Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Burung jalak yang menggoda

Untuk menyelamatkan burung jalak putih yang hampir punah, suaka alam bali barat direncanakan akan dijadikan taman nasional. disana satu-satunya habitat bagi burung jalak putih.(ling)

14 Maret 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENJELANG tahun 1982 Pulau Bali diharapkan memiliki Taman Nasional, suatu wadah pelestarian sebagian alamnya. Apakah mungkin? "Saya tidak melihat suatu halangan," kata Menteri Negara PPLH Emil Salim kepada TEMPO Pekan lalu. Gagasan itu saat ini digodok di Jakarta, mengikuti kebijaksanaan pemerintah yang Maret tahun lalu mengukuhkan 5 wilayah di Indonesia sebagai Taman Nasional. Yaitu kawasan Gunung Leuser di Aceh, Ujungkulon dan Gunung Gde Pangrango di Ja-Bar, Baluran di Ja-Tim dan Pulau Komodo di NTT dengan jumlah areal 1 juta hektar. "Kalau dilihat potensinya, kawasan Suaka Alam Bali Barat tak jauh bedanya dengan kelima daerah itu," ucap Ir. Yus Rustandi, Kepala Sub Balai PPA Bali kepada TEMPO. Hutan Bali Barat itu merupakan satu-satunya habitat hagi burung jalak putih. Burung khas alam Bali yang di seluruh dunia hanya bisa ditemukan di pulau dewata itu sekarang sudah amat langka. "Kami perkirakan jumlahnya tinggal 150 ekor," ucap Rustandi. "Karena itu kami usulkan supaya Suaka Alam Bali Barat juga bisa dijadikan Taman Nasional. Sejak tahun 1966 Jalak putih dicantumkan dalam Red Data Book. Daftar satwa dan tanaman yang terancam punah di seluruh dunia itu, diterbitkan International Union for the Conservation of Nature and Natural Resources (Uni Internasional Urusan Pelestarian Alam dan Sumber Daya Alam). Dalam klasifikasi biologis, jalak putih termasuk suku Sturnidae, bagian dari bangsa Passeriformes atau burung berjengger. Burungnya tidak besar tapi penampilannya memang cantik dengan bulunya yang putih bersih. Kontras yang ditimbulkan warna hitam pada ujung sayap primer lebih memantapkan lagi warna putih itu. Sedang warna kuning kecoklatan di ujung paruhnya bersama matanya yang hitam bening melengkapi citra indah burung itu. Kicaunya khas dan ia gemar menirukan berbagai suara lain. Jika hinggap di pohon kayu, kuncir gilik yang tumbuh di kepalanya jelas terlihat. Umumnya pada burung jantan, kuncir ini lebih panjang dibanding burung betina. Kecantikan penampilan jalak putih itu menggoda banyak penggemarnya. Hingga banyak burung itu ditangkap dan diperjualbelikan. Harganya lumayan. Seekor bisa laku Rp 25.000. Tak jarang juga ia diselundupkan ke luar negeri. Bukan hanya faktor kelangkaan jalak putih itu, tapi juga potensi fauna dan flora lain cukup beralasan menjadikan kawasan itu Taman Nasional. Di situ juga terdapat rusa, kijang, babi hutan, kera, lutung, tupai, tenggiling, luwak, anjing liar dan bahkan juga banteng. Dan di samping berbagai jenis tanaman yang beraneka ragam ada juga nilai kultural. Kawasan itu berbatasan dengan Teluk Terima yang dalam berbagai legenda Bali sangat tersohor. Menurut rencana, areal Taman Nasional itu nanti hampir 4 kali lebih luas dari Suaka Alam sekarang hingga menjadi 80.000 hektar. Suaka Alam Bali Barat sekarang (20.600 hektar) terbagi 4 kompleks Gunung Perapatagung (4.600 ha), Banyuwedang (9.400 ha), Gunung Bakungan (1.000 ha) dan Candikusumah (5.600 ha). Ketinggian wilayah itu beranjak dari 200 m sampai 800 m di atas permukaan laut. Di bagian timur membentang pegunungan dengan puncak Gunung Banyuwedang dan Gunung Welaya. Di bagian barat menjulang puncak Gunung Kelatakan, Gunung Bakungan dan Gunung Penginuman. Sedang pemandangan luas terlihat dari mess PPA 'Sumber Rejo di Sumber, menjangkau pantai utara Pulau Bali dengan puncak Gunung Perapatagung yang mengawal Teluk Terima dengan Pulau Menjangan yang indah di kejauhan. Tapi rencana menjadikannya Taman Nasional menyentuh berbagai kepentingan manusia. Antara lain terdapat 1.200 KK yang menghuni wilayah itu, menggarap tanah yang ditanami palawija. Mereka semula memburuh di konsesi hutan di wilayah itu. Kemudian mereka tetap kerasan tinggal di sana sebagai buruh penggarap. "Jika mereka menyadari bahwa tanah itu milik negara, memindahkan mereka tidak sulit," ujar Rustandi. Kesadaran itu bukan tidak ada. Tapi Bu Jai, 30 tahun, salah seorang buruh penggarap itu kini hidup lebih baik ketimbang di daerah asalnya, Jember di Ja-Tim. "Kalau dipindahkan, saya perlu tanah," ucap Bu Jai singkat. Juga Tukimin, 40 tahun, mengatakan ia tidak keberatan pindah jika disediakan tanah dan tempat tinggal. Tukimin, yang sudah 10 tahun tinggal di sana, kini menggarap tanah 1 hektar. Dengan hasil jagung, tomat, kacang dan cabai, kehidupannya sekeluarga lebih baik dari pada ketika jadi pengumpul beling di daerah asalnya, juga Jember. Menteri Emil Salim akhir tahun lalu mengunjungi Suaka Alam Bali Barat dan berdialog dengan penduduknya. Problem penduduk itu tak sulit baginya. Ia mengusulkan dua pcmecahan karena Taman Nasional membutuhkan suatu bufferzone (jalur pelindung) di sekitarnya, sebagian penduduk itu bisa menempati zone itu sambil mencegah pendatang baru. Sebagian lagi diusahakan untuk ditransmigrasikan. "Kita carikan tanah dan fasilitas baik bagi mereka," katanya. "Kedua cara dijalankan bersamaan." Problem lain ialah adanya dua instansi yang berwenang mengolah kawasan Suaka Alam itu. Yaitu PPA yang bertugas melestarikan alamnya dan Dinas Kehutanan yang bertugas mengolah hutan itu secara ekonomis. Tahun 1977 sebagian hutan Bali Barat ditetapkan sebagai hutan produksi. Muncul pula sebuah pabrik minyak kayu putih, mengabaikan segala keberatan pihak PPA. Untuk memenuhi kebutuhan bahan baku pabrik itu, sebagian hutan suaka alam itu dibabat dan ditanami kayu putih. Sebagian satwa di situ lari karena itu, tak terkecuali jalak putih. Pabrik itu menggunakan areal 872 hektar kawasan hutan itu untuk tanaman kayu putih. Menurut Sutrisno, penanggung jawab operasional pabrik itu, kualitas minyak kayu putih yang dihasilkannya cukup memuaskan. Tapi menurut Emil Salim, pabrik milik Pemda Bali itu sebetulnya tidak rendable (menguntungkan). Sementara itu Pemda Bali sendiri tampaknya serius mengatasi semua problem itu menjelang tahun 1982. Kebetulan pada tahun itu di Bali akan berlangsung Kongres Taman Nasional Sedunia. "Alangkah lucunya sebagai tuan rumah tidak memiliki Taman Nasional," kata Rustandi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus