Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LAUT di Teluk Senunu sudah sekian lama tak lagi menjadi tempat ikan singgah. Belakangan ini, setiap kali berangkat menjala ikan, nelayan di sekitar Pantai Swis Rantung—demikian mereka menyebut pantai di Teluk Senunu—harus bersiap pulang hanya dengan beberapa ekor ikan kecil di tangan.
”Dulu, kalau mendapatkan ikan segitu, diketawain orang,” kata Nalam, 20 tahun, nelayan dari Desa Tongo, Kecamatan Sekongkang, tak jauh dari Pantai Swis, pekan lalu. Dulu yang dimaksud Nalam adalah waktu sebelum PT Newmont Nusa Tenggara membuang tailing alias sampah sisa-sisa penambangan tembaga dan emas ke Teluk Senunu. Tak jauh dari posisi dia berdiri, bak tubuh anakonda, pipa hitam raksasa menjulur ke dalam laut mengalirkan beribu-ribu ton tailing setiap hari.
Satu setengah kilometer ke arah timur, nelayan lain mengeluhkan kondisi serupa. ”Kalau mau cari ikan, sekarang harus ke perairan Labangka,” ujar Indar Dinata, 30 tahun, nelayan di Dusun Senutuk. Sekali berangkat melaut ke Labangka selama tiga-empat malam, dia harus mengeluarkan ongkos Rp 600 ribu untuk membeli solar dan kebutuhan makan. Padahal dulu, sebelum sampah tambang dibuang ke laut, kata dia, begitu gampang menjaring ikan kakap merah di Senunu. ”Sampai susah mengangkutnya ke darat.”
Masa berlimpah ikan memang sudah berlalu. Telunjuk mereka menuding ke tambang Newmont, yang terletak sekitar enam kilometer dari bibir Pantai Swis, sebagai sumber penyebab berkurangnya populasi ikan di Teluk Senunu. Perusahaan patungan yang sahamnya dimiliki Nusa Tenggara Partnership (Newmont & Sumitomo), PT Pukuafu Indah, dan PT Multi Daerah Bersaing ini beroperasi sejak Maret 2000.
Newmont dengan gampang menjadi sasaran tembak bagi setiap masalah lingkungan di Teluk Senunu. Berdasarkan izin Menteri Lingkungan Hidup pada 2007, setiap tahun tambang tembaga di blok Batu Hijau, Kecamatan Sekongkang, Nusa Tenggara Barat, ini boleh menumpahkan sampah tambangnya ke Laut Senunu sebesar 50,4 juta ton atau kalau dibagi rata sekitar 137 ribu ton tailing kering per hari. Dalam izin pertama pada 2002, volume sampah yang boleh dibuang Newmont sebesar 58,4 juta ton ampas tambang kering. Izin buang sampah Newmont yang sudah diperpanjang dua kali itu akan berakhir pada 7 Mei, pekan ini.
Mengurus barang, apalagi sampah tambang, seberat 50 juta ton terang bukan urusan sederhana. Bagi pertambangan yang jauh dari laut, barangkali tak ada pilihan lain, terpaksa membuat penampungan di darat.
Newmont bukanlah perusahaan pertama yang membuang ampas tambangnya ke laut. Tambang Island Copper milik Broken Hill Proprietary di Kanada melakukannya sejak 1971. Setiap hari mereka menenggelamkan 33 ribu ton ampas ke Teluk Rupert. Lihir Gold di Papua Nugini membuang 3.500 ton sampah tambangnya ke laut New Ireland sejak 1997.
Teluk Astrolabe di Provinsi Madang, Papua Nugini, menjadi tong ampas tambang bagi Ramu Nickel. Perusahaan ini menuangkan tiga juta ton sampahnya ke Teluk Astrolabe. Sekarang, Ramu mesti menghadapi gugatan masyarakat yang menghendaki perusahaan asal Cina ini berhenti membuang sampah ke laut. Setelah pencemaran berat di pertambangan Ok Tedi, Papua Nugini, raksasa tambang BHP Billiton kini tak lagi menggunakan model pembuangan sampah tambang ke laut atau sungai.
Sedari mula, pembuangan sampah tambang ke laut sudah menjadi silang pendapat. Newmont yakin membuang sampah tambang ke laut dalam lebih aman ketimbang membuat penampungan di darat. Selain perlu lahan beribu-ribu hektare, di daerah dengan curah hujan tinggi, menurut juru bicara Newmont, Kasan Mulyono, sangat sulit mengendalikan air dalam penampungan tailing di darat.
Para aktivis lingkungan terang tak percaya sampah tambang, yang bisa jadi menyimpan bahan berbahaya, itu tak berdampak buruk bagi Laut Senunu dan sekitarnya. ”Karena itu, Menteri Lingkungan Hidup mestinya tak memperpanjang izin pembuangan tailing Newmont,” kata Mardan Pius Ginting, juru kampanye tambang Wahana Lingkungan Hidup Indonesia.
Dia menyodorkan bukti hasil analisis foto satelit MODIS—Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer—pada November 2006 dan Maret 2010. Berdasarkan analisis kedua foto satelit, disimpulkan terjadi penurunan klorofil di Laut Senunu sebesar 62,5-76 persen, yakni dari 0,5-0,8 miligram per liter menjadi 0,12-0,3 miligram per liter. Gelontoran ampas tambang Newmont-lah, menurut Pius, penyebabnya.
Namun, menurut Wenno Lucas Frederik, peneliti senior di Pusat Penelitian Oseanografi, perlu data yang lebih terperinci dengan rentang waktu lebih panjang untuk menyimpulkan apakah penurunan klorofil itu hanya bersifat musiman atau tren jangka panjang. Wenno juga mengatakan satelit MODIS hanya sanggup menjangkau kedalaman air hingga 10 meter.
Dalam soal buang ampas di laut ini, posisi Newmont memang masih sangat kuat. Tim dari Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia sudah dua kali menelisik dampak pembuangan sampah di laut ini, yakni pada 2003 dan 2009, atas biaya Newmont. Kesimpulannya kurang-lebih sama: dampak lingkungan dari pembuangan ampas tambang Newmont relatif kecil. ”Tapi, walaupun dibayar Newmont, kami tetap independen,” Dirhamsyah, koordinator proyek tersebut, menjamin kualitas penelitian mereka.
Angka, data, dan bahkan faktor alam kali ini banyak berpihak pada Newmont. ”Newmont sangat beruntung memperoleh tambang di lokasi itu,” kata Dirhamsyah. Hanya sekitar empat kilometer dari garis Pantai Swis, laut di Teluk Senunu sudah mempunyai kedalaman ratusan meter dan terus menjorok hingga ke cekungan Lombok. Laut Lombok Basin ini mempunyai kedalaman sekitar 4.200 meter, membentang dari selatan Banyuwangi di ujung timur Pulau Jawa hingga selatan Pulau Sumbawa.
Pipa ampas tambang Batu Hijau Newmont menjulur 3,4 kilometer ke laut. Posisi ujung pipa berada di kedalaman 125 meter. Mulut pipa tailing ini tepat berada di ”tebing” cekungan Lombok. Tanpa perlu perlakuan apa pun, akibat gravitasi, semburan ampas Newmont akan mengalir turun mengikuti kanal-kanal hingga menumpuk di cekungan Lombok (lihat infografis aliran tailing).
Bagaimana jika terjadi upwelling, kala material di dasar laut terangkat ke permukaan? Penelitian tim Dirhamsyah pada 2009 dilakukan ketika musim upwelling. Namun ternyata air di Teluk Senunu tetap jernih. Artinya, material ampas tambang di dasar laut yang dalam tak terangkat ke permukaan.
Yang membentengi ampas sehingga tak naik, menurut Wenno Lucas, adalah lapisan inti termoklin yang berada di kedalaman 90-120 meter. ”Lapisan termoklin ini ibarat tembok yang menahan naiknya tailing,” kata Wenno. Pada lapisan ini, temperatur air turun sangat cepat.
Satu lagi faktor alam yang memihak Newmont adalah arus laut di Selat Alor. Sepanjang tahun arus di selat antara Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa ini bergerak ke selatan. Sehingga, kala musim downwelling dan inti termoklin turun hingga di bawah mulut pipa, arus laut dari Selat Alor akan mendorong sampah Newmont ke arah cekungan Lombok. Ampas tambang itu pun akan tetap teronggok di dasar laut.
Tim Pusat Penelitian Oseanografi juga tak menemukan pencemaran logam berat (timbel, merkuri, kadmium, kromium) di Laut Senunu. Beberapa sampel air yang diambil di kedalaman ribuan meter memang menunjukkan kandungan tembaga. ”Tapi masih di bawah ambang baku mutu Kementerian Lingkungan Hidup,” kata Dirhamsyah. Kesimpulan ini ternyata tak berbeda dengan hasil penelitian tim evaluasi izin pembuangan tailing Newmont dari Kementerian Lingkungan Hidup.
Deputi Kementerian Lingkungan Bidang Pengelolaan B3, Limbah B3, dan Sampah, Masnellyarti Hilman, mengatakan tak ada bukti pencemaran ampas tambang di Laut Senunu. Walau demikian, dia mengelak menjawab soal perpanjangan izin pembuangan ampas tambang Batu Hijau di Teluk Senunu. Sepertinya restu perpanjangan bagi Newmont hanya tinggal soal ketuk palu.
Sapto Pradityo, Supriyanto Khafid (Sekongkang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo