Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Cinta Alam, Tanpa Konflik Cinta Alam, Tanpa Konflik

Guna menumbuhkan rasa cinta alam, Huklhi mengadakan sayembara karya tulis dan foto lingkungan hidup. Walaupun ada pemenang I, II & III, tapi hasilnya belum memuaskan dan terasa kurang berani. (ling)

18 November 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KARYA tulis, foto, gambar dan poster telah berkembang menjadi sarana pemupukan rasa cinta lingkungan, cinta alam, dan cinta margasatwa. Himpunan untuk Kelestarian Lingkungan Hidup Indonesia (HUKLHI) merangsangnya pula melalui sayembara. Bertepatan dengan ulangtahunnya yang pertama (4 Nopember), HUKLHI telah menyampaikan hadiah kepada para pemenang Sayembara Karya Tulis & Foto Lingkungan 1978. Sedang Yayasan Indonesia Hijau minggu lalu menyerahkan pula hadiah kepada 18 anak antara umur 6 - 15 tahun yang memenargkan Lomba Lukis Binatang Rimba se-Jakarta (lihat Harimau Yang Punah). Sayembara begini sudah merupakan yang kedua kalinya. Dengan tema "Membangun Tanpa Merusak", hadiah pertama Karya Tulis tahun ini jatuh pada wartawan Berita Buana Widodo Darmosuwarto. Tulisannya -- "Mencoba sumber-sumber enerji baru, tanpa merusak lingkungan hidup" -- menggambarkan usaha Pusat Teknologi Pembangunan (PTP) - ITB mencari alternatif bagi pedesaan. Antara lain dengan membuat pencerna kotoran ternak menjadi gas dapur, membangun tungku sekam padi serta pengering gabah yang hanya menggunakan sinar matahari. Wartawan itu yang bermukim di kompleks Perumnas, Depok Baru, mengantongi hadiah Rp 500 ribu. Hadiah kedua, Rp 400 ribu, jatuh pada seorang mahasiswa Pertanian, Universitas Hasanuddin di Ujungpandang. Christianto Lopulisa menulis tentang Kebijaksanaan Pertanian -- Pengrusakan atau Penataan Lingkungan Hidup? di harian Pelita. Selain berbicara tentang kelemahan Revolusi Hijau pada umumnya, anak Ambon itu juga menggambarkan betapa sungai WalanaE di Sulawesi Selatan setiap tahun mengangkut bertonton lumpur dari hulunya. Lumpur itu hanyut dari punggung bukit dan gunung karena petani gurem di sana memangkas pepohonan di lereng terjal dan menggantinya dengan tanaman padi gogo, jagung, atau singkong. Akibat berantainya: lumpur itu mempercepat pendangkalan Danau Tempe, yang dulu merupakan penghasil ikan asin paling top di Sulawesi Selatan. Bambang Soekotjo, penulis yang bermukim di Jakarta, memperoleh hadiah ketiga (Rp 300.000) untuk tulisannya tentang pengerukan pasir di Gunungtua, Kabupaten Subang, Jawa Barat. Berbeda dengan kedua tulisan sebelumnya, uraian Bambang ini suatu laporan jurnalistik, penuh human interest, tapi tak menggambarkan jalan keluar dari kemelut ekologi yang bakal menimpa Gunungtua. Seperti digambarkan sinopsi tulisan pemenang dalam buku kecil Himpunan Lingkungan tentang Sayembara tersebut "Orang-orang desa ini tak peduli, apa yang bakal terjadi kalau bukit pasir itu sudah habis digempur. Mereka juga tak ambil pusing, bahwa beberapa kilometer ke utara Gunungtua, penghijauan beberapa tahun lalu hingga kini belum tampak hasilnya . . . " Tatang Kuswara, calon peneliti dari Lembaga Biologi Nasional (LBN)-LIPI, memperoleh hadiah Hiburan I (Rp 200. 000). Tulisannya tentang bahaya punahnya Kayu Kuning di P. Sumbawa (NTB) dimuat Kompas. Jenis kayu ini sudah banyak jasanya sebagai bahan pewarna batik di Jawa. 'Hati' kayu itu di kalangan pembatik tradisionil di Pekalongan, Yogya dan Solo dikenal dengan istilah "soga tegeran". Seiring dengan arus pasang batik di Jawa, hutan Kayu Kuning di Sumbawa semakin ciut. Makanya Kuswara, yang memang pernah ikut meneliti sendiri ke sana, menganjurkan agar Kepala Kesatuan Pemangku Hutan (KPPH) setempat mengurangi penebangan Kayu Kuning di wilayah kekuasaannya. Belum Berani Hadiah terakhir (Rp 100.000) diraih oleh wartawan Kompas Emmanuel Subangun dengan tulisannya tentang 'Dilema Pembangunan Pertanian di Indonesia'. Bak kapal penyapu ranjau, penulis yang suka menggebu-gebu itu menyapu rata seluruh subsektor pertanian di Indonesia, yang dirasakannya kurang menunjang periuk nasi peternak-petani-nelayan-pengumpul hasil hutan kelas teri. Seperti juga tahun lalu, kali ini para peserta lomba foto lingkungan masih belum berani. Hasilnyapun, seperti dikemukakan oleh seorang juri "jauh dari pada memuaskan." Tim juri toh menelorkan juara I, II dan III untuk jenis hitam-putih maupun foto berwarna. Hadiah I foto berwarna jatuh pada veteran dari sayembara tahun lalu, Djoni Litahalim, penduduk Jakarta. Judul fotonya agak sloganistis: "Buat Hidup dan Penghijauan." Subyeknya: seorang sedang menyirami tanaman kubis di jalur hijau, pinggir jalan. Andi Hendrafi A - juga dari Jakarta -- memotret kampung dengan pepohonan yang hijau dan jalan beton -- entah di mana, yang menjadi juara II. Sedang Syarif Suwondo, juara III dari Bandung, memotret candi Borobudur yang sedang dipugar. Adapun foto hitam putih, digondol semua hadiahnya oleh mereka dari Bandung. Pemenang 1, Fendi Siregar, memotret kincir pengangkat air dari sungai ke sawah. Judulnya: Teknologi Non-Polusi. Boleh dikata, ia boleh dijadikan foto ilustrasi untuk artikel Widodo Darmosuwarto tentang eksperimen ITB di Sukabumi. Foto hitam putih kedua dan ketiga, karya T. Suantara dan G. Utoyo, agak kurang berbicara. Suantara memotret ujung-ujung proyek jembatan Citarum yang menggapai-gapai di udara karena belum tersambung. Sedang dr Utoyo memotret panorama sawah, kanal irigasi dan gunung yang indah (di Jawa Barat?). Damai, sama sekali tak tergambar konflik yang sering kali terjadi antara pembangunan dan pemeliharaan kelestarian lingkungan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus