun, pensiunan polisi yang juga salah seorang anggota PKBS. Kamilo membenarkan dan menyebut bahwa dirinya merasa masih sanggup memperbaiki dan membawa kebun binatang itu menjadi lebih baik. Kamilo boleh bercita-cita. Nyatanya, Rabu minggu lalu, lelaki berusia 58 tahun yang baru 1 September lalu menduduki jabatannya itu ditangkap polisi. Tuduhannya cukup berat. Ia diduga melakukan penangkaran gelap satwa langka berupa empat ekor burung jalak bali milik kebun binatang. Bahkan, menurut Kepala Satuan Reserse Kepolisian Resor Kota Surabaya, Ajun Komisaris Polisi Jumiran, Kamilo diduga terlibat pencurian enam ekor jalak bali bernilai Rp 18 juta yang raib dari sangkarnya. Akibatnya, nasib KBS pun semakin tidak jelas dengan ketiadaan orang yang mengelolanya. Kemelut pengelolaan di Kebun Binatang Surabaya ini disesalkan Tony Sumampauw, Presiden Direktur Taman Safari Indonesia, yang juga salah satu ketua di Perkumpulan Kebun Binatang Indonesia. Menurut dia, sudah saatnya pengelolaan kebun binatang diserahkan kepada mereka yang profesional. Kepemilikannya bisa dikelola oleh yayasan atau perkumpulan masyarakat. Perkumpulan itu kemudian membentuk tim pengelola khusus kebun binatang yang bertanggung jawab kepada pengurus perkumpulan. Para pengelola itu, kata Tony, haruslah orang profesional yang mampu menangani dan menghidupi kebun binatang. Dengan cara ini, pengurus boleh berganti, tapi pengelolaan akan terus berjalan. Menurut Tony, sistem ini akan menghindarkan satwa langka dari keterbengkalaian perawatan akibat konflik pengurus. Sementara ini tampaknya niat pengurus buat membenahi KBS harus tertunda lagi. Meski demikian, tidak seharusnya hewan-hewan di sana menanggung kerugian akibat salah urus. Agus Hidayat, Wahyu Dhyatmika (Surabaya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus