SELURUH anggota kontingen Garuda VIII pengganti saat ini sudah
berada di Sinai. Pasukan yang digantikannya sudah pula berada di
Indonesia. Pasukan pengganti yang beranggotakan 510 anggota itu
akan berada di Sinai selama 6 bulan. Pasukan yang digantikannya
juga bertugas selama itu. Tugas mereka juga sama, menjaga suatu
wilayah tertentu yang memisahkan pasukan Israel dan Mesir. Yang
nampak berbeda: komposisi anggotanya.
Selama sekian kali pengiriman pasukan ke Sinai, baru kali inilah
pasukan marinir kebagian kesempatan. Satu kompi pasukan tempur
dari Angkatan Laut itu disertakan dalam kontingen yang baru saja
berangkat tadi. Tapi kontingen kali ini menjadi lebih unik lagi
karena satu peleton anggotanya -- 30 orang -- terdiri dari
mahasiswa. "Mereka itu diseleksi dari sejumlah anggota Resimen
Mahasiswa dari berbagai kota di Indonesia," kata seorang di
Markas Resimen Mahasiswa Jakarta.
Melewati serentetan latihan militer, para mahasiswa yang
terpilih itu kemudian diangkat menjadi sersan dua wamil. Selama
berdinas di Timur Tengah," mereka itu mendapat perlakuan dan
jaminan yang sama seperti yang diterima anggota ABRI dengan
pangkat yang sama," kata Laksamana Sudomo kepada TEMPO. Apakah
akan jadi tentara setelah pulang nanti? "Tidak. Mereka akan
kembali kuliah. Tapi mereka akan menjadi anggota cadangan
nasional dengan pangkat serda," kata Sudomo pula.
Hatta, pada saat mendarat di lapamgan terbang Kairo,
Mesir,pasukan itu telah dinantikan oleh truk-truk besar bercat
putih. Itulah kendaraan milik Unef (pasukan darurat PBB). Dengan
kendaraan militer tersebut pasukan langsung diangkut ke Terusan
Suez. Lalu diseberangkan dengan fery. Dari sana melanjutkan
perjalanan ke Wadi Rena, markas batalion, di tengah padang
pasir. Bagi mereka yang menjadi staf batalion, perjalanan
berakhir di sini. Tapi mereka yang mendapat tugas di pos-pos
pengawasan, masih harus melanjutkan perjalanan ke tempat tugas
masing-masing.
Terpencil, sunyi, berdebu dan tentu saja membosankan. Itulah
hidup mereka selama tiga bulan pertama. "Peraturan PBB
menentukan bahwa mereka itu baru bisa menikmati cuti setelah
berdinas tiga bulan," kata Mayjen Rais Abin, Panglima Unef yang
berkantor di Ismailia. Dan jika masa cuti datang, komandan pun
harus sibuk mengatur giliran. Tidak mengherankan jika banyak di
antara anggota pasukan itu yang baru sempat melihat Kairo
setelah berada di Mesir selama lima bulan.
Biasanya cuti dua pekan tidak mereka habiskan di Kairo. "Yang
satu minggu kita pakai untuk Umroh di Mekah," kata Kolonel
Sugiharto komandan batalion yang baru saja mengakhiri masa
tugasnya di Sinai. Kunjungan untuk umroh ini diatur bersama
secara begilir hingga hampir semua anggota kebagian Kolonel
Sugiharto sendiri kebagian gilir an terakhir. Bagi para perwira,
biasany masih ada sisa cuti beberapa hari. Biasa nya waktu
terluang demikian diperguna kan ke Eropa." Enam hari keliling
Eropa, ya, apa yang bisa dilihat," keluh seorang perwira.
Si Badui
Di padang pasir Sinai sekarang ini memang tidak ada perang. Tapi
selain bertahan melawan kesepian rindu rumah -- surat dari
keluarga berharga mahal di sini -- para prajurit itu juga harus
selalu siaga terhadap orang-orang Badui yang hidup
berpindah-pindah di padang pasir itu. "Dengan kekerasan, kita
tidak bisa menyelesaikan soal dengan mereka," kata seorang
perwira yang anak buahnya pernah dikejar-kejar orang Badui
dengan pedang. Untunglah salah seorang perwira Indonesia bisa
sedikit-sedikit berbahasa Arab. "Setelah tahu kita ini Islam wah
mereka senang, dan bisa didekati," kata perwira itu. Prajurit
ini juga sering membagi ransum mereka dengan Badui itu. "Dokter
kita juga sering mengobati mereka," kata salah seorang di antara
mereka.
Di padang pasir, bagaimana air? Jangan khawatir. Pasukan
Polandia yang mengurusi logistik juga bertanggung jawab dalam
penyediaan air. Dengan truktruk tanki, prajurit Polandia itu
setiap hari berkeliling ke semua batalion membawa air. Kebiasaan
orang Indonesia mandi dua kali sehari tetap dipertahankan. Mandi
sambil mencuci pakaian juga tidak berubah. Dan di puncak musim
panas, kebutuhan akan air makin menjadijadi. "Pada udara di
sekitar 40 derajat, kita terpaksa mengguyur diri kita yang
sedang berpakaian seragam," kata Kapten Panggih Sundoro yang
bertugas sebagai perwira penerangan.
Untuk pasukan yang baru saja berangkat tadi, pengalaman seperti
ini tidak akan ditemui. Sepanjang masa tugas mereka nanti akan
berurusan dengan udara dingin. Musim dingin.
Tapi musim apapun di sana, bertugas di Sinai nampaknya selalu
menarik bagi prajurit-prajurit Indonesia. "Pergaulan
internasional ini suatu hal yang baru bagi anak-anak kita. Dan
mereka betul-betul menikmatinya," kata seorang perwira di Wadi
Rena kepada Salim Said dari TEMPO yang berkunjung ke sana
beberapa pekan silam. Hambatan bahasa tidak jadi soal bagi
orang-orang Indonesia yang terkenal gampang bergaul itu. Dan
karena tidak semua anggota kontingen bisa berbahasa Inggris --
juga yang dari Polandia -- maka tidak heranlah jika di padang
pasir itu berkembang dengan pesatnya suatu bahasa baru. Bahasa
campuran yang dilengkapi dengan sejumlah isyarat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini