WALAUPUN siang hari, dukuh Tapak di Desa Tugurejo, 10 Km
sebelah barat Kota Semarang sepi sekali. Banyak petani tambak di
situ mencari nafkah di luar kampung sendiri.
Ada sawahnya yang seluas 60 Ha, tapi sebagian besar tak terawat
lagi. Begitu pula tambaknya seluas 90 Ha, yang (dulunya)
merupakan basis ekonomi utama desa pesisir itu. Malah ada tambak
yang lantaran ditinggalkan pemiliknya sudah berubah menjadi rawa
yang ditumbuhi ilalang setinggi pinggang.
Sawah dan tambak penduduk dukuh Tapak itu sudah dua tahun
lamanya diganggu polusi air buangan pabrik kilnia PT Semarang
Diamond Chemical, usaha patungan antara Showa Chemicals
(Jepang), Mitsubishi (Jepang) dan PT Bintraco Dharma. Sejak
mulai produksi awal 1977, ampas buangan pabrik pembuat calcium
citrate itu tak pernah berhenti dialirkan ke Kali Tapak.
Kali yang bermuara di Laut Jawa itu juga merupakan sumber air
sawah di dukuh itu. Juga kali itu mengairi sebagian besar tambak
bandeng dan udang. Di tambak itu air sungai yang tawar bercampur
dengan air laut di kala pasang naik. Semenjak awal 1977 itu pula
penduduk yang berani membuka pintu air tak henti-hentinya
melaporkan tentang kematian ribuan ekor nener (bibit bandeng)
yang ditabur di tambak dan udang yang menyelusup masuk ke tambak
dari laut.
"Kemarin pun," ujar petani Sarmady di sana minggu lalu, "udang
yang saya temukan dalam wuwu (perangkap udang) sudah mati
semua." Tapi bila malam harinya hujan deras mengencerkan larutan
polusi SDC di tambak Tapak, ada juga petani yanl dapat memanen
udang keesokan paginya. Hanya saja, seperti dicatat pembantu
TEMPO G.Y. Adicondro yang menginap semalam di sana: "Hasilnya
tak sampai dua ons. Padahal dulu bisa mencapai 13 ons semalam. "
Padi Layu
Nasib petani sawah tak terlalu banyak berbeda. Ampas organis
pabrik SDC yang banyak mengandung NH4 (amonium) dan asam
belerang H2S) membuat batang padi tumbuh kelewat subur. Setelah
agak besar, daun dan batangnya mengering kemerah-merahan, lalu
layu dan mati sebelum berbuah. Rerumputan juga tumbuh lebih
subur disawah, sehingga harus dua kali disiangi. Air buangan
pabrik SDC memasuki sawah lewat parit irigasi yang bersumber
Kali Tapak. Ia juga membawa endapan padat. Di sawah Mukri,
Kebayan (jurutulis) Dukuh Tapak misalnya, endapan lumpur sudah
setinggi lutut. Akibatnya, luku dan kerbau tak dapat dipakai
lagi membajak sawah.
Kotoran pabrik SDC pada mulanya menyiksa para petani lantaran
rasa gatal di kaki. Tapi bukan gatal itu yang menyebabkan mereka
prihatin. "Kini ongkosnya menggarap sawah -- dengan tenaga
manusia melulu -- jadi naik 2 kali lipat, sedang hasilnya belum
dapat dipastikan," kata Mukri, pemuda bujangan yang mengurus 4
Ha sawah warisan almarhum ayahnya.
Sudah 4 musim tanam gagal terus panennya. Bahkan air sumur
penduduk yang dekat Kali Tapak, ikut menjadi keruh dan berbau.
"Kami sudah 11 kali ditinjau, baik oleh tim pemerintah maupun
DPRD. Tapi apa hasilnya?" tanya Amat So'ep, Kamituwo (Kepala
Kampung) Tapak. Pernah ada pertemuan antara masyarakat Tapak
dengan direksi pabrik yang diatur Pemda Kotamadya Semarang di
Balai Kota, 9 Agustus 1978. Waktu itu diputuskan bahwa direksi
SDC diberi waktu tiga bulan untuk menanggulangi air buangannya,
terhitung mulai September. Celakanya, sampai minggu lalu polusi
masih jalan terus.
Telah disetujui juga bahwa tuntutan ganti rugi penduduk Tapak
akan ditangani panitia khusus. Setelah dibentuk Camat Tugu,
panitia itu menaksir kerugian penduduk seluruhnya mencapai Rp
119 juta. Tapi pimpinan SDC menolak dan menyanggupkan Rp 5 juta
saja.
Tunggu Aerator
J. Soedardjo SH, bekas anggota BPH Propinsi Jawa Tengah yang
kini jadi Kepala Biro Umum & Personalia SDC, menyatakan bahwa
pabriknya sudah akan mengimpor aeraor bekas dari Jepang. Alat
itu dapat mempercepat proses pencampuran zat asam dari udara
dengan ampas organis pabrik itu. Departemen Perdagangan tak
mengizinkan impor peralatan bekas.
Anak perusahaan Mitsubishi itu kini memesan aerator baru dari
Amerika yang diperkirakan akan tiba di Semarang April. Baru
pertengahan Mei, demikian Soedardjo, "polusi itu dapat kami
tanggulangi dengan sempurna." Pada saat itu, akan genaplah 2«
tahun keprihatinan rakyat Tapak.
Sementara soal ganti rugi masih terbengkalai, penagih kredit
Bimas ikut merisaukan penduduk Tapak. "Padahal kami sudah empat
musim tidak panen. Bagaimana kalau sawah kami dibeslah?" tanya
Sarmady, mewakili kawan-kawannya. Sesudah itu, ada lagi tagihan
Ipeda. Lurah Tugurejo dan Camat Tugu, kurang berani membela
kepentingan rakyatnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini