DULU orang yang tidak berpengetahuan atau miskin saja pergi ke
dukun. Tapi sekarang justru orang yang pintar, berpengaruh dan
berduit pun percaya pada dukun. Mengapa? Gejala ini sempat
menjadi topik dalam suatu seminar Ikatan Dokter lndonesia (IDI)
di Yogyakarta (3 Maret).
Empat bulan sebelumnya Departenen Kesehatan pernah
menyelenggarakan pula seminar tentang dukun. Di Yogya, dr Raden
Soejono Prawirohardjo lari UGM mengatakan orang pergi ke .iukun
karena faktor kebudayaan. Bila nenderita penyakit jiwa, katanya,
si pasien biasanya dianggap kemasukan roh, ketempelan setan dan
sebagainya. Dalam hal ini dicelanya pihak dokter yang "kurang
memahami wawasan pasien seutuhnya, " hingga hubungan
pasien-dukun lebih terjalin baik daripaia hubungan
pasien-dokter.
Tapi jumlah dokter juga kurang, terutama untuk pedesaan.
Umpamanya Indonesia memiliki sekitar 100 psikiaer, yang terlalu
sedikit untuk menangani puluhan juta pasien jiwa. Sebagian besar
penderita lari ke tangan non-medis, seperti dukun.
Prof. Dr. Tengku Jacob, juga dari UGM, menyebut masalah
kesehatan terbesar adalah sindrom kemiskinan desa. Itu sebagian
besar disebabkan hal lingkungan yang bersifat non-medis, sedang
peranan kedokteran terbatas sekali untuk mengatasinya, demikian
Jacob.
Namun umumnya mengakui di seminar Yogya itu bahwa cukup banyak
hal di luar ilmu kedokteran yang berperan menyembuhkan penyakit.
Tentang ini, pembicara awam Ahmad Haji Asdie mengaitkannya
dengan tawakkal pada Allah. "Sumber penyakit," katanya,
"sebagian besar dari kekotoran hati -- satu hal yang justru
sering dilupakan dokter Penyakit itu dapat dicegah dengan
pembersihan hati, berarti tawakkal atau tunduk dan patuh pada
aturan Allah."
Haji Asdie menyebut, sebagai contoh, seorang gadis 19 tahun yang
menderita penyakit tak bisa tidur. Ia menderita karena
kekasihnya "ndobel" -- main dengan orang lain. Sudah seminggu
matanya jarang berkedip. Ia memandang ke satu arah saja.
Kemudian ke telinganya "disuntikkan" dzikir jiwa. Setelah 3
menit dibimbing berdzikir, gadis tadi tiba-tiba menangis keras.
Dan sembuhlah si gadis, menurut Haji Asdie.
Ada lagi kisah lain. Seorang berusia 36 tahun dari Juwana, Jawa
Tengah, mengeluarkan dari tubuhnya -- mulut, kuping, hidung,
tengkuk paku, pecahan botol dan kulit kerang. Penderita itu pun,
kata Haji Asdie, disembuhkan dengan dzikir jiwa. Diceritakannya
pula kasus seorang berusia 34 tahun yang sudah lama rematik yang
juga dengan dzikir jiwa ia sembuh. "Telah dapat berjalan lagi,
hatinya menjadi tenang."
Dengan Sujud
Ajaran kerohanian Sapta Darma yang diwakili Sri Pawenang SH,
ikut mengetengahkan pandangan. Salah satu obat dan pencegah
penyakit dalam ajaran ini, katanya, adalah sujud. "Sujud berguna
untuk mengendalikan nafsu dan mendudukkan rohani pada tugas yang
sebenarnya."
Praktek non-medis di pedesaan telah menjadi penelitian beberapa
mahasiswa FK-UGM. Dari survai mereka diketahui banyak macam
praktek pedukunan, termasuk pijat-memijat, yang umumnya memakai
cara mistik dan kerohanian.
Bahwa kenapa orang pergi ke dukun, seminar tadi tampaknya masih
boleh disusul dengan banyak seminar lainnya untuk mengupasnya.
Seperti dikatakan dr Soejono, sejumlah faktor mempengaruhi orang
pergi ke dukun, antara lain kebudayaan, harga diri, komunikasi,
kebodohan, ekonomi, mass media dan pandangarl vertikal ke atas.
Tentang faktor terakhir ini, ia mengatakan: "Bila banyak pejabat
tinggi berobat ke salah satu dukun, maka larislah dukun itu."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini