MENJELANG tahun 1982 Pulau Bali diharapkan memiliki Taman
Nasional, suatu wadah pelestarian sebagian alamnya. Apakah
mungkin? "Saya tidak melihat suatu halangan," kata Menteri
Negara PPLH Emil Salim kepada TEMPO Pekan lalu.
Gagasan itu saat ini digodok di Jakarta, mengikuti kebijaksanaan
pemerintah yang Maret tahun lalu mengukuhkan 5 wilayah di
Indonesia sebagai Taman Nasional. Yaitu kawasan Gunung Leuser
di Aceh, Ujungkulon dan Gunung Gde Pangrango di Ja-Bar,
Baluran di Ja-Tim dan Pulau Komodo di NTT dengan jumlah areal 1
juta hektar. "Kalau dilihat potensinya, kawasan Suaka Alam Bali
Barat tak jauh bedanya dengan kelima daerah itu," ucap Ir. Yus
Rustandi, Kepala Sub Balai PPA Bali kepada TEMPO.
Hutan Bali Barat itu merupakan satu-satunya habitat hagi burung
jalak putih. Burung khas alam Bali yang di seluruh dunia hanya
bisa ditemukan di pulau dewata itu sekarang sudah amat langka.
"Kami perkirakan jumlahnya tinggal 150 ekor," ucap Rustandi.
"Karena itu kami usulkan supaya Suaka Alam Bali Barat juga bisa
dijadikan Taman Nasional.
Sejak tahun 1966 Jalak putih dicantumkan dalam Red Data Book.
Daftar satwa dan tanaman yang terancam punah di seluruh dunia
itu, diterbitkan International Union for the Conservation of
Nature and Natural Resources (Uni Internasional Urusan
Pelestarian Alam dan Sumber Daya Alam).
Dalam klasifikasi biologis, jalak putih termasuk suku
Sturnidae, bagian dari bangsa Passeriformes atau burung
berjengger. Burungnya tidak besar tapi penampilannya memang
cantik dengan bulunya yang putih bersih. Kontras yang
ditimbulkan warna hitam pada ujung sayap primer lebih
memantapkan lagi warna putih itu. Sedang warna kuning kecoklatan
di ujung paruhnya bersama matanya yang hitam bening melengkapi
citra indah burung itu.
Kicaunya khas dan ia gemar menirukan berbagai suara lain. Jika
hinggap di pohon kayu, kuncir gilik yang tumbuh di kepalanya
jelas terlihat. Umumnya pada burung jantan, kuncir ini lebih
panjang dibanding burung betina. Kecantikan penampilan jalak
putih itu menggoda banyak penggemarnya. Hingga banyak burung itu
ditangkap dan diperjualbelikan. Harganya lumayan. Seekor bisa
laku Rp 25.000. Tak jarang juga ia diselundupkan ke luar negeri.
Bukan hanya faktor kelangkaan jalak putih itu, tapi juga potensi
fauna dan flora lain cukup beralasan menjadikan kawasan itu
Taman Nasional. Di situ juga terdapat rusa, kijang, babi hutan,
kera, lutung, tupai, tenggiling, luwak, anjing liar dan bahkan
juga banteng. Dan di samping berbagai jenis tanaman yang
beraneka ragam ada juga nilai kultural. Kawasan itu berbatasan
dengan Teluk Terima yang dalam berbagai legenda Bali sangat
tersohor. Menurut rencana, areal Taman Nasional itu nanti hampir
4 kali lebih luas dari Suaka Alam sekarang hingga menjadi 80.000
hektar.
Suaka Alam Bali Barat sekarang (20.600 hektar) terbagi 4
kompleks Gunung Perapatagung (4.600 ha), Banyuwedang (9.400 ha),
Gunung Bakungan (1.000 ha) dan Candikusumah (5.600 ha).
Ketinggian wilayah itu beranjak dari 200 m sampai 800 m di atas
permukaan laut. Di bagian timur membentang pegunungan dengan
puncak Gunung Banyuwedang dan Gunung Welaya. Di bagian barat
menjulang puncak Gunung Kelatakan, Gunung Bakungan dan Gunung
Penginuman. Sedang pemandangan luas terlihat dari mess PPA
'Sumber Rejo di Sumber, menjangkau pantai utara Pulau Bali
dengan puncak Gunung Perapatagung yang mengawal Teluk Terima
dengan Pulau Menjangan yang indah di kejauhan.
Tapi rencana menjadikannya Taman Nasional menyentuh berbagai
kepentingan manusia. Antara lain terdapat 1.200 KK yang menghuni
wilayah itu, menggarap tanah yang ditanami palawija. Mereka
semula memburuh di konsesi hutan di wilayah itu. Kemudian mereka
tetap kerasan tinggal di sana sebagai buruh penggarap. "Jika
mereka menyadari bahwa tanah itu milik negara, memindahkan
mereka tidak sulit," ujar Rustandi.
Kesadaran itu bukan tidak ada. Tapi Bu Jai, 30 tahun, salah
seorang buruh penggarap itu kini hidup lebih baik ketimbang di
daerah asalnya, Jember di Ja-Tim. "Kalau dipindahkan, saya perlu
tanah," ucap Bu Jai singkat. Juga Tukimin, 40 tahun, mengatakan
ia tidak keberatan pindah jika disediakan tanah dan tempat
tinggal. Tukimin, yang sudah 10 tahun tinggal di sana, kini
menggarap tanah 1 hektar. Dengan hasil jagung, tomat, kacang dan
cabai, kehidupannya sekeluarga lebih baik dari pada ketika jadi
pengumpul beling di daerah asalnya, juga Jember.
Menteri Emil Salim akhir tahun lalu mengunjungi Suaka Alam Bali
Barat dan berdialog dengan penduduknya. Problem penduduk itu tak
sulit baginya. Ia mengusulkan dua pcmecahan karena Taman
Nasional membutuhkan suatu bufferzone (jalur pelindung) di
sekitarnya, sebagian penduduk itu bisa menempati zone itu sambil
mencegah pendatang baru. Sebagian lagi diusahakan untuk
ditransmigrasikan. "Kita carikan tanah dan fasilitas baik bagi
mereka," katanya. "Kedua cara dijalankan bersamaan."
Problem lain ialah adanya dua instansi yang berwenang mengolah
kawasan Suaka Alam itu. Yaitu PPA yang bertugas melestarikan
alamnya dan Dinas Kehutanan yang bertugas mengolah hutan itu
secara ekonomis. Tahun 1977 sebagian hutan Bali Barat
ditetapkan sebagai hutan produksi. Muncul pula sebuah pabrik
minyak kayu putih, mengabaikan segala keberatan pihak PPA. Untuk
memenuhi kebutuhan bahan baku pabrik itu, sebagian hutan suaka
alam itu dibabat dan ditanami kayu putih. Sebagian satwa di
situ lari karena itu, tak terkecuali jalak putih.
Pabrik itu menggunakan areal 872 hektar kawasan hutan itu untuk
tanaman kayu putih. Menurut Sutrisno, penanggung jawab
operasional pabrik itu, kualitas minyak kayu putih yang
dihasilkannya cukup memuaskan. Tapi menurut Emil Salim, pabrik
milik Pemda Bali itu sebetulnya tidak rendable
(menguntungkan).
Sementara itu Pemda Bali sendiri tampaknya serius mengatasi
semua problem itu menjelang tahun 1982. Kebetulan pada tahun itu
di Bali akan berlangsung Kongres Taman Nasional Sedunia.
"Alangkah lucunya sebagai tuan rumah tidak memiliki Taman
Nasional," kata Rustandi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini