KETIKA seorang protokol memanggil namanya, lelaki tua itu
bangkit terhuyung-huyung. Ia mengambil tempat di podium yang
memang sudah disediakan. Setelah pasang tabik sebagaimana
galibnya, ia pun mulai mendongeng. Hadirin yang semula
hiruk-pikuk, tiba-tiba adi tenang.
"Memang asyik mengikuti dongengan Cak Sokran ini," kata seorang
penonton yang telah beberapa kali mengikuti dongengan Sokran
"ia bisa menghidupkan cerita, sehingga seolah-olah penonton
seperti menyaksikan ludruk atau ketoprak."
Sokran, 63 tahun, di Desa Pangkatrejo, Kecamatan Sekaran,
Kabupaten Lamongan, Jawa Timur, sejak berusia 17 tahun sudah
jadi tukang dongeng. Kini ia satu-satunya sahibulhikayat
jempolan di kawasan itu. Banyak orang sudah dibuatnya mabuk,
ketagihan dongeng. Hajat pernikahan atau khitanan, bila tidak
disertai kehadiran Pak Dongeng, ini -- demikian julukannya
rasanya seperti masakan kurang kecap.
Joko Tarub
Di musim panen atau pada hari-hari besar Islam, Sokran sulit
dijumpai di rumah. Dengan 118 buah dongeng yang setiap kali siap
mengucur dari mulutnya, ia terlempar dari satu rumah ke rumah
penduduk yang lain. Kadangkala terpaksa bermalam di rumah
sahibulhajat. "Maklum setiap dongeng itu kadang baru bisa tamat
pukul 2 malam," kata Sokran pada TEMPO. Yang paling digandrungi
rakyat Lamongan adalah dongeng tentang kisah berdirinya Lamongan
sendiri.
Pada hari-hari libur sekolah, sering datang rombongan anak
sekolah ke rumah Sokran. Mereka ingin mendengar cerita sejarah
Majapahit. Sokran selalu melayani dengan senang hati. "Walaupun
banyak juga tahun-tahun yang tak cocok," kata seorang murid SMP
Muhammadiyah, tetangganya. Jawab Sokran "Ah, saya sudah tua,
lupa tahun-tahun yang pasti dari kisah Majapahit dan kerajaan
Jawa lainnya." Tapi tak lupa pula, ia juga mengaku punya
sambungan keturunan dengan tokoh-tokoh kerajaan Majapahit.
Di samping cerita Majapahit, Sokran mahir mengisahkan Aladin
dan Abunawas yang disukai anak-anak karena jenaka. Kalau
berhadapan dengan orang-orang tua, ia akan menyimak Angling
Darmo, Joko Tarub atau Damar Wulan. Cerita ini cukup seru dan
panjang. "Biar pun panjang, orang tak pernah bosan. Mereka tahan
kantuk," kata Sokran.
Di sebuah desa di Bojonegoro, ia pernah mendongeng sampai subuh.
Tak seorang pun menguap sampai kisah selesai. Esok harinya baru
terbongkar, rupanya hadirin telah diberi kopi khusus yang dibuat
dengan campuran daun kecubung, sehingga melotot terus.
Untuk anak-anak muda, Sokran pun punya cerita jitu. Ia akan
berkisah tentang cinta, kesetiaan dan sebagainya. Misalnya
riwayat Banyuwangi yang menampilkan seorang permaisuri yang
setia. Untuk membuktikan kesetiaannya, karena dituduh berbuat
serong, ia rela disembelih. Darahnya yang tercecer di Selat Bali
kemudian meruapkan bau wangi. Itu sebabnya sekarang ada kota
bernama Banyuwangi.
Sokran yang murah senyum tinggal bersama ke-6 anakya, empat
perempuan, dua lelaki, di sebuah rumah papan di Desa
Pangkatrejo -- 32 kilometer dari Lamongan. Tarifnya mendongeng
di desa sendiri sekali panggil, sekitar Rp 3.000. Ditambah
dengan bingkisan kue dan nasi. Harga tidak mati, artinya masih
bisa ditawar. Untuk keluar kota ia sering diberi Rp 5000.
"Pokoknya diberi berapa saja saya terima," kata Sokran. Kalau
diundang main di lingkungan desanya, ia biasa datang pakai
sepeda dengan topi hitam yang dipasang miring. Kalau ke luar
kota lazimnya dijemput motor, atau dapat sangu uang taksi.
Dengan perawakan gemuk, Sokran selalu tampak lebih muda dari
usianya. Ia selalu mengenakan kacamata yang minus 3. Tak pernah
diserang penyakit yang serius, kecuali batuk-batuk -- tapi ini
pun sudah mengganggu pekerjaannya yang seratus persen memakai
mulut.
Almarhum ayahnya, Karnawi, juga seorang tukang dongeng. Dan
rupanya sejak kecil Sokran sudah disiapkan oleh ayahnya. Pada
masa remaja, karirnya itulah yang mengantarkan cinta kepadanya.
Seorang gadis rupawan sempat tergila-gila. Tidak hanya pada
dongeng Sokran, tapi pada manusianya. Melalui proses yang
sederhana, wanita itu kemudian menjadi Nyonya Sokran sampai
sekarang. "Anehnya, sekarang, setelah saya sudah menjadi
istrinya, tak gemar lagi dongengannya," kata perempuan itu
berkelakar.
Mendiang Karnawi, di zaman penjajahan, sering diundang ke Solo
dan beberapa kota di Jawa Tengah. Waktu itu tukang dongeng masih
banyak. Tapi Karnawilah yang paling tersohor. Ia memiliki
buku-buku dengan tulisan aksara Jawa-Kawi atau Jawa Gundul yang
membuat dongeng dan babad Tanah Jawa.
Buku-buku itulah yang sampai, kini merupakan sumber ilham
Sokran. Semuanya dihapal di luar kepala. "Saya masih ingat dulu,
sebelum tidur, ayah dan ibu sering menceritakan kisah raja-raja
Jawa dan cerita yang lucu-lucu sebelum saya berangkat tidur,"
kata Sokran. "Dulu lain. Bayaran mendiang ayah saya setiap kali
mendongeng, cukup untuk makan satu minggu."
Dulu, di Lamongan dan sekitarnya, mendongeng termasuk profesi.
Waktu itu tak kurang dari 10 orang dedengkotnya. Seorang di
antaranya Karnawi. Satu per satu kemudian meninggal. Sedang
anak-anaknya atau orang lain kecuali Sokran -- tak ada yang mau
melanjutkan. Sokran sendiri, dalam meneruskan profesi ayahnya,
punya pandangan yang khusus. Ia menganggap tukang dongeng
berjasa besar. "Dengan dongeng, pendongeng menanamkan rasa
keunggulan nenek-moyang zaman dulu, hingga bisa diharap
menimbulkan rasa bangga diri terhadap pemerintah kolonial yang
suka menghina bangsa kita," tutur Sokran.
Usaha patriotik ini bagi Sokran jelas. Bahkan disadari oleh
setiap tukang dongeng, Sebagai bukti ia menunjuk banyaknya
jumlah pejuang dari desa-desa tempat kelahiran para pendongeng
di Lamongan, yang gugur selama revolusi fisik. Termasuk
ayahnya, Karnawi. Karena itu tak heran, sampai sekarang di
samping menghibur, Sokran selalu dengan sadar menggali soal-soal
heroisme. 'Tidak semua dongeng itu bohong lho, sebagian besar
sejarah, alias benar-benar terjadi," katanya.
Sokran membawakan kisahnya dalam bahasa Jawa. Karena, itulah
bahasa yang paling dikuasainya. Ia mengaku kurang trampil
berbahasa Indonesia, sehingga sulit untuk dijadikan bahasa
pengantar cerita. "Agak kaku, jadi dongengnya bisa tidak hidup,"
katanya terus terang. Dalam hal ini ia menjadi dirinya
sendiri.
Tekun dengan profesi sebagai tukang dongeng, Sokran sempat juga
menikmati hidup. Termasuk mempersiapkan sesuatu buat keluarga.
Dari tabungan sedikit demi sedikit, kini ia punya usaha
penenunan sarung secara kecil-kecilan. Desanya, Pangkatrejo,
memang terkenal sebagai tempat mukim para penenun Lamongan. Dua
anak lelakinya yang kini jadi sopir juga banyak membantu
pertenunan itu.
Tertarik karena sukses Sokran, atau mungkin lahir didorong bakat
alam, di Pangkatrejo kini muncul pendatang baru. Seorang
pendongeng bernama Turmuzi Taib. Pasarannya memang belum sebaik
Sokran, baru di sekitar desa saja. Orang ini sendiri mengakui,
ia jadi pendongeng karena terlalu sering mendengarkan ocehan
Sokran. Sebelumnya ia adalah seorang tukang ojek. Gara-gara
motor rusak, ia banting stir. "Habis daripada nganggur, kan
lebih baik memanfaatkan kemampuan yang ada," katanya memberikan
alasan.
Sokran, dari rumahnya yang pengap dan sumpek berukuran 3 x 6
meter, memberi tanggapan yang baik dan sederhana, sebagaimana
umumnya orang desa terhadap Turmuzi. "Sama-sama cari rezeki, ya
biar saja dia mendongeng," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini