Jasso Winarto*)
*) Pengamat Bursa Saham dari Sigma Research Institute
KERUGIAN terbesar dari mega-teror di New York dan Washington ternyata bukan runtuhnya Gedung World Trade Center, 11 September lalu. Memang, pihak asuransi mungkin akan membayar klaim asuransi sekitar US$ 25 miliar, tetapi kerugian yang jauh lebih besar diderita para pemodal di Amerika, Eropa, dan Asia.
Ketika Wall Street dibuka 18 September lalu, seperti diperkirakan, pelaku pasar langsung panik. Mereka membuang saham-saham yang dipegang ke pasar. Harga saham penerbangan jatuh 40 persen dan kertas 8,8 persen. Sampai akhir sesi, indeks Dow Jones jatuh 684,81 poin. Ini angka terbesar dalam sejarah bursa AS. Kejatuhan harga saham di Wall Street itu masih berlangsung terus. Sampai 20 September lalu, Dow Jones sudah anjlok 1.200 poin atau 12,8 persen. Padahal, ketika Pearl Harbour diserbu Jepang pada tahun 1942, indeks Dow Jones hanya jatuh 6,5 persen. Tetapi, ketika Nixon mengundurkan diri pada tahun 1974, indeks terkenal ini jatuh lebih dari 15,5 persen.
Di Washington, indeks komposit di Nasdaq, yang sarat dengan saham-saham teknologi, juga ikut jatuh. Posisi indeks Nasdaq berada di 1.470 atau terendah sejak tiga tahun lalu. Padahal tahun lalu Nasdaq pernah mencapai tingkat 5.000 ketika terjadi boom saham teknologi.
Dengan kejatuhan indeks utama tersebut, kerugian para pemodal di AS lebih dari US$ 1,2 triliun.
Hingga kini, proses kejatuhan masih terus berlangsung. Dan pelaku pasar pun semakin yakin bahwa AS akan segera jatuh ke jurang resesi yang menakutkan. Agustus lalu, angka pengangguran di AS sudah mencapai 4,9 persen—sebelumnya 4,5 persen. Padahal, akhir tahun lalu, angkanya baru mencapai 3,9 persen. Pascateror WTC, angka ini pasti terus menanjak. Perusahaan-perusahaan penerbangan di AS sudah mengumumkan bahwa puluhan ribu karyawan bakal diberhentikan untuk mengurangi kerugian. Bahkan Boeing—raksasa pembuat pesawat terbang—juga akan melakukan PHK terhadap sekitar 30 ribu karyawannya karena pesanan pesawat komersial jatuh.
Menurut Economic Cycle Research Institute, sejak Perang Dunia II angka pengangguran di atas 4 persen memberikan sinyal terjadinya resesi ekonomi. Sebelumnya, para analis memproyeksikan ekonomi AS tumbuh 0 persen atau flat di kuartal keempat dan akan mengalami kontraksi sekitar 0,75 persen di kuartal pertama tahun depan. Tetapi, kini, setelah teror WTC, pertumbuhan ekonomi AS sudah akan mengalami kontraksi 1 persen di kuartal ketiga dan 1,5 persen di kuartal keempat.
Bank sentral AS sebetulnya sudah melakukan antisipasi sejak awal tahun ketika, pada Januari, Alan Greenspan secara mendadak menurunkan suku bunga antarbank sebesar 50 basis poin menjadi 6 persen. Tetapi indikator ekonomi AS terus memburuk. Bank sentral terus melakukan pemotongan bunga. Senin pagi 17 September lalu, Greenspan melakukan pemotongan suku bunga yang kedelapan kalinya sebesar 50 basis poin menjadi 3 persen, yang sehari kemudian diturunkan lagi 25 basis poin menjadi hanya 2,75 persen untuk menghentikan "perdarahan" bursa Wall Street. Tetapi usaha bank sentral yang "patriotik" itu tak berhasil menghentikan "perdarahan". Pelaku pasar mendengar pengumuman tersebut dengan sikap dingin dan terus melakukan tekanan jual ke bursa untuk mengurangi kerugian, cut loss.
Sikap panik bukan saja terjadi pada pemodal AS. Di Eropa, investor di bursa London, Paris, Frankfurt, dan bursa Eropa lainnya ramai-ramai menjual saham secara panik. Saham asuransi yang tercatat di bursa London, Amsterdam, Frankfurt, Paris, Swiss dan lain-lain segera ambruk setelah dibayangi kerugian mereka di AS akibat teror.
Keadaan serupa terjadi di Asia ketika bursa dibuka sehari setelah teror. Para pialang di Asia ribut menjual saham penerbangan seperti JAL, SIA, dan lainnya, yang tak bisa terbang ke AS. Saham blue chips juga ikut ambruk. Meskipun di Asia tak terjadi teror seperti di WTC, mereka harus melakukan antisipasi terhadap kejatuhan Wall Street dan semakin dekatnya mereka dengan resesi.
Di Jepang, pemodal yang sudah "sakit gigi" karena ekonomi Negeri Matahari Terbit sudah mengalami kontraksi mulai kuartal kedua lalu juga menderita kerugian. Indeks Nikkei di Tokyo anjlok 7,66 persen sampai 20 September lalu. Ini angka yang terendah sejak 20 tahun lalu. Kekayaan investor yang "menguap" ke udara Jepang mencapai US$ 123 miliar lebih. Bisa dipastikan, bank-bank besar di Jepang akan segera "gulung tikar" karena ekuitinya—kebanyakan dalam bentuk obligasi dan saham yang tercatat di Tokyo dan New York—terus menyusut. Dengan kondisi seperti ini, rasio kecukupan modal bank-bank di Jepang akan menjadi negatif, sementara utang macet akan menggunung.
Betapa dalamnya pengaruh teror WTC terhadap Asia bisa dilihat dari jatuhnya indeks di berbagai bursa regional. Sampai 20 September lalu, indeks Kospi di Korea telah anjlok 13,28 persen, Straits Timers di Singapura jatuh 14,83 persen, Hang Seng di Hong Kong minus 10,54 persen, dan indeks SET di Bangkok turun paling drastis sebesar 18,09 persen. Total kerugian investor di Asia lebih dari US$ 237 miliar di luar Bombay, Australia, dan Selandia Baru.
Sebetulnya, dibandingkan dengan bursa dunia lainnya, Indonesia masih termasuk "beruntung". Indeks komposit di Bursa Efek Jakarta hanya terpangkas 5,37 persen. Kapitalisasi pasar yang hanya Rp 279 triliun menciut Rp 25 triliun. Sebagian spekulator di Jakarta bahkan berhasil memanfaatkan kejatuhan indeks tersebut dengan melakukan short selling. Menjual dulu, baru membeli kemudian. Memang tak ada bank yang mau menjamin penyerahan efek. Tetapi, kalau tindakan itu dilakukan pada hari yang sama, mereka bisa melakukan "netting". Beres.
Dalam satu hal, Indonesia memang di-"untung"-kan oleh serangan mega-teror di AS itu. Harga minyak mentah naik beberapa dolar karena pedagang panik. Bila AS benar-benar melakukan serangan terhadap Afghanistan untuk menangkap Osama bin Ladin, tersangka utama teror tersebut, harga minyak pasti akan melambung.
Wall Street "berdarah" dan bursa dunia hancur gara-gara dua gedung kembar WTC ambruk ditabrak pesawat yang dibajak teroris. Kalau "aktor intelektual" teror ini betul Osama bin Ladin, pastilah dia seorang genius. Dia tahu persis ekonomi dunia diwarnai penggelembungan atau bubble economy. Dengan bersenjatakan pisau pemotong kertas, gelembung itu bisa dirobek dan kempes. Kerugiannya luar biasa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini