Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Sulitnya Mencuci Detergen

Senyawa dalam detergen berpotensi menimbulkan kanker. Kemungkinan terbawa hingga ke air ledeng.

30 September 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERINGATAN bagi pemakai mesin cuci bertenaga nasi rames. Jika tangan terasa panas, apalagi lecet saat mengucek cucian, bisa jadi benda asing sudah ma-suk ke tubuh. Repotnya, benda asing yang berasal dari detergen itu bisa memicu timbulnya kanker. Bahaya detergen ini terungkap dalam diskusi "Detergen, Peluang dan Tantangan Menuju Ramah Lingkungan", di Jakarta, Rabu dua pekan lalu. Diskusi itu mengungkap hasil penelitian Tim Pengabdian Masyarakat dari Institut Teknologi Bandung, yang bekerja sama dengan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Mereka meneliti zat-zat yang terkandung dalam 20 merek detergen. Hasilnya menunjukkan senyawa dalam detergen bersifat karsinogen (memicu timbulnya kanker). Tingkat keasaman (Ph) detergen rata-rata 10 hingga 12, sementara Ph yang bisa ditoleransi kulit manusia adalah 6 hingga 9. Akibatnya, detergen menimbulkan iritasi pada kulit sehingga membuka pintu bagi masuknya senyawa berbahaya detergen ke tubuh. Selain berbahaya bagi manusia, air bekas cucian yang dibuang ke sungai mengancam lingkungan. Zat yang ada dalam detergen memacu pertumbuhan eceng gondok dan gulma air. Ledakan jumlah tanaman pengganggu ini akan menyumbat aliran sungai dan menimbulkan pendangkalan. Tanaman yang menutup permukaan air menghambat masuknya sinar matahari dan oksigen ke air. Akibatnya, kualitas air menurun dan ikan-ikan makin susah hidup. Pengaruh yang sama juga terjadi jika busa detergen yang menumpuk di sungai-sungai menutupi per-mukaan air. Bukan hanya dalam sabun cuci, campuran detergen sering kali terdapat dalam sabun mandi dan sampo. Pengaruh detergen ini memang tidak serta-merta membuat seseorang terserang kanker. Namun, jika dosisnya menumpuk di dalam tubuh, pengaruh itu akan makin cepat. Detergen merupakan merek dagang dari surfactant sebagai bahan baku utamanya. Surfactant tersusun dari senyawa ABS (acyl benzena sulfonate). "Senyawa ini tidak direkomendasikan bagi produsen sabun," kata Made Arcana dari Institut Teknologi Bandung (ITB). Sebab, senyawa ABS sulit terurai secara alami. Belum lagi zat-zat lain yang dicampurkan pada detergen seperti pengharum, pemutih, pewarna, enzim, serta segala macam zat lain. Akibatnya, sejumlah negara maju melarang penggunaan ABS. Bahkan Malaysia, Thailand, Vietnam, Kolombia, dan negara berkembang lainnya juga mengharamkannya. Sejumlah produsen mulai mengikuti pasar dengan mengganti ABS dengan senyawa LAS (linear alcyl sulfonate). "LAS memang lebih mudah terurai dibanding ABS," kata Budiawan. Namun, menurut Kepala Pusat Kajian Risiko dan Keselamatan Lingkungan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia ini, bukan berarti senyawa itu aman. Kontak langsung dengan kulit mesti dihindari. Cara terbaik mengambil detergen adalah dengan sendok takar, dan mencuci dengan mesin cuci. Sebelum dibuang dan bercampur dengan bahan baku air bersih, limbah cucian membutuhkan proses pengolahan yang rumit. Agar senyawa detergen terurai, limbah harus mendapat sinar ultraviolet yang cukup dan diendapkan sekitar tiga pekan. Makanya, negara yang mengizinkan pemakaian LAS rata-rata sudah memiliki sistem pengolahan air yang memadai. Sayangnya, pengolahan air bersih di Indonesia belum ada yang memiliki peralatan memadai. Tak aneh jika Budiawan khawatir air minum di kota-kota besar masih mengandung zat aktif detergen. Jika air itu dikonsumsi, bahaya kanker masih mengancam. PT Perusahaan Air Minum (PAM) Lyonnaise Jakarta (Palyja) mengaku belum memiliki peralatan khusus untuk menguraikan senyawa detergen. Namun, mitra asing PAM Jaya ini menjamin air yang disalurkan ke rumah-rumah telah memenuhi standar air bersih. "Kami menaburkan bubuk karbon aktif ke dalam air baku untuk mengurai senyawa detergen," kata Maria Sidabutar, Public Relation PT Palyja. Sementara itu, salah satu produsen detergen, PT Unilever Indonesia, mengaku sudah mengganti ABS dengan bahan lain yang lebih ramah lingkungan. "Produk kami sudah memenuhi standar dunia," demikian klaim Anton Situmeang, Media Relation Officer PT Unilever Indonesia. YLKI sendiri menyesalkan, di Indonesia belum ada aturan main tentang zat yang diizinkan dipakai dalam detergen. Sementara itu, melarang produk detergen tidak mungkin. Untuk melindungi konsumen, menurut Iliani Sudrajat, peneliti dari YLKI, produsen harus mencantumkan di kemasannya bahan-bahan yang terkandung dalam detergen. "Biarkan konsumen memilih produk yang aman bagi mereka," kata Iliani. Namun, langkah terbaik menurut Iliani adalah kembali ke sabun yang tidak mengandung detergen. Sabun biasa terbuat dari minyak kelapa sawit atau minyak hewan, yang aman bagi kesehatan dan mudah terurai di alam. Agung Rulianto dan Agus Hidayat

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus