Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Dari Mitsubishi Dengan Polusi

Sawah & tambak di Dukuh Tapak, Desa Tugurejo, Semarang tercemar air buangan pabrik kimia PT. Semarang Diamond Chemical. Pernah ditinjau tim DPRD & pertemuan dengan direksi. Ganti rugi belum memadai. (ling)

24 Maret 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

WALAUPUN siang hari, dukuh Tapak di Desa Tugurejo, 10 Km sebelah barat Kota Semarang sepi sekali. Banyak petani tambak di situ mencari nafkah di luar kampung sendiri. Ada sawahnya yang seluas 60 Ha, tapi sebagian besar tak terawat lagi. Begitu pula tambaknya seluas 90 Ha, yang (dulunya) merupakan basis ekonomi utama desa pesisir itu. Malah ada tambak yang lantaran ditinggalkan pemiliknya sudah berubah menjadi rawa yang ditumbuhi ilalang setinggi pinggang. Sawah dan tambak penduduk dukuh Tapak itu sudah dua tahun lamanya diganggu polusi air buangan pabrik kilnia PT Semarang Diamond Chemical, usaha patungan antara Showa Chemicals (Jepang), Mitsubishi (Jepang) dan PT Bintraco Dharma. Sejak mulai produksi awal 1977, ampas buangan pabrik pembuat calcium citrate itu tak pernah berhenti dialirkan ke Kali Tapak. Kali yang bermuara di Laut Jawa itu juga merupakan sumber air sawah di dukuh itu. Juga kali itu mengairi sebagian besar tambak bandeng dan udang. Di tambak itu air sungai yang tawar bercampur dengan air laut di kala pasang naik. Semenjak awal 1977 itu pula penduduk yang berani membuka pintu air tak henti-hentinya melaporkan tentang kematian ribuan ekor nener (bibit bandeng) yang ditabur di tambak dan udang yang menyelusup masuk ke tambak dari laut. "Kemarin pun," ujar petani Sarmady di sana minggu lalu, "udang yang saya temukan dalam wuwu (perangkap udang) sudah mati semua." Tapi bila malam harinya hujan deras mengencerkan larutan polusi SDC di tambak Tapak, ada juga petani yanl dapat memanen udang keesokan paginya. Hanya saja, seperti dicatat pembantu TEMPO G.Y. Adicondro yang menginap semalam di sana: "Hasilnya tak sampai dua ons. Padahal dulu bisa mencapai 13 ons semalam. " Padi Layu Nasib petani sawah tak terlalu banyak berbeda. Ampas organis pabrik SDC yang banyak mengandung NH4 (amonium) dan asam belerang H2S) membuat batang padi tumbuh kelewat subur. Setelah agak besar, daun dan batangnya mengering kemerah-merahan, lalu layu dan mati sebelum berbuah. Rerumputan juga tumbuh lebih subur disawah, sehingga harus dua kali disiangi. Air buangan pabrik SDC memasuki sawah lewat parit irigasi yang bersumber Kali Tapak. Ia juga membawa endapan padat. Di sawah Mukri, Kebayan (jurutulis) Dukuh Tapak misalnya, endapan lumpur sudah setinggi lutut. Akibatnya, luku dan kerbau tak dapat dipakai lagi membajak sawah. Kotoran pabrik SDC pada mulanya menyiksa para petani lantaran rasa gatal di kaki. Tapi bukan gatal itu yang menyebabkan mereka prihatin. "Kini ongkosnya menggarap sawah -- dengan tenaga manusia melulu -- jadi naik 2 kali lipat, sedang hasilnya belum dapat dipastikan," kata Mukri, pemuda bujangan yang mengurus 4 Ha sawah warisan almarhum ayahnya. Sudah 4 musim tanam gagal terus panennya. Bahkan air sumur penduduk yang dekat Kali Tapak, ikut menjadi keruh dan berbau. "Kami sudah 11 kali ditinjau, baik oleh tim pemerintah maupun DPRD. Tapi apa hasilnya?" tanya Amat So'ep, Kamituwo (Kepala Kampung) Tapak. Pernah ada pertemuan antara masyarakat Tapak dengan direksi pabrik yang diatur Pemda Kotamadya Semarang di Balai Kota, 9 Agustus 1978. Waktu itu diputuskan bahwa direksi SDC diberi waktu tiga bulan untuk menanggulangi air buangannya, terhitung mulai September. Celakanya, sampai minggu lalu polusi masih jalan terus. Telah disetujui juga bahwa tuntutan ganti rugi penduduk Tapak akan ditangani panitia khusus. Setelah dibentuk Camat Tugu, panitia itu menaksir kerugian penduduk seluruhnya mencapai Rp 119 juta. Tapi pimpinan SDC menolak dan menyanggupkan Rp 5 juta saja. Tunggu Aerator J. Soedardjo SH, bekas anggota BPH Propinsi Jawa Tengah yang kini jadi Kepala Biro Umum & Personalia SDC, menyatakan bahwa pabriknya sudah akan mengimpor aeraor bekas dari Jepang. Alat itu dapat mempercepat proses pencampuran zat asam dari udara dengan ampas organis pabrik itu. Departemen Perdagangan tak mengizinkan impor peralatan bekas. Anak perusahaan Mitsubishi itu kini memesan aerator baru dari Amerika yang diperkirakan akan tiba di Semarang April. Baru pertengahan Mei, demikian Soedardjo, "polusi itu dapat kami tanggulangi dengan sempurna." Pada saat itu, akan genaplah 2« tahun keprihatinan rakyat Tapak. Sementara soal ganti rugi masih terbengkalai, penagih kredit Bimas ikut merisaukan penduduk Tapak. "Padahal kami sudah empat musim tidak panen. Bagaimana kalau sawah kami dibeslah?" tanya Sarmady, mewakili kawan-kawannya. Sesudah itu, ada lagi tagihan Ipeda. Lurah Tugurejo dan Camat Tugu, kurang berani membela kepentingan rakyatnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus