KARUNG berisi pasir setinggi lebih dua meter berjejer di
sepanjang tepi Kali Ciloseh yang membelah Kota
Tasikmalaya--seolah suasana menghadapi perang. Kentongan pun
siap di pospos Hansip desa. Dan penduduk sudah diberitahukan
peta daerah bahaya dan daerah aman untuk tempat menyingkir
begitu bahaya tiba.
Peta daerah bahaya yang disusun Direktorat Vulkanologi itu
mencantumkan 40 desa yang berpenduduk 130.000 jiwa. Mereka
terancam oleh kemungkinan terjadinya banjir bila musim hujan
tiba, diduga dalam Oktober ini.
Sejak April, dengan 35 kali letusan besar--letusan kecil tak
terhitung lagi -- Gunung Galunggung ditaksir pekan lalu sudah
mengendapkan debu, pasir dan bebatuan sekitar 20 juta m3, di
puncak dan sekitar lerengnya. Material itu segera menjadi
bencana lahar dingir yang dahsyat begitu air hujan
melongsorkannya ke bawah, menyeret batu-batu besar atau pohon,
menerjang daerah pemukiman. Dinas PU setempat sudah menyiapkan
beberapa jembatan bailey yang bisa dipasang dalam tempo 3 jam,
untuki mengganti beberapa jembatan yang diperkirakan akan ambruk
dilanggar lahar. Peta perubahan arus lalulintas juga sudah
disiapkan untuk menghadapi keadaan darurat.
Di luar kota, di kaki gunung yang murka itu, kesibukan membangun
kantung lahar, cekdam, dan tanggul sedang berpacu dengan waktu.
Tanggul sepanjang 2,5 km --yang diharapkan membentuk kantung
lahar Ciponyo--hanya mampu menampung 2,5 juta m3 lahar. Itu
belum memadai tampaknya kalau sepertiga saja dari 20 juta m3
lahar yang ada di Galunggung turun diseret banjir. Maka
Departemen PU membentengi pula tepi Kali Cikunir dan Cibanjaran.
Menurut Menteri PU Purnomosidi yang berbicara dalam lokakarya
soal Galunggung di Bandung pekan lalu (lihat box), tanggul
sebelah kiri Cibanjaran dan sebelah kanan Cikunir itu "akan
membentuk kantung lahar kedua". Selain itu masih dibangun
beberapa kantung kecil, seperti di pertemuan Kali Cimampang
dengan Kali Ciloseh yang berkapasitas 50.000 m3. Beberapa ratus
meter ke hilirnya dibikin lagi sebuah kantung lahar dengan
kapasitas 300. 000 m3.
Tapi kerepotan ini sering terhalang oleh letusan Galunggung yang
belum juga mereda. Setiap kali gunung itu memuntahkan pasir dan
batu, pembangunan tanggul itu pun terhenti. Sehingga kantung
lahar Ciponyo yang semestinya selesai sebelum datangnya hujan,
baru rampung sekitar 50%.
Sementara itu Koesdarjanto dari Bina Operasi Badan Meteorologi
dan Geofisika meramalkan bahwa pada minggu pertama Oktober ini
mungkin terjadi curah hujan yang tinggi di daerah itu, 40 mm
sehari. Walaupun kemungkinan hal itu terjadi cuma 10%, kata
Koesdarjanto kepada TEMPO, "harus diperhitungkan."
Selama tiga dekade di Tasikmalaya, hujan biasanya turun pada
sore sampai malamnya. Dan bila hujan lebat tiba, aliran lahar
mungkin dalam satu jam saja sudah akan mencapai Kota Tasikmalaya
yang berjarak 27 km dari kawah Galunggung.
Sekarang Badan Meteorologi dan Geofisika menempatkan radio sonde
di Cikasasah, 6,5 km dari kawah. Alat itu akan mendeteksi unsur
cuaca pada lapisan udara sampai ketinggian 20 km. Data itu lewat
radio SSB dikirimkan ke Stasiun Meteorologi Kemayoran, dan lewat
alat yang sama hasil pengolahan stasiun itu dikirim kembali ke
Cikasasah. Dengan demikian perkiraan datangnya hujan 24 jam
mendatang dapat diramalkan.
Selama musim kemarau yang panjang ini, Kota Tasikmalaya begitu
kering. Debu muntah gunung, yang beterbangan di mana-mana,
sungguh menyesakkan napas. Warga kot itU sangat cemas mendengar
'hujan'. Hujan rintik-rintik pekan lalu di kaki Galunggung
misalnya, sudah cukup untuk membuat banyak penduduk berlarian ke
luar rumah dengan isi dada berdenyut.
Tapi di Kampung Sindangjaya sebuah rumah beton bertingkat baru
selesai dibangun. Padahal kawasan Desa Tawangbanteng ini dalam
peta Vulkanologi masuk daerah 'merah' yang bakal ditenggelamkan
lahar. Agus Salim, 54 tahun, pemilik rumah itu, semula sudah
mengungsi ketika rumahnya dihanyutkan lahar. Dia nyaris jadi
gelandangan karena tak tertampung di bedeng pengungsi yang sudah
sesak. Entah kenapa, awal September, dia bersama 200 tetangganya
pulang kampung. "Saya tahu daerah ini berbahaya, tapi sebelum
rumah saya ini hanyut lagi, saya tak akan pindah," kata
pensiunan Pelda TNI itu. Di Kampung Kikisik, juga dalam daerah
'merah', Ajengan Ahmad Syadili beserta 1.500 pengikutnya juga
masih bertahan. Pemimpin pesantren itu begitu yakin bahwa
lahar tak akan melanda Kikisik.
Ini merupakan hal yang belum terpecahkan. Menurut Gubernur Jawa
Barat Aang Kunaefi, pengungsi di Tasikmalaya sudah berjumlah
27.330 jiwa, tapi baru tersedia 344 bedeng yang hanya mampu
menampung 17.200 orang. Di Garut baru ada 18 bedeng untuk 900
pengungsi, padahal 1.660 jiwa meminta tempat penampungan. Maka
di kamar bedeng, seluas 3 x 4 meter, dijejal sampai tujuh
manusia. Sejak September mereka hanya diberi bantuan beras 300
gram per jiwa per hari.
Bedeng sempit berlantai papan dinding bambu itu tak punya
fasilitas penunjang kesehatan. Sumber air kering, saluran
pembuang air limbah tertimbun debu, "para pengungsi kekurangan
udara sehat," kata seorang peserta lokakarya Galunggung.
EJAK Galunggung meletus sudah 28 pengungsi di Tasikmalaya dan 34
pengungsi di Garut yang meninggal dunia. Melaporkan hal itu
dalam lokakarya, Gubernur Aang Kunaefi tak menyebut penyebab
kematian itu. Tapi seorang peserta lokakarya dari Depkes
membantah penyebabnya adalah debu Galunggung. "Masa inkubasi
penyakit karena debu itu 6 bulan sampai dua tahun. Galunggung
meletus baru enam bulan," kata pejabat itu. Dia menyebutkan
korban itu sudah lebih dulu menderita sakit, dan sanitasi yang
jelek di pngungsian ditambah kekurangan gizi, mempercepat
proses kematiannya.
Dengan masalah pengungsi yang terus membengkak, pemerintah
menganjurkan penduduk supaya bertransmigrasi. Tapi, seperti
diungkapkan Aang Kunaefi, sampai September baru 1.538 KK
penduduk Garut dan Tasikmalaya yang berangkat ke Lampung, Riau
dan Sumel, dari 7.500 KK yang ditargetkan.
Mayor Jenderal Holloway dari Selandia Baru meninjau para
pengungsi di Tasikmalaya. "Sebetulnya mereka begitu cinta kepada
kampung mereka. Menyedihkan," katanya. Veteran PD 11 itu
sekarang menjabat Komandan Hansip (Head of Civil Defence) di
negerinya. Tapi Agus Salim penduduk Sindangjaya tadi menolak
transmigrasi dengan alasan, "saya sudah tua, sakit lever, tak
mampu lagi menggarap sawah. Mana mungkin bertransmigrasi?"
Menurut Bupati Tasikmalaya Hudly Bambang Aruman, daerahnya di
bidang pertanian sekarang menderita kerugian lebih Rp 20 milyar
karena produksi anjlok 50%. "Penduduk yang dulu makmur, kini
payah. Musim tanam mendatang, saya kira sawah tak bisa lagi
ditanami," katanya dalam lokakarya Galunggung itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini