KARYA tulis, foto, gambar dan poster telah berkembang menjadi
sarana pemupukan rasa cinta lingkungan, cinta alam, dan cinta
margasatwa. Himpunan untuk Kelestarian Lingkungan Hidup
Indonesia (HUKLHI) merangsangnya pula melalui sayembara.
Bertepatan dengan ulangtahunnya yang pertama (4 Nopember),
HUKLHI telah menyampaikan hadiah kepada para pemenang Sayembara
Karya Tulis & Foto Lingkungan 1978. Sedang Yayasan Indonesia
Hijau minggu lalu menyerahkan pula hadiah kepada 18 anak antara
umur 6 - 15 tahun yang memenargkan Lomba Lukis Binatang Rimba
se-Jakarta (lihat Harimau Yang Punah). Sayembara begini sudah
merupakan yang kedua kalinya.
Dengan tema "Membangun Tanpa Merusak", hadiah pertama Karya
Tulis tahun ini jatuh pada wartawan Berita Buana Widodo
Darmosuwarto. Tulisannya -- "Mencoba sumber-sumber enerji baru,
tanpa merusak lingkungan hidup" -- menggambarkan usaha Pusat
Teknologi Pembangunan (PTP) - ITB mencari alternatif bagi
pedesaan. Antara lain dengan membuat pencerna kotoran ternak
menjadi gas dapur, membangun tungku sekam padi serta pengering
gabah yang hanya menggunakan sinar matahari. Wartawan itu yang
bermukim di kompleks Perumnas, Depok Baru, mengantongi hadiah Rp
500 ribu.
Hadiah kedua, Rp 400 ribu, jatuh pada seorang mahasiswa
Pertanian, Universitas Hasanuddin di Ujungpandang. Christianto
Lopulisa menulis tentang Kebijaksanaan Pertanian -- Pengrusakan
atau Penataan Lingkungan Hidup? di harian Pelita. Selain
berbicara tentang kelemahan Revolusi Hijau pada umumnya, anak
Ambon itu juga menggambarkan betapa sungai WalanaE di Sulawesi
Selatan setiap tahun mengangkut bertonton lumpur dari hulunya.
Lumpur itu hanyut dari punggung bukit dan gunung karena petani
gurem di sana memangkas pepohonan di lereng terjal dan
menggantinya dengan tanaman padi gogo, jagung, atau singkong.
Akibat berantainya: lumpur itu mempercepat pendangkalan Danau
Tempe, yang dulu merupakan penghasil ikan asin paling top di
Sulawesi Selatan.
Bambang Soekotjo, penulis yang bermukim di Jakarta, memperoleh
hadiah ketiga (Rp 300.000) untuk tulisannya tentang pengerukan
pasir di Gunungtua, Kabupaten Subang, Jawa Barat. Berbeda dengan
kedua tulisan sebelumnya, uraian Bambang ini suatu laporan
jurnalistik, penuh human interest, tapi tak menggambarkan jalan
keluar dari kemelut ekologi yang bakal menimpa Gunungtua.
Seperti digambarkan sinopsi tulisan pemenang dalam buku kecil
Himpunan Lingkungan tentang Sayembara tersebut "Orang-orang desa
ini tak peduli, apa yang bakal terjadi kalau bukit pasir itu
sudah habis digempur. Mereka juga tak ambil pusing, bahwa
beberapa kilometer ke utara Gunungtua, penghijauan beberapa
tahun lalu hingga kini belum tampak hasilnya . . . "
Tatang Kuswara, calon peneliti dari Lembaga Biologi Nasional
(LBN)-LIPI, memperoleh hadiah Hiburan I (Rp 200. 000).
Tulisannya tentang bahaya punahnya Kayu Kuning di P. Sumbawa
(NTB) dimuat Kompas. Jenis kayu ini sudah banyak jasanya sebagai
bahan pewarna batik di Jawa. 'Hati' kayu itu di kalangan
pembatik tradisionil di Pekalongan, Yogya dan Solo dikenal
dengan istilah "soga tegeran". Seiring dengan arus pasang batik
di Jawa, hutan Kayu Kuning di Sumbawa semakin ciut. Makanya
Kuswara, yang memang pernah ikut meneliti sendiri ke sana,
menganjurkan agar Kepala Kesatuan Pemangku Hutan (KPPH) setempat
mengurangi penebangan Kayu Kuning di wilayah kekuasaannya.
Belum Berani
Hadiah terakhir (Rp 100.000) diraih oleh wartawan Kompas
Emmanuel Subangun dengan tulisannya tentang 'Dilema
Pembangunan Pertanian di Indonesia'. Bak kapal penyapu ranjau,
penulis yang suka menggebu-gebu itu menyapu rata seluruh
subsektor pertanian di Indonesia, yang dirasakannya kurang
menunjang periuk nasi peternak-petani-nelayan-pengumpul hasil
hutan kelas teri.
Seperti juga tahun lalu, kali ini para peserta lomba foto
lingkungan masih belum berani. Hasilnyapun, seperti dikemukakan
oleh seorang juri "jauh dari pada memuaskan." Tim juri toh
menelorkan juara I, II dan III untuk jenis hitam-putih maupun
foto berwarna.
Hadiah I foto berwarna jatuh pada veteran dari sayembara tahun
lalu, Djoni Litahalim, penduduk Jakarta. Judul fotonya agak
sloganistis: "Buat Hidup dan Penghijauan." Subyeknya: seorang
sedang menyirami tanaman kubis di jalur hijau, pinggir jalan.
Andi Hendrafi A - juga dari Jakarta -- memotret kampung dengan
pepohonan yang hijau dan jalan beton -- entah di mana, yang
menjadi juara II. Sedang Syarif Suwondo, juara III dari Bandung,
memotret candi Borobudur yang sedang dipugar.
Adapun foto hitam putih, digondol semua hadiahnya oleh mereka
dari Bandung. Pemenang 1, Fendi Siregar, memotret kincir
pengangkat air dari sungai ke sawah. Judulnya: Teknologi
Non-Polusi. Boleh dikata, ia boleh dijadikan foto ilustrasi
untuk artikel Widodo Darmosuwarto tentang eksperimen ITB di
Sukabumi. Foto hitam putih kedua dan ketiga, karya T. Suantara
dan G. Utoyo, agak kurang berbicara. Suantara memotret
ujung-ujung proyek jembatan Citarum yang menggapai-gapai di
udara karena belum tersambung. Sedang dr Utoyo memotret panorama
sawah, kanal irigasi dan gunung yang indah (di Jawa Barat?).
Damai, sama sekali tak tergambar konflik yang sering kali
terjadi antara pembangunan dan pemeliharaan kelestarian
lingkungan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini