Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosok

Sokran, si sahibulhikayat

Tukang dongeng dari desa pangkatrejo, kecamatan sekaran lamongan, jawa timur. di dalam kepalanya tersimpan 118 buah cerita. menganggap tukang dongeng telah membantu perjuangan.(tk)

14 Maret 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KETIKA seorang protokol memanggil namanya, lelaki tua itu bangkit terhuyung-huyung. Ia mengambil tempat di podium yang memang sudah disediakan. Setelah pasang tabik sebagaimana galibnya, ia pun mulai mendongeng. Hadirin yang semula hiruk-pikuk, tiba-tiba adi tenang. "Memang asyik mengikuti dongengan Cak Sokran ini," kata seorang penonton yang telah beberapa kali mengikuti dongengan Sokran "ia bisa menghidupkan cerita, sehingga seolah-olah penonton seperti menyaksikan ludruk atau ketoprak." Sokran, 63 tahun, di Desa Pangkatrejo, Kecamatan Sekaran, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur, sejak berusia 17 tahun sudah jadi tukang dongeng. Kini ia satu-satunya sahibulhikayat jempolan di kawasan itu. Banyak orang sudah dibuatnya mabuk, ketagihan dongeng. Hajat pernikahan atau khitanan, bila tidak disertai kehadiran Pak Dongeng, ini -- demikian julukannya rasanya seperti masakan kurang kecap. Joko Tarub Di musim panen atau pada hari-hari besar Islam, Sokran sulit dijumpai di rumah. Dengan 118 buah dongeng yang setiap kali siap mengucur dari mulutnya, ia terlempar dari satu rumah ke rumah penduduk yang lain. Kadangkala terpaksa bermalam di rumah sahibulhajat. "Maklum setiap dongeng itu kadang baru bisa tamat pukul 2 malam," kata Sokran pada TEMPO. Yang paling digandrungi rakyat Lamongan adalah dongeng tentang kisah berdirinya Lamongan sendiri. Pada hari-hari libur sekolah, sering datang rombongan anak sekolah ke rumah Sokran. Mereka ingin mendengar cerita sejarah Majapahit. Sokran selalu melayani dengan senang hati. "Walaupun banyak juga tahun-tahun yang tak cocok," kata seorang murid SMP Muhammadiyah, tetangganya. Jawab Sokran "Ah, saya sudah tua, lupa tahun-tahun yang pasti dari kisah Majapahit dan kerajaan Jawa lainnya." Tapi tak lupa pula, ia juga mengaku punya sambungan keturunan dengan tokoh-tokoh kerajaan Majapahit. Di samping cerita Majapahit, Sokran mahir mengisahkan Aladin dan Abunawas yang disukai anak-anak karena jenaka. Kalau berhadapan dengan orang-orang tua, ia akan menyimak Angling Darmo, Joko Tarub atau Damar Wulan. Cerita ini cukup seru dan panjang. "Biar pun panjang, orang tak pernah bosan. Mereka tahan kantuk," kata Sokran. Di sebuah desa di Bojonegoro, ia pernah mendongeng sampai subuh. Tak seorang pun menguap sampai kisah selesai. Esok harinya baru terbongkar, rupanya hadirin telah diberi kopi khusus yang dibuat dengan campuran daun kecubung, sehingga melotot terus. Untuk anak-anak muda, Sokran pun punya cerita jitu. Ia akan berkisah tentang cinta, kesetiaan dan sebagainya. Misalnya riwayat Banyuwangi yang menampilkan seorang permaisuri yang setia. Untuk membuktikan kesetiaannya, karena dituduh berbuat serong, ia rela disembelih. Darahnya yang tercecer di Selat Bali kemudian meruapkan bau wangi. Itu sebabnya sekarang ada kota bernama Banyuwangi. Sokran yang murah senyum tinggal bersama ke-6 anakya, empat perempuan, dua lelaki, di sebuah rumah papan di Desa Pangkatrejo -- 32 kilometer dari Lamongan. Tarifnya mendongeng di desa sendiri sekali panggil, sekitar Rp 3.000. Ditambah dengan bingkisan kue dan nasi. Harga tidak mati, artinya masih bisa ditawar. Untuk keluar kota ia sering diberi Rp 5000. "Pokoknya diberi berapa saja saya terima," kata Sokran. Kalau diundang main di lingkungan desanya, ia biasa datang pakai sepeda dengan topi hitam yang dipasang miring. Kalau ke luar kota lazimnya dijemput motor, atau dapat sangu uang taksi. Dengan perawakan gemuk, Sokran selalu tampak lebih muda dari usianya. Ia selalu mengenakan kacamata yang minus 3. Tak pernah diserang penyakit yang serius, kecuali batuk-batuk -- tapi ini pun sudah mengganggu pekerjaannya yang seratus persen memakai mulut. Almarhum ayahnya, Karnawi, juga seorang tukang dongeng. Dan rupanya sejak kecil Sokran sudah disiapkan oleh ayahnya. Pada masa remaja, karirnya itulah yang mengantarkan cinta kepadanya. Seorang gadis rupawan sempat tergila-gila. Tidak hanya pada dongeng Sokran, tapi pada manusianya. Melalui proses yang sederhana, wanita itu kemudian menjadi Nyonya Sokran sampai sekarang. "Anehnya, sekarang, setelah saya sudah menjadi istrinya, tak gemar lagi dongengannya," kata perempuan itu berkelakar. Mendiang Karnawi, di zaman penjajahan, sering diundang ke Solo dan beberapa kota di Jawa Tengah. Waktu itu tukang dongeng masih banyak. Tapi Karnawilah yang paling tersohor. Ia memiliki buku-buku dengan tulisan aksara Jawa-Kawi atau Jawa Gundul yang membuat dongeng dan babad Tanah Jawa. Buku-buku itulah yang sampai, kini merupakan sumber ilham Sokran. Semuanya dihapal di luar kepala. "Saya masih ingat dulu, sebelum tidur, ayah dan ibu sering menceritakan kisah raja-raja Jawa dan cerita yang lucu-lucu sebelum saya berangkat tidur," kata Sokran. "Dulu lain. Bayaran mendiang ayah saya setiap kali mendongeng, cukup untuk makan satu minggu." Dulu, di Lamongan dan sekitarnya, mendongeng termasuk profesi. Waktu itu tak kurang dari 10 orang dedengkotnya. Seorang di antaranya Karnawi. Satu per satu kemudian meninggal. Sedang anak-anaknya atau orang lain kecuali Sokran -- tak ada yang mau melanjutkan. Sokran sendiri, dalam meneruskan profesi ayahnya, punya pandangan yang khusus. Ia menganggap tukang dongeng berjasa besar. "Dengan dongeng, pendongeng menanamkan rasa keunggulan nenek-moyang zaman dulu, hingga bisa diharap menimbulkan rasa bangga diri terhadap pemerintah kolonial yang suka menghina bangsa kita," tutur Sokran. Usaha patriotik ini bagi Sokran jelas. Bahkan disadari oleh setiap tukang dongeng, Sebagai bukti ia menunjuk banyaknya jumlah pejuang dari desa-desa tempat kelahiran para pendongeng di Lamongan, yang gugur selama revolusi fisik. Termasuk ayahnya, Karnawi. Karena itu tak heran, sampai sekarang di samping menghibur, Sokran selalu dengan sadar menggali soal-soal heroisme. 'Tidak semua dongeng itu bohong lho, sebagian besar sejarah, alias benar-benar terjadi," katanya. Sokran membawakan kisahnya dalam bahasa Jawa. Karena, itulah bahasa yang paling dikuasainya. Ia mengaku kurang trampil berbahasa Indonesia, sehingga sulit untuk dijadikan bahasa pengantar cerita. "Agak kaku, jadi dongengnya bisa tidak hidup," katanya terus terang. Dalam hal ini ia menjadi dirinya sendiri. Tekun dengan profesi sebagai tukang dongeng, Sokran sempat juga menikmati hidup. Termasuk mempersiapkan sesuatu buat keluarga. Dari tabungan sedikit demi sedikit, kini ia punya usaha penenunan sarung secara kecil-kecilan. Desanya, Pangkatrejo, memang terkenal sebagai tempat mukim para penenun Lamongan. Dua anak lelakinya yang kini jadi sopir juga banyak membantu pertenunan itu. Tertarik karena sukses Sokran, atau mungkin lahir didorong bakat alam, di Pangkatrejo kini muncul pendatang baru. Seorang pendongeng bernama Turmuzi Taib. Pasarannya memang belum sebaik Sokran, baru di sekitar desa saja. Orang ini sendiri mengakui, ia jadi pendongeng karena terlalu sering mendengarkan ocehan Sokran. Sebelumnya ia adalah seorang tukang ojek. Gara-gara motor rusak, ia banting stir. "Habis daripada nganggur, kan lebih baik memanfaatkan kemampuan yang ada," katanya memberikan alasan. Sokran, dari rumahnya yang pengap dan sumpek berukuran 3 x 6 meter, memberi tanggapan yang baik dan sederhana, sebagaimana umumnya orang desa terhadap Turmuzi. "Sama-sama cari rezeki, ya biar saja dia mendongeng," katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus