Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Cemas di kaki galunggung

Kecemasan penduduk di sekitar gunung galunggung akan datangnya hujan, yang diperkirakan akan menghanyutkan segala muntahan lahar gunung galunggung. (ling)

2 Oktober 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KARUNG berisi pasir setinggi lebih dua meter berjejer di sepanjang tepi Kali Ciloseh yang membelah Kota Tasikmalaya--seolah suasana menghadapi perang. Kentongan pun siap di pospos Hansip desa. Dan penduduk sudah diberitahukan peta daerah bahaya dan daerah aman untuk tempat menyingkir begitu bahaya tiba. Peta daerah bahaya yang disusun Direktorat Vulkanologi itu mencantumkan 40 desa yang berpenduduk 130.000 jiwa. Mereka terancam oleh kemungkinan terjadinya banjir bila musim hujan tiba, diduga dalam Oktober ini. Sejak April, dengan 35 kali letusan besar--letusan kecil tak terhitung lagi -- Gunung Galunggung ditaksir pekan lalu sudah mengendapkan debu, pasir dan bebatuan sekitar 20 juta m3, di puncak dan sekitar lerengnya. Material itu segera menjadi bencana lahar dingir yang dahsyat begitu air hujan melongsorkannya ke bawah, menyeret batu-batu besar atau pohon, menerjang daerah pemukiman. Dinas PU setempat sudah menyiapkan beberapa jembatan bailey yang bisa dipasang dalam tempo 3 jam, untuki mengganti beberapa jembatan yang diperkirakan akan ambruk dilanggar lahar. Peta perubahan arus lalulintas juga sudah disiapkan untuk menghadapi keadaan darurat. Di luar kota, di kaki gunung yang murka itu, kesibukan membangun kantung lahar, cekdam, dan tanggul sedang berpacu dengan waktu. Tanggul sepanjang 2,5 km --yang diharapkan membentuk kantung lahar Ciponyo--hanya mampu menampung 2,5 juta m3 lahar. Itu belum memadai tampaknya kalau sepertiga saja dari 20 juta m3 lahar yang ada di Galunggung turun diseret banjir. Maka Departemen PU membentengi pula tepi Kali Cikunir dan Cibanjaran. Menurut Menteri PU Purnomosidi yang berbicara dalam lokakarya soal Galunggung di Bandung pekan lalu (lihat box), tanggul sebelah kiri Cibanjaran dan sebelah kanan Cikunir itu "akan membentuk kantung lahar kedua". Selain itu masih dibangun beberapa kantung kecil, seperti di pertemuan Kali Cimampang dengan Kali Ciloseh yang berkapasitas 50.000 m3. Beberapa ratus meter ke hilirnya dibikin lagi sebuah kantung lahar dengan kapasitas 300. 000 m3. Tapi kerepotan ini sering terhalang oleh letusan Galunggung yang belum juga mereda. Setiap kali gunung itu memuntahkan pasir dan batu, pembangunan tanggul itu pun terhenti. Sehingga kantung lahar Ciponyo yang semestinya selesai sebelum datangnya hujan, baru rampung sekitar 50%. Sementara itu Koesdarjanto dari Bina Operasi Badan Meteorologi dan Geofisika meramalkan bahwa pada minggu pertama Oktober ini mungkin terjadi curah hujan yang tinggi di daerah itu, 40 mm sehari. Walaupun kemungkinan hal itu terjadi cuma 10%, kata Koesdarjanto kepada TEMPO, "harus diperhitungkan." Selama tiga dekade di Tasikmalaya, hujan biasanya turun pada sore sampai malamnya. Dan bila hujan lebat tiba, aliran lahar mungkin dalam satu jam saja sudah akan mencapai Kota Tasikmalaya yang berjarak 27 km dari kawah Galunggung. Sekarang Badan Meteorologi dan Geofisika menempatkan radio sonde di Cikasasah, 6,5 km dari kawah. Alat itu akan mendeteksi unsur cuaca pada lapisan udara sampai ketinggian 20 km. Data itu lewat radio SSB dikirimkan ke Stasiun Meteorologi Kemayoran, dan lewat alat yang sama hasil pengolahan stasiun itu dikirim kembali ke Cikasasah. Dengan demikian perkiraan datangnya hujan 24 jam mendatang dapat diramalkan. Selama musim kemarau yang panjang ini, Kota Tasikmalaya begitu kering. Debu muntah gunung, yang beterbangan di mana-mana, sungguh menyesakkan napas. Warga kot itU sangat cemas mendengar 'hujan'. Hujan rintik-rintik pekan lalu di kaki Galunggung misalnya, sudah cukup untuk membuat banyak penduduk berlarian ke luar rumah dengan isi dada berdenyut. Tapi di Kampung Sindangjaya sebuah rumah beton bertingkat baru selesai dibangun. Padahal kawasan Desa Tawangbanteng ini dalam peta Vulkanologi masuk daerah 'merah' yang bakal ditenggelamkan lahar. Agus Salim, 54 tahun, pemilik rumah itu, semula sudah mengungsi ketika rumahnya dihanyutkan lahar. Dia nyaris jadi gelandangan karena tak tertampung di bedeng pengungsi yang sudah sesak. Entah kenapa, awal September, dia bersama 200 tetangganya pulang kampung. "Saya tahu daerah ini berbahaya, tapi sebelum rumah saya ini hanyut lagi, saya tak akan pindah," kata pensiunan Pelda TNI itu. Di Kampung Kikisik, juga dalam daerah 'merah', Ajengan Ahmad Syadili beserta 1.500 pengikutnya juga masih bertahan. Pemimpin pesantren itu begitu yakin bahwa lahar tak akan melanda Kikisik. Ini merupakan hal yang belum terpecahkan. Menurut Gubernur Jawa Barat Aang Kunaefi, pengungsi di Tasikmalaya sudah berjumlah 27.330 jiwa, tapi baru tersedia 344 bedeng yang hanya mampu menampung 17.200 orang. Di Garut baru ada 18 bedeng untuk 900 pengungsi, padahal 1.660 jiwa meminta tempat penampungan. Maka di kamar bedeng, seluas 3 x 4 meter, dijejal sampai tujuh manusia. Sejak September mereka hanya diberi bantuan beras 300 gram per jiwa per hari. Bedeng sempit berlantai papan dinding bambu itu tak punya fasilitas penunjang kesehatan. Sumber air kering, saluran pembuang air limbah tertimbun debu, "para pengungsi kekurangan udara sehat," kata seorang peserta lokakarya Galunggung. EJAK Galunggung meletus sudah 28 pengungsi di Tasikmalaya dan 34 pengungsi di Garut yang meninggal dunia. Melaporkan hal itu dalam lokakarya, Gubernur Aang Kunaefi tak menyebut penyebab kematian itu. Tapi seorang peserta lokakarya dari Depkes membantah penyebabnya adalah debu Galunggung. "Masa inkubasi penyakit karena debu itu 6 bulan sampai dua tahun. Galunggung meletus baru enam bulan," kata pejabat itu. Dia menyebutkan korban itu sudah lebih dulu menderita sakit, dan sanitasi yang jelek di pngungsian ditambah kekurangan gizi, mempercepat proses kematiannya. Dengan masalah pengungsi yang terus membengkak, pemerintah menganjurkan penduduk supaya bertransmigrasi. Tapi, seperti diungkapkan Aang Kunaefi, sampai September baru 1.538 KK penduduk Garut dan Tasikmalaya yang berangkat ke Lampung, Riau dan Sumel, dari 7.500 KK yang ditargetkan. Mayor Jenderal Holloway dari Selandia Baru meninjau para pengungsi di Tasikmalaya. "Sebetulnya mereka begitu cinta kepada kampung mereka. Menyedihkan," katanya. Veteran PD 11 itu sekarang menjabat Komandan Hansip (Head of Civil Defence) di negerinya. Tapi Agus Salim penduduk Sindangjaya tadi menolak transmigrasi dengan alasan, "saya sudah tua, sakit lever, tak mampu lagi menggarap sawah. Mana mungkin bertransmigrasi?" Menurut Bupati Tasikmalaya Hudly Bambang Aruman, daerahnya di bidang pertanian sekarang menderita kerugian lebih Rp 20 milyar karena produksi anjlok 50%. "Penduduk yang dulu makmur, kini payah. Musim tanam mendatang, saya kira sawah tak bisa lagi ditanami," katanya dalam lokakarya Galunggung itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus