Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Sebuah Esai, Sebuah Opera... Sebuah Misteri

Pementasan opera Tan Malaka di Graha Bhakti Budaya melahirkan sesuatu yang baru. Tapi juga menghilangkan sesuatu yang dulu terlahir di Salihara.

2 Mei 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pelukis Roesli (almarhum) pernah bilang, sekitar 1972, ia tak pernah memperbaiki goresan tangannya: ”Kalau saya tak puas, (lukisan) saya buang. Saya ambil kanvas baru, untuk melukis baru.” Sebab, baginya, ”Sapuan kuas harus orisinal. Sekali jadi.”

Dalam seni pertunjukan, yang bergerak dalam ruang-dan-waktu, prinsip melukis Roesli tak berlaku. Para seniman berlatih, sutradara, komposer, koreografer mencoba ini-itu, menambah-kurang hingga tercapai yang dikehendaki, adalah upaya memperbaiki.

Namun mungkin sama juga dengan prinsip Roesli jika panggung baru kita analogikan sebagai ”kanvas baru”. Demikian pula moment, yang memang semuanya ”baru”. Moment adalah kejadian yang unik, tak ada yang berulang. Panggung Graha Bhakti Budaya bukan black-box Salihara, dan Tan Malaka 24 April bukan yang 23 April.

Sederet lampu merah di belakang panggung naik perlahan; di lantai panggung kiri terhampar bundaran karpet merah; di atas konstruksi kayu bendera merah bergambar palu-arit (kecil) dikibaskan beberapa kali saja, yang mengawali pertunjukan di Graha Bhakti; menciptakan imaji tajam dan idiom teatrikal unik. Itu tak terjadi di Salihara—kecuali kibasan bendera merahnya.

”Tan Malaka: Sebuah Esai, Sebuah Opera”, saya ambil dari judul libreto yang dibagikan ke penonton. Sedangkan dalam brosur, juga dalam undangan, judulnya ”Tan Malaka: Opera 3 Babak”. Yang mana yang benar? Saya kira itu bukan persoalan. Saya pilih judul itu, hanya karena lebih menarik ”esai” ketimbang ”3 babak”.

Para serdadu memasuki panggung dari dua arah, dari luar dan dari dalam panggung. Membentuk barisan, mengangkat senjata, mengentakkannya ke lantai dan berbunyi amat keras, jauh lebih dari normalnya. Dengan komando, mereka berjalan, layaknya barisan serdadu. Tiba-tiba berganti ”nada”. Tubuh merendah pelan sekali, condong ke depan, berbalik, semuanya dilakukan perlahan—gerak yang tak layak untuk serdadu. Dan para serdadu berbedil itu mendadak tampak misterius.

Tan Malaka, kesenian, menghadirkan yang logis dan tak logis, dimengerti dan tidak dimengerti. Semua itu terolah kompleks (”tebal”, thick istilah Clifford Geertz) menjadi sebuah pertunjukan, melalui pelbagai simbol visual-auditif, refleksi dari jalan panjang pengalaman hidup senimannya, baik dari wilayah sadar, bawah-sadar, maupun dari keentahan.

... pada mulanya adalah perbuatan. Dengan kata lain: ketidakpastian.

Demikian bunyi salah satu baris libreto Tan Malaka, yang saya baca berulang kali. Setiap kali dibaca, teks yang sama itu mengatakan berbeda. Bagian yang terdengar nyaring kini, seperti tak terdengar dulu.

Dalam tulisan sejarah, Tan Malaka terlukis sebagai tokoh politik yang misterius. Apalagi dalam pertunjukan opera ini:

”Mungkin ia selamanya asing” .... ”menghilang pada halaman terakhir sebuah risalah.”

Tapi yang menghilang bukan jadi hilang, yang dibunuh tidak menjadi mati. Seperti menghilangnya (fade out) musik Tony pada akhir pertunjukan. Kita seperti terbawa ”hilang”. Hanya untuk sejenak, kemudian tumbuh lagi dengan pelbagai renungan, atau gejolak di antara ingat dan lupa, pasrah dan berontak: ”... pemberontakan memerlukan lupa.”

Misteri Tan Malaka bagi saya bak Samsi Tabriz, tokoh yang dikagumi dan digurui Jalaluddin Rumi pada awal abad ke-13 Turki. Tabriz dicarinya manakala menghilang, hingga Rumi dicemooh mahasiswanya. Mereka tak bisa mengerti mengapa Rumi yang sastrawan cendekia tersohor justru tergila-gila pada Tabris yang mereka anggap ”gila”—yang kemudian dibunuh, seperti Al-Hallaj dan Siti Jenar, oleh kalangan yang menganggap aneh, unik, liyan, itu berbahaya, walau terhadap teman. Tan Malaka pun dibunuh, konon oleh bedil. Opera Tan Malaka juga pernah ”dibunuh” pelarangan tayang di beberapa stasiun televisi lokal oleh kekhawatiran pada ketidakpastian—seperti halnya Tempo pernah ”dibunuh” oleh rezim Orde Baru.

Fitri, yang koreografer dan penari, ”menulis dan menulis” dalam lingkaran merah. Entah huruf atau gambar, kita tak mempersoalkan. Dengan sorotan kamera dari atas, tampak jelas yang dibuatnya: figur spiral, garis melingkar tapi menerus hingga keluar dari lingkaran merah. Jelas pada mulanya, tidak pasti di mana akan berujung—yang baru tahu ketika ia berhenti, ”mati”.

Dalam dunia penyutradaraan, Goenawan Mohamad adalah ”orang baru”, 2-3 tahunan, pada usianya yang genap 70 tahun, dan langsung besar melalui pertunjukan King’s Witch dan Pastoral. Kita tak tahu kapan dan di mana pada mulanya ia berangkat. Tidak seperti sutradara terkenal, seperti Arifin C. Noer, Teguh Karya, Wahyu Sihombing, Rendra, Putu Wijaya, dan Nano Riantiarno, Goenawan tak pernah menjadi aktor. Ia tak terikuti. Ketika ia menyutradarai Panji Sepuh pada 2006, di Teater Arena TIM yang telah moksa, ada yang berkomentar: ”Yang lain (tokoh senior) berhenti, ia (Goenawan) baru mulai.”

Pada mulanya bukanlah kata

Pada mulanya bukanlah makna

...

Pada mulanya adalah laku.

Baris-baris libreto itu memberi arti: Goenawan tidak bermula dari teater (kata) atau tujuan (makna), tapi berbuat atau berjalan (laku). Ia adalah sutradara ”menjadi”. Tapi, mungkin, tiada ujung tanpa pangkal. Ia ”menulis dan menulis”, setiap minggu kita bertatapan melalui ”Caping” Tempo, dan tulisan lain yang berhamburan di pelbagai format dan forum. Tulisannya ”Sebuah Pembelaan untuk Teater Indonesia Mutakhir” (1973) menunjukkan bagaimana ia mengamati cermat segenap teater Indonesia, membaca dan menonton. Dan itu laku, itu pada mulanya.

Opera Tan Malaka misterius, dan seluruhnya serius—karena itu boleh jadi berat bagi penonton awam untuk menikmatinya, tidak seperti Laskar Pelangi (Riri Riza) atau Sampek Engtay (Nano Riantiarno), misalnya, yang mudah dinikmati seluruh lapisan publik. Tiada alur cerita dalam opera itu. Banyak adegan yang tak berhubungan. Kata-kata verbal (”semut yang sehari-hari menyusun tugas”) bercampur dengan yang puitis-abstrak (”jadilah engkau sesuatu / dari gelap”). Sosok yang dimasukkan ke penjara, tak jelas mengapa ia bisa keluar. Dan banyak lagi.

Demikian juga musik Tony Prabowo. Beberapa bagian berdiri sendiri yang ”selesai”. Bunyi-bunyi seolah bermunculan tak teratur, tak terduga, dari yang bernada (12) ataupun yang di-luar-nada. Tapi semuanya adalah komposisi, yang dimainkan di bawah dirigen asing yang cermat dan pas, Josefino Chino Toledo, dari Filipina.

Bagaimana semua itu bisa menyatu? Itulah bagian dari misteri. Antara rancangan dan intuisi, antara organik dan sofistikasi, bisa ”berangkulan”.

Misteri yang bagi saya mencolok adalah keheningan (silent), baik suara tanpa bunyi maupun adegan tanpa laku: suatu saat hanya bunyi, saat lain hanya gerak, saat lainnya tanpa apa-apa. Tapi yang tanpa apa-apa bisa menjadi apa-apa. Hening menjadi berbunyi, atau diam jadi bergerak. Seperti ruang kosong, lukisan Roesli yang ”berisi”—itu tak bisa diterangkan, bahkan oleh senimannya sendiri, itu adalah ”kejadian” yang terlahir dari intuisi Sang Berpengalaman.

Tan Malaka di Graha Bhakti melahirkan sesuatu yang baru, tapi juga menghilangkan sesuatu yang dulu terlahir di Salihara. Di Salihara lebih akrab, lebih intim; di Graha Bhakti kita merasa terpisah, sekatnya kuat. Yudi Ahmad Tajudin, asisten sutradara, mengatakan, ”Pertunjukan Salihara rasanya lebih corporeal (men-tubuh), sedangkan di Graha Bhakti lebih visual.”

Format panggung prosenium Graha Bhakti memberi batas tegas antara penonton dan pemain—apalagi disekat ruang pemusik. Di Salihara, ruangnya sangat sempit (untuk setting sebesar itu), tempat duduk penonton yang hanya empat atau lima baris dengan bentuk ”L” menciptakan panggung semi-arena. Tempat pemusik terasa berada di antara penonton, keluar-masuk pemain pun sebagian besar melalui gang di sudut ”L” penonton.

Secara umum, penonton dan pemain lebih bahagia dengan pertunjukan di Graha Bhakti, Tan Malaka ”Jilid II” ini. Garapannya dirasa lebih sempurna. Pemain, sutradara, koreografer lebih mendapat keleluasaan ruang penggarapan. Setting properti, koreografi (action, dengan jumlah pemain yang lebih besar), misalnya, lebih muncul di Graha Bhakti. Kecuali satu hal: suara. Kesalahan ”sebentar”, ketika wireless mikrofon narator tersendat-sendat pada bagian awal (pertunjukan tanggal 24), sangat merugikan opera yang dirancang sebagai pertunjukan multimedia.

Tapi, andaikan semuanya perfect, apakah itu akan membuat misteri yang perfect, ataukah akan membuatnya menjadi ”steril” sehingga tiada misteri? Kita tak tahu... sulit dipastikan, walau mungkin bisa diduga. Yang sudah terjadi, pertunjukan Salihara mencapai perfeksi tersendiri, dengan panggung kecil, dengan aktor Adi Kurdi, dengan pemain dan penonton yang lebih sedikit: pertunjukan minimalis yang ramah.

Endo Suanda, etnomusikolog, peneliti dan pengarsip kesenian, tinggal di Bandung

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus