Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Demi Hidup Karang Gili Trawangan

Warga Kepulauan Gili Matra berhasil memulihkan dan merawat terumbu karang. Mengubah kebiasaan dan menerapkan teknologi yang tepat.

2 Mei 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Romain Jeanoerel seperti ketagihan menyelam di Gili Trawangan dan pulau-pulau kecil di antara Bali dan Lombok. Dalam kunjungan ketiganya, wisatawan asal Swiss itu sudah tiga pekan di Gili Trawangan.

Alasannya menggemari Gili Trawangan sangat sederhana. ”Banyak lihat karang. Lokasinya tidak terlalu jauh (dari pantai),” kata Jeanoerel pekan lalu. Di sekitar Gili Trawangan, ia bisa memandang jauh, menemukan bermacam karang, sampai 450 jenis, terutama karang biru (Heliopora coerulea) dan Anacropora.

Bukan kebetulan jika karang di sekitar Gili Trawangan bisa tumbuh baik. Dalam sepuluh tahun terakhir ini karang di sana dirawat kelompok warga Kepulauan Gili Matra (yang terdiri atas Gili Trawangan, Gili Meno, dan Gili Air) bernama Gili Eco Trust.

Kelompok itu bekerja dari mengubah kebiasaan pencarian ikan yang merusak karang, seperti dengan bom ikan, sampai menggunakan teknologi eco-rock agar terumbu karang bisa tumbuh lebih sehat dan lebih cepat. ”Kalau tidak ada karang dan ikan di sini, tidak akan disukai penyelam,” kata Delphine Robbe, perempuan asal Prancis yang sekarang tinggal di Gili Matra dan menjadi koordinator Gili Eco Trust.

Setiap hari rata-rata seribu wisatawan tinggal di Gili Trawangan. Sebagian datang dengan 14 kapal cepat dari Benoa, Bali, dan yang lainnya dengan perahu motor dari Bangsal, Lombok. Di sini ada sekitar 5.000 kamar, mulai belasan hotel sampai kamar milik penduduk. Di saat liburan Juli-September, kamar-kamar itu tidak cukup. ”Sampai-sampai karyawan hotel yang kos di rumah penduduk dipaksa keluar,” ujar Imam Wahyudi, general manager hotel bintang empat Vila Ombak.

Sebagian wisatawan di Gili Matra memang datang dengan niat menyelam. Imam menyebut 15-20 persen tamu hotelnya membeli paket menyelam. Kesehatan terumbu karang, karena itu, menjadi sangat penting.

Beberapa tahun silam, kondisi terumbu karang di Gili Trawangan tidak sebagus sekarang. Dari sekitar 3.000 hektare terumbu karang, kerusakan mencapai 60-70 persen. Robbe mengatakan kerusakan itu akibat perahu yang buang sauh sembarangan hingga efek El Nino pada 1998-1999. Yang terparah adalah efek pengeboman ikan.

Warga Gili Trawangan dan sekitarnya pada masa lalu memang hanya mengandalkan hidup dari pencarian ikan, dan metodenya merusak lingkungan. Rais misalnya. Pemuda 32 tahun yang menjadi Wakil Ketua Satgas Pemuda Gili Matra ini mengatakan, saat kecil, ia hanya tahu mencari ikan dengan bom atau racun potasium. Celakanya, dengan metode yang merusak lingkungan itu, kehidupannya tidak membaik. ”Dulu saya masih kecil, tidak pernah melihat uang seribu rupiah,” katanya.

Pada awal 2000, delapan warga membentuk kelompok yang melindungi terumbu karang, bernama Front Satgas Gili. Masalah biaya muncul. Kelompok pun diubah namanya menjadi Gili Eco Trust setelah tujuh diving shop (perusahaan yang menjual paket penyelaman) bergabung.

Langkah pertama mereka adalah membuat awig-awig—hukum tradisional—yang mengatur para pengebom ikan. Sekali pengebom ikan itu ditemukan, peralatan mencari ikan mereka disita. Jika tidak kapok dan tertangkap kedua kali, didenda Rp 5 juta serta menandatangani pernyataan berhenti serta ikut mengawasi lingkungan. Dan jika tertangkap untuk ketiga kali, nah ini yang seram: mereka akan dipukuli tapi tidak sampai mati.

Untuk menegakkan awig-awig itu, mereka mempekerjakan perahu patroli berawak tiga orang. Pengemudi dibayar Rp 20 ribu dan dua awaknya Rp 15 ribu. ”Kami kan juga pernah jadi pencari ikan, jadi tahu kapan waktunya mereka melakukannya,” ucap Rais.

Bagi para nelayan setempat, awalnya tentu saja berat. Tapi Gili Eco Trust tidak hanya mengirim perahu patroli. Mereka berusaha agar warga setempat ikut terangkat kehidupannya jika wisata maju. Itu sebabnya, mereka mendirikan sekolah pariwisata. Robbe bahkan sukarela mengajar bahasa Inggris, berkebun, serta pendidikan ekologi di sekolah-sekolah Gili Trawangan.

Di samping membereskan sisi sosialnya, Gili Eco Trust menggunakan teknologi maju untuk memacu pertumbuhan terumbu karang. Mereka menggunakan teknologi yang disebut Biorock: teknologi yang mengalirkan listrik lemah di sekitar terumbu karang.

Teknologi itu dikembangkan Profesor Wolf Hilbertz dari Jerman dan Dr Thomas J. Goreau dari Jamaika. Dengan cara ini, listrik tegangan rendah, sekitar 1,2 volt, dialirkan pada baja yang ditaruh di sekitar terumbu karang.

Baja itu akan disusun seperti kurungan berdiameter 2,5-3 meter dengan tinggi 1,5-6 meter. Baja akan ditumbuhi kapur dan kemudian terumbu, karena listrik bereaksi dengan molekul air, kalsium, dan karbon dioksida. Dengan cara ini, karang tumbuh 2-6 kali lebih cepat daripada dibiarkan begitu saja. Selain itu, Biorock bisa mencegah pengikisan atau erosi pantai serta meningkatkan mutu air laut.

Biaya pembuatan satu unit Biorock US$ 600-1.000 (Rp 5-8,6 juta). Gili Eco Trust sudah memasang 35 unit Biorock di sekeliling Gili Trawangan dari total 63 unit yang ada di perairan Gili Matra. Biaya ini didapat Gili Eco Trust dari berbagai sumber. Sebanyak 15 diving shop di sana misalnya. Satu diving shop ada yang menyumbang Rp 3 juta, ada pula yang Rp 10 juta sebulan, sehingga total menyumbang Rp 40 juta. Pemasukan lain dari donasi wisatawan. Setiap penyelam ditargetkan menyisihkan donasi Rp 50 ribu. ”Orang yang peduli lingkungan suka memberikan donasi,” kata Robbe.

Para pekerjanya sendiri dibayar minim. Robbe, misalnya, hanya memperoleh Rp 2 juta sebulan sebagai koordinator Gili Eco Trust. Untung saja, salah satu diving shop memberi logistik gratis. ”Saya gratis makan dan minum di sini,” kata Robbe menunjuk Big Bubble Dive. Tidak mengherankan jika pemilik Big Bubble Dive, Anna Walker, dekat dengan Gili Eco Trust. Ia adalah koordinator Gili Eco Trust sebelum digantikan Robbe.

Kegigihan warga Gili Matra merawat terumbu karang itu sudah tampak hasilnya. Warga setempat gampang mendapat pekerjaan. Warga yang sudah lulus sekolah menengah atas, misalnya, bisa mendapat pekerjaan di industri wisata ini dengan penghasilan setidaknya Rp 1 juta.

Belum termasuk penduduk yang sering menyewakan kamar di rumahnya bagi wisatawan. ”Memang tidak bagus amat rumahnya, tapi ada penghasilan,” kata Taufik, Kepala Desa Gili Matra, yang berpenduduk total sekitar 3.600 orang. Tidak perlu lagi mereka mengebom ikan untuk mendapatkan uang.

Supriyantho Khafid (Lombok)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus