Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Pengungsi Membawa Nikmat

Dana untuk para pengungsi di Palu, Kendari, dan Nusatenggara Timur diduga dilahap sejumlah oknum pejabat.

30 September 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ANAK empat tahun itu terlihat sakit, kotor, dan lapar. Dari hidungnya berleleran ingus. Berkali-kali ia menyusut hidungnya dengan tangan kanan. Di tangan itu juga ada jagung rebus yang dari tadi digerogotinya pelan. Sebentar kemudian, sang nenek menyodorkan mi rebus—sumbangan kelompok relawan. Tanpa ampun, anak yang rupanya lapar berat ini "menghajar" hidangan yang jarang ditemuinya itu sampai ludes. Dia hanya satu anak dari sekian banyak anak pengungsi yang masih bertahan di depan Bioskop Beringin di tengah Kota Palu, Sulawesi Tengah. Mi rebus mestinya mudah didapatkan. Tapi, di penampungan pengungsi di Kota Palu, mi adalah kemewahan. Sebungkus bisa mengganjal perut siang-malam. Itu pun jika sedang beruntung. Bila sedang apes, yang tersuguh hanyalah nasih putih berlauk garam. "Saya dapat jatah empat liter beras dan tujuh bungkus mi seminggu," kata Zainabbe, 56 tahun, nenek anak empat tahun itu, kepada TEMPO. Zainabbe adalah penduduk Kota Poso, Sulawesi Tengah. Sejak pecah perang beraroma suku, ras dan agama di Poso tahun 1999, ia bersama 79 ribu pengungsi lainnya hijrah ke berbagai tempat. Di Palu saja kini ada 27 ribu orang. Zaenabbe membawa serta cucunya, yang ditinggal mati kedua orang tuanya dalam kerusuhan itu. Bersama sekitar 200 orang pengungsi lainnya, nenek tua ini bersama cucunya tinggal di emperan Bioskop Beringin. Tidur beralaskan tikar, kaum pengungsi itu menjadi langganan berbagai penyakit. Infeksi pernapasan, busung lapar, diare adalah penyakit yang kerap menyinggahi anak-anak di penampungan itu. "Sampai Juni tahun ini, sudah 70 orang pengungsi Poso meninggal dunia. Sekitar 80 persennya adalah anak-anak," kata Yus Mangun, Koordinator Umum Posko Pengungsi Poso di Palu. Dua bulan lalu, seberkas api harapan muncul di tempat kumuh itu: pemerintah segera membangun 400 unit rumah sebagai bantuan Pemerintah Daerah Sulawesi Tengah. Para pengungsi itu bersorak riang ketika Agustus lalu 6.000 lembar seng, 2.000 sak semen, dan ribuan papan tripleks mulai diturunkan dari sebuah kapal perang. Tapi, mereka seperti pungguk merindukan bulan. Rumah bantuan itu tak kunjung berdiri. Malah beredar kabar bahwa bahan bangunan itu sudah diberikan kepada sejumlah kontraktor oleh Pemerintah Daerah Poso. Seorang kontraktor sudah pula menggunakan ratusan sak semen untuk membangun sebuah jembatan. Bantuan yang salah alamat? Seharusnya begitu. Tapi ketika dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Poso, beberapa pekan lalu, semua wakil rakyat itu memahami langkah Pemerintah Daerah Poso meminjamkan bantuan tersebut. Ternyata, yang menerima "berkah" bantuan ini adalah seorang kontraktor yang juga "merangkap" anggota DPRD dari Kabupaten Morowali—kabupaten baru hasil pemekaran Kabupaten Poso setahun lalu. Kepada TEMPO, Wakil Bupati Poso, A. Malik Syahadat, membenarkan adanya bantuan untuk mendirikan 400 unit rumah itu. Hanya, kata Malik, bantuan itu bukan untuk pengungsi ataupun masyarakat umum, melainkan untuk pegawai negeri sipil Kabupaten Poso yang rumahnya hangus dilalap api saat ke-rusuhan meletus. Repotnya, saat pendaftaran dibuka, jumlah pegawai negeri yang mengaku rumahnya terbakar bejibun. Begitu dicek di lapangan, ternyata banyak yang berbohong. Agar tidak salah alamat, pemerintah lalu mengadakan pengecekan berulang-ulang. Repotnya, kata Malik, ribuan sak semen itu terancam membatu. Itu sebabnya Pemerintah Daerah Poso memutuskan meminjamkan semen itu kepada kontraktor. "Daripada membeku, lebih baik diberikan kepada kontraktor," kata Malik, yang juga Ketua Satuan Koordinasi Pelaksana Bencana Alam dan Pengungsi Kabupaten Poso. Malik juga mengakui bahwa kontraktor yang "ketiban bulan" itu adalah anggota DPRD Morowali. Belum jelas bagaimana sang kontraktor akan mengembalikan bantuan itu, tapi semrawutnya dana bantuan untuk pengungsi terjadi di mana-mana. Di Kupang, Nusatenggara Timur, tempat berjejalnya sekitar 250 ribu pengungsi asal Timor-Timur, urusannya kurang-lebih sama. Jumlah dana yang diributkan sebesar Rp 600 miliar rupiah. Fulus segunung itu adalah bantuan masyarakat Indonesia yang diserahkan tahun 2000 lalu lewat wakil presiden yang saat itu dijabat oleh Megawati Sukarnoputri. Uang langsung disetor ke provinsi. Dari provinsi, dana lalu mengalir ke sejumlah kabupaten, di antaranya ke Kabupaten Alor sebanyak Rp 15 miliar, Kabupaten Belu Rp 32 miliar, Kabupaten Timor Tengah Utara Rp 28 miliar, Kabupaten Timor Tengah Selatan Rp 15 miliar, dan Kabupaten Kupang sejumlah Rp 28 miliar. Sisanya dikelola oleh provinsi. Kabar yang beredar di NTT, sejak pertengahan Agustus lalu laporan pertanggungjawaban dana itu kabur-kabur air. Sumber TEMPO di Kejaksaan Tinggi NTT menuturkan bahwa sejumlah pejabat kabupaten dan provinsi diduga ikut mengeruk di air keruh. Bupati Kabupaten Kupang, Drs. I.A. Medah, misalnya, disebut-sebut ikut bermain-main di air keruh itu. Kabarnya, Medah menggunakan sebagian dana itu untuk bisnis rumput laut yang selama ini ditekuninya. Selain itu, Medah juga dituduh membagikan Rp 3,9 miliar ke sejumlah pengusaha lokal untuk pengembangan rumpon (rumah ikan). Benar, Pak Bupati? "Tidak. Kalau ada yang berani, silakan buktikan. Saya siap dipenjarakan, baru diperiksa," Medah membantah. Menurut dia, dana Rp 28 miliar yang diterima oleh daerahnya sudah semuanya disalurkan melalui para koordinator di pengungsian. "Jadi, kalau mau ditanya, tanyakan saja sama koordinator itu," tuturnya. Gubernur NTT, Piet Tallo, menuturkan bahwa soal penggunaan dana itu sudah dilaporkan kepada Presiden Megawati lewat Wakil Presiden Hamzah Haz. Tallo juga membantah berita sejumlah media massa lokal yang menyebutkan bahwa laporan Tallo itu mentok alias ditolak oleh Wakil Presiden. "Pemberitaan itu tidak benar. Omongan itu hanya menyudutkan pemerintah provinsi," kata Tallo kepada Koran Tempo dua pekan lalu. Sumber TEMPO di kejaksaan tinggi tersebut menuturkan bahwa laporan pertanggungjawaban dana Rp 600 miliar itu memang diterima oleh wapres, tapi itu setelah dipermak alias dimanipulasi di sana-sini. Sumber ini menuturkan bahwa sejumlah anggota DPRD NTT dari Fraksi PDI-P memiliki data soal penyimpangan ini. Sayang, Ir. Karel Mboek, Ketua Fraksi PDI Perjuangan NTT, belum mau membuka soal ini. Alasannya, menunggu waktu yang tepat. Kapan? Entahlah. Dan setiap bulan dua sampai tiga pengungsi terus berjatuhan, tewas oleh lapar dan penyakit. Wens Manggut, Muhamad Darlis (Palu), Cyriakus Kiik(Kupang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus